KASUS pembuangan limbah Singapura di Desa Simpang Busung, Kepulauan Riau, akhirnya bermuara di pengadilan. Pengadilan Negeri Tanjungpinang, pekan-pekan ini, mengadili dua warga Singapura Charles Tow dan Supramaniam Pillai, penasihat dan manajer lapangan Trans Media Asia Ltd. (TMA), yang dianggap bertanggung jawab memasukkan limbah berbahaya itu. Tak hanya kedua warga asing itu yang terpaksa duduk di kursi pesakitan. Mitra mereka di Indonesia, bekas kepala cabang dan manajer lapangan PT Artha Saphala (AS) -- perusahaan milik Kurnia Kartamuhari, bekas promotor tinju -- Cheppy Komaruddin dan Nanang Suhanang juga dimejahijaukan. Begitu pula nakhoda tugboat Abdul Muhammadin yang disewa mereka untuk membawa limbah itu ke Indonesia. Menariknya, kendati yang diributkan itu soal limbah, Jaksa Halius Hosen tak menuduh mereka melanggar undang-undang lingkungan hidup. Kelima terdakwa justru dituding melakukan penyelundupan. "Limbah itu ada segi ekonomisnya karena dimasukkan sebagai barang produktif untuk tanggul air pencuci pasir," kata Halius. Menurut Halius, kedua perusahaan itu semula bekerja sama menggali pasir di Kepulauan Riau. TMA menginvestasikan peralatan, sementara PT AS menyiakan lahan pertambangan pasir. Bahkan mereka telah mengekspor 212.500 m3, senilai Rp 3 milyar, ke Singapura. Untuk itu, perusahaan milik Kurnia memperoleh royalti sebesar Sing.$ 1,20/m3 pasir yang diekspor. Pada April 1989, kata jaksa, kedua warga Singapura itu membicarakan perbaikan tanggul bekas penggalian pasir yang kerap jebol dengan kompanyonnya di Indonesia, Cheppy, Nanang, dan dua karyawan AS lainnya. Mereka sepakat untuk menggunakan limbah soap noodles yang bisa mengeras bila terkena air. Untuk mematangkan rencana itu, Charles meminta Supramaniam membuat rencana pembuangan limbah itu. Sedang Nanang mengurus surat izin impor. Permohonan semula berjalan mulus. Kantor Wilayah Bea Cukai Tanjungbalai Karimun meloloskan permohonan itu, asal ada izin dari camat setempat. Ternyata Camat Bintan Utara, Zalik Umar, menolak memberikan izin. Walau demikian, dua warga Singapura itu tetap saja memasukkan limbah kepala sabun itu. Pada Mei 1989 tiga kali tug boat Atlas 11, yang dinakhodai Abdul Muhammadin, membongkar muatan plastik-plastik berisi limbah ke pulau itu. Kasus ini terbongkar berkat surat pengaduan Asosiasi Eksportir Indonesia ke Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup serta Gubernur Riau. Camat Zalik Umar, yang mendapat tembusan surat itu, amat marah. Bahkan Bupati Kepulauan Riau, Murwanto, akhir November lalu, mencabut izin penggalian pasir PT AS seluas 25 hektare gara-gara kasus itu. Pihak PT AS semula "mencuci tangan" dan menuduh kompanyonnya Supramaniam dari TMA secara diam-diam memasukkan limbah itu ketika mereka sedang cuti Lebaran. Tapi polisi yang mengusut kasus itu menemukan bukti kedua perusahaan terlibat kejahatan itu. Di persidangan penasihat hukum pihak TMA, Hanjoyo Putro dan O.C. Kaligis tak sepakat bahwa klien mereka melakukan penyelundupan. Sebab, menurut mereka, limbah itu tidak mempunyai nilai ekonomis sama sekali. "Produktif itu akibatnya, bukan barangnya," kata Hanjoyo. Terdakwa Charles Tow juga merasa tidak bersalah memasukkan limbah itu. Ia malah membanggakan teknologi penjernihan air pencuci pasir itu sebagai penemuan terbarunya. Dengan menaruh limbah kepala sabun ini di pintu keluar air bekas pencucian pasir, katanya, air yang keluar sangat jernih dan bisa dipakai untuk mencuci pasir kembali. Tapi, bos AS Kurnia Kartamuhari, yang diajukan sebagai saksi, tidak yakin limbah itu bisa digunakan untuk tanggul penggalian pasir. Sebab, sebagian limbah berbahaya itu yang dibuang begitu saja oleh para terdakwa di lokasi tersebut. Artinya, lokasi itu memang telah "disewakan" untuk pembuangan "sampah" industri negara jiran. Kalau demikian, tepatkah jaksa mencantumkan undang-undang penyelundupan? Karni Ilyas, Diah Purnomowati, dan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini