Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggembosi Kasus Soeharto?

Enam yayasan yang diketuai Soeharto dianggap tidak bermuatan pidana. Hartanya di luar negeri juga tak ditemukan. Apa artinya jika Soeharto tak juga diadili sebelum pemilihan umum?

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS pangan melambungkan harga beras, mengorbitkan pengusaha pencatut, dan mencetak pejabat gadungan. Sukar untuk dipercaya, memang, tapi kasusnya sudah sampai ke Kantor Kejaksaan Kisaran, kota kecil 215 kilometer arah tenggara Medan. Inti persoalannya, beras impor yang disuplai Dolog setempat ke pengusaha beras tak pernah sampai ke masyarakat melalui operasi pasar. Parahnya lagi, beras impor itu dicampur dengan beras jenis lain?oleh si pengusaha tentu saja?kemudian baru dilepas ke pasar dengan harga selangit. Manipulasi itu sebetulnya sudah dicium pihak Kepolisian Resor (Polres) Asahan pada September 1998. Syahdan, beras impor dari Filipina, Cina, Pakistan, dan Vietnam, yang diterima oleh Dolog Kisaran, dikirimkan ke penggilingan padi Semangat di Bunut, Kisaran. Sebetulnya, penggilingan padi milik Cohrianto alias Go Cun Huat, 47 tahun, itu hanya berperan memproses padi menjadi beras yang dijual ke pasar. Namun, untuk memenuhi program pengadaan beras murah bagi masyarakat lewat operasi pasar, lantas penggilingan padi Semangat juga diminta ikut mendistribusikan beras tersebut. Ternyata, beras impor itu tak pernah diedarkan ke masyarakat oleh Cohrianto. Entah siapa yang membisiki, beras impor itu oleh Cohrianto dicampur dengan beras lainnya, lantas dijual ke pasar dengan kemasan karung berlebel "Semangat". Agar lebih meyakinkan, dicantumkan pula keterangan tentang kualitas beras, seperti Kuku Balam, IR 64, Jongkok Perak. Harganya? Sementara semula menurut aturan Dolog beras itu mesti dijual seharga Rp 1.800 per kilogram, oleh Cohrianto dijual Rp 3.800 per kilogram. Polisi rupanya tidak berdiam diri. Pada September 1998, polisi menggerebek penggilingan padi milik Cohrianto. Saat itu, polisi menemukan beras yang dimanipulasi paling sedikit 118 ton. Cohrianto kemudian diperkarakan. Ia dituduh telah melakukan penipuan (Pasal 378 KUH Pidana) dan persaingan curang (Pasal 382 bis KUH Pidana). Kepala Subdolog Kisaran, Baharudin Sipahutar, juga terkena imbas. Selain dianggap membantu muslihat Cohrianto, ia dinilai telah menerima suap dari pengusaha beras tersebut. Namun, perkembangan kasus itu mengecewakan pihak kepolisian. Cohrianto dan Baharudin hanya sempat ditahan sepekan. Meski berkas perkaranya sudah dibawa bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan, pada akhirnya Kejaksaan Negeri Kisaran memerintahkan agar berkas perkara itu diserahkan, untuk dilengkapi sendiri oleh kejaksaan. Tak cuma itu. Pada 16 Januari lalu, kejaksaan juga menghentikan tuntutan perkara Cohrianto dan Baharudin. Alasannya, tak cukup bukti untuk melanjutkan kasus tersebut. Bisa diduga, betapa berangnya pihak kepolisian. "Ada apa sebenarnya sampai kejaksaan menghentikan kasus itu?" kata Kepala Polres Asahan, Letkol (Pol.) Syahtria Sitepu. Dia yakin, pihaknya telah bekerja secara maksimal dan akurat untuk menuntaskan kasus tersebut. "Kalau akhirnya kejaksaan menghentikan kasus itu, buat apa mengambil alih pemeriksaannya? Lebih baik kami saja yang memeriksanya," ujar Sitepu. Kisah di balik penghentian kasus itu kemudian menjadi buah bibir masyarakat Kisaran. Kabarnya, ada patgulipat antara jaksa dan kedua tersangka. Syaiful, jaksa yang memeriksa Cohrianto?belakangan disekolahkan ke Jakarta? rupanya masih terhitung saudara ipar Baharudin. Tapi sumber lain menyatakan, kasus itu semata-mata mencuat lantaran kecemburuan bisnis. Pasalnya, Dolog Kisaran, yang menyewa dua gudang milik Cohrianto, selalu memberikan order bisnis beras kepada pengusaha itu dan jarang mengalihkan order kepada pemilik kilang padi lainnya. Ini berarti modus manipulasi mutu beras sudah sering dilakukan. Sumber lain menambahkan, manipulasi semacam itu?konon, menurut Baharudin tak diketahuinya?sudah dilakukan Cohrianto sejak 1990. Kepada pemeriksa, Cohrianto sendiri mengaku permainan bisnis itu baru dilakoninya dua tahun belakangan ini. Kendati demikian, bisa ditebak sudah berapa banyak beras yang tak sampai ke masyarakat dan berapa besar laba yang diraih Cohrianto. Yang jelas, Polres Asahan tak bisa menerima tindakan kejaksaan. Mereka lantas menempuh upaya praperadilan ke Pengadilan Negeri Kisaran. Ternyata, setelah bersidang tiga hari, Kamis pekan lalu, hakim Kurnia Yani Darmono memenangkan praperadilan polisi terhadap jaksa. Hakim menganggap penghentian penuntutan perkara Cohrianto dan Baharudin Sipahutar oleh kejaksaan tidak sah. Berdasarkan itu, pengadilan memerintahkan agar kejaksaan melanjutkan kasus tersebut. Belum jelas bagaimana kelanjutan kasus manipulasi beras impor ala Cohrianto itu. Soalnya, kejaksaan menyatakan banding atas vonis praperadilan yang ditetapkan Pengadilan Negeri Kisaran. Sementara itu, ada imbas tak sedap buat Jaksa S. Simangunsong. Jaksa yang ikut memeriksa tersangka Baharudin dan menjadi wakil kejaksaan pada perkara praperadilan itu kini mengaku enggan memegang perkara. "Lebih baik saya ke ladang daripada menerima perkara," ucapnya. Happy S., Bambang Soedjiartono (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus