Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Menyibak Alam Pikiran Pembunuh Bayaran

Pembunuhan berencana menjadi perbincangan publik belakangan ini, dari kasus Brigadir Yosua sampai kekejian yang dilakukan Kopral Dua Muslimin terhadap istrinya. Kriminolog dari Universitas Indonesia, Ardi Putra Prasetya, mencoba menjawab pertanyaan besar soal motif seseorang mau menjadi pembunuh bayaran.

30 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belakangan ini, banyak diberitakan kasus pembunuhan yang terjadi di Indonesia, baik pembunuhan yang tidak disengaja maupun terencana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan data, jumlah kasus kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan di Indonesia terus berkurang dalam kurun waktu 2016-2020. Selama 2016 saja, tercatat ada 1.292 kasus pembunuhan. Ini merupakan jumlah kasus tertinggi selama lima tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2017, jumlah kasus pembunuhan menurun menjadi 1.150 kasus dan terus melandai menjadi 1.024 kasus pada 2018, 964 kasus pada 2019, serta 898 kasus pada 2020. Dalam data resmi statistik, memang tidak diungkapkan secara spesifik tragedi pembunuhan berdasarkan kasus dan jenisnya. Khusus untuk yang terencana, pembunuhan bisa dilakukan sendiri oleh pelaku atau membayar orang lain untuk membunuh.

Pembunuhan berencana dapat didefinisikan sebagai kejahatan merampas nyawa manusia lain setelah dilakukan perencanaan mengenai waktu atau metodenya, dengan tujuan memastikan keberhasilan pembunuhan atau untuk menghindari penangkapan. Salah satu kasus percobaan pembunuhan yang diperbincangkan publik adalah perencanaan pembunuhan terhadap Rini Wulandari yang didalangi oleh Muslimin, suami korban yang merupakan prajurit aktif TNI berpangkat kopral dua (kopda).

Percobaan pembunuhan ia lakukan dengan menyewa empat pembunuh bayaran dengan imbalan Rp 120 juta. Ternyata, Muslimin sudah mencoba membunuh istrinya sebanyak empat kali. Rencana pembunuhan itu dilakukan Muslimin agar dapat hidup bersama selingkuhannya.

Ada berbagai faktor penyebab seseorang melakukan pembunuhan. Motif utama biasanya muncul karena faktor emosional, seperti dendam; faktor materi, seperti bayaran; serta keuntungan-keuntungan lain yang terlihat menggiurkan. Memang tak bisa terhindarkan sepenuhnya, tapi pemerintah diharapkan mampu mencari cara yang lebih efektif untuk menekan kemungkinan terjadinya pembunuhan.

Ilustrasi pembunuh bayaran. Shutterstock.

Apa yang Mendorong Seseorang Mau Menjadi Pembunuh?

Dalam dunia kriminologi, dikenal teori pilihan rasional (rational choice theory), yang menjabarkan beberapa faktor yang membuat seseorang mau menjadi pembunuh atau termotivasi melakukan pembunuhan.

Faktor pertama tentu adalah materi dan perhitungan untung-rugi.

Bayaran yang akan mereka dapatkan menjadi daya tarik yang sangat kuat untuk mau melakukan pembunuhan. Begitu pula dengan pihak yang menyewa pembunuh bayaran. Memiliki uang dan sanggup membayar orang lain bisa mendorong mereka untuk menghilangkan nyawa orang lain.

Khusus untuk pembunuh bayaran, mereka juga akan memperhitungkan keuntungan yang diperoleh dan konsekuensi yang mereka terima. Proses berpikir untung-rugi inilah yang nantinya mempengaruhi keputusan mereka apakah mau menerima order pembunuhan.

Kedua, emosi berperan besar dalam proses motivasi mereka secara psikologis.

Emosi kerap bersifat fluktuatif dan dinamis. Seseorang yang memiliki rasa dendam, misalnya, kondisi jiwanya sering tidak stabil karena merasa sakit hati, kecewa, marah, serta tidak mampu menerima dan memaafkan perlakuan buruk orang lain. Emosi inilah yang bisa menjadi pembangkit mengapa seseorang mau menjadi pembunuh atau menyewa pembunuh.

Ketiga, seseorang mau dan berani membunuh karena memiliki kemampuan serta pengalaman.

Mereka yang pernah menjadi pelaku pembunuhan tentu lebih mudah mengulang tindakan tersebut. Inilah mengapa biasanya yang bersedia menjadi pelaku pembunuhan adalah residivis. Mereka seakan-akan sudah menguasai kemampuan dalam menghilangkan nyawa dan bersembunyi untuk menghindari kejaran penegak hukum.

Keempat, adanya power atau kuasa dari yang membayar atau melindunginya.

Pembunuh bayaran tentu saja akan mempertimbangkan risiko berhadapan dengan hukum. Seseorang yang memiliki kuasa tertentu secara psikologis merasa mampu untuk menghilangkan segala jejak perbuatannya agar terhindar dari jerat pidana.

Hal lain terkait dengan prinsip rasionalitas adalah transaksi yang dijanjikan. Seberapa kuat posisi sosial target, kesulitan yang akan dihadapi, serta latar belakang kenapa target perlu dibunuh sangat menentukan transaksi yang terjadi.

Harga membunuh mahasiswa yang biasa saja dengan membunuh seorang perdana menteri tentu saja berbeda. Para pembunuh bayaran akan menghitung betul berapa nilai transaksi yang dibutuhkan dengan kliennya.

Bagaimana Skema Kerja Pembunuh Bayaran?

Dalam pembunuhan berencana, biasanya si calon pembunuh sudah mengetahui siapa calon korban yang akan dibunuhnya. Sedangkan dalam kasus pembunuhan tak berencana (unplanned murder), seseorang membunuh orang lain karena adanya konflik emosional antara dirinya dan calon korban.

Remaja yang tewas dalam sebuah tawuran termasuk dalam pembunuhan tak berencana. Ini karena insiden tidak menargetkan individu tertentu, melainkan secara komunal.

Kerap kali pelaku utama atau otak pembunuhan tidak mau mengeksekusi sendiri. Alasan utamanya, dia tidak mau terlihat "jahat" dan ingin terhindar dari jerat hukum.

Karena itu, dengan kapasitas ekonomi serta kekuasaan yang dimiliki, pelaku tersebut mendelegasikan proses pembunuhan kepada orang lain, atau yang disebut pembunuh bayaran. Pembunuh bayaran itu bisa berupa suatu tim yang terdiri atas pemimpin dan eksekutor.

Skema umum dalam rata-rata kasus pembunuhan bayaran biasanya sama. Masing-masing melibatkan pengorder, pemimpin, eksekutor, dan korban.

Eksekutor umumnya memiliki loyalitas terhadap pemimpinnya dan yakin bahwa pemimpin tersebut memiliki alasan yang kuat untuk memintanya membunuh serta jarang sekali menanyakan alasannya secara eksplisit. Pembunuh bayaran hanya melakukan apa yang telah diperintahkan untuk mereka lakukan. Hanya pemimpinnya yang biasa berkomunikasi dengan klien. Tak pelak, kadang para eksekutor tidak mengetahui secara pasti siapa yang melakukan order pembunuhan.

Dalam kasus Kopda Muslimin, misalnya, ada tiga eksekutor yang terlibat dan masing-masing memiliki tugas berbeda. Ada eksekutor yang bertugas melakukan penembakan, ada yang bertugas mengendarai sepeda motor, dan ada yang berperan sebagai pengawas saat aksi penembakan berlangsung.

Namun, dalam kasus ini, Muslimin juga mengambil peran sebagai pemimpin. Dia bahkan tidak mendelegasikan keseluruhan tugas kepada eksekutor dan masih memberikan panduan secara real-time kepada eksekutor ihwal bagaimana cara membunuh istrinya.

Di belahan negara lain, pembunuhan dengan pembunuh bayaran seperti ini biasanya dilakukan oleh gangster atau antar-sindikat kriminal yang motifnya tidak jauh dari urusan peredaran narkoba ataupun persaingan politik suatu wilayah, seperti yang sering kita lihat di Amerika Latin.

Para pembunuh bayaran itu juga tahu bahwa upah atau bayaran yang mereka terima pun bukanlah uang yang diperoleh secara legal. Biasanya uang didapat dari bisnis ilegal, pemerasan, dan pencurian.

Bagaimana Pemerintah Harus Menyikapinya?

Masih sangat sulit untuk bisa sepenuhnya memberantas kejahatan ini dari suatu negara. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana mengurangi, mencegah, atau menghindari peristiwa tersebut.

Sebab, pembunuhan akan tetap bisa terjadi kapan saja dan oleh/kepada siapa saja selama masih ada konflik sosio-emosional yang belum terselesaikan antara satu individu dan individu lain. Pemerintah hanya bisa menekan pada batasan-batasan tertentu, seperti memberlakukan hukuman berat dalam aturan hukum pidana.

Di Indonesia sendiri, sebenarnya sudah ada aturan maksimal yang diharapkan dapat menciptakan efek jera, yakni hukuman mati. Namun, nyatanya, kasus seperti ini masih terjadi.

Jika ingin berkaca dari negara lain, kebijakan pengendalian peredaran senjata api terbukti efektif menekan angka pembunuhan dan kekerasan, seperti di Amerika Serikat. Pemerintah bisa mengadopsi kebijakan ini dengan regulasi tentang kepemilikan dan penggunaan senjata api. Selain itu, pemerintah perlu terus mengawasi para residivis kasus pembunuhan.

Namun saran-saran di atas merupakan kebijakan di tingkat hilir.

Solusi di tingkat hulu salah satunya adalah penggaungan konsultasi psikologis guna mencegah terjadinya intensi seseorang untuk menghilangkan nyawa orang lain. Misalnya, sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan masalah kesehatan mental masyarakat. Layanan konsultasi psikologis gratis harus mulai diterapkan secara lebih luas. Masyarakat harus diberi akses untuk mendapatkan layanan tersebut dengan mudah. Ini akan sangat mampu menekan para potential offender (mereka yang berpotensi melakukan kejahatan) atau pengorder pembunuh bayaran.

---

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus