SEORANG dosen Universitas Pasundan, Bandung, berhasil meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan dari Universite de France-Comte, Besancon, Prancis. Apa istimewanya? Bukan gelar tersebut yang menjadikan kelulusan Dedi Lazuardy pada pertengahan Desember lalu itu istimewa. Meneliti sejak 1993, Dedi sukses menghasilkan pipa yang ampuh untuk saluran pendingin reaktor nuklir. Dan hasil penelitian yang telah dipertahankan di depan penguji itu akan dipergunakan untuk Electricity de' France (EDF), perusahaan listrik Prancis yang mempergunakan pembangkit tenaga nuklir.
Agaknya EDF belum menemukan alternatif pengganti pipa baja yang selama ini dipergunakan untuk saluran pendingin reaktor. Masalahnya, pipa baja sangat rentan terhadap korosi sehingga setiap delapan tahun harus diganti. Padahal umur reaktor nuklir jauh lebih lama dibandingkan dengan masa ketahanan pipa baja. Jika umur satu reaktor rata-rata 50 tahun, setidaknya diperlukan penggantian pipa sebanyak enam kali. Tentu saja boros jadinya. Kerugian lain, reaktor tidak bisa bekerja selama proses penggantian pipa.
Itu sebabnya EDF merintis proyek kerja sama dengan Universite de France untuk mengembangkan teknologi-teknologi baru untuk memenuhi kebutuhan EDF. Dan gayung ini pun disambut Dedi dengan menyodorkan pipa komposit sebagai pengganti pipa baja. Menurut Dedi, sekalipun harga pipa komposit yang terbuat dari bahan kaca serat (fiberglass) ini diperkirakan 1,5 kali harga pipa baja dengan ukuran yang sama, pipa komposit mempunyai keunggulan daya tahan yang sangat tinggi terhadap korosi. Dengan begitu, umur pemakaian pipa komposit ini akan sama panjangnya dengan umur reaktor itu sendiri. Sedangkan kelemahan kaca serat yang mudah pecah disiasati dengan peningkatan kualitas bahan epoksi yang berfungsi meningkatkan daya tahan kaca serat terhadap benturan.
Cara pembuatan pipa komposit ini juga sederhana. Mula-mula lembaran kaca serat yang sangat elastis dan lunak ditambah dengan sejenis resin tahan panas yang disebut epoksi. Lembaran ini lantas dipintal pada pipa cetakan dengan sudut pintal 55-87 derajat, sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, bahan dipanaskan dalam oven dengan suhu 150 derajat Celsius selama empat jam. Maka jadilah pipa yang siap pakai. Menurut Dedi, besarnya sudut pintal ternyata menentukan kekuatan pipa terhadap tekanan air. Semakin besar sudut pintal, semakin besar pula kekuatannya. Pada sudut pintal maksimal, 87 derajat, kekuatan terhadap tekanan bisa mencapai 200 megapaskal. Padahal tekanan air pada saluran pendingin reaktor nuklir maksimal hanya sekitar 100 megapaskal.
Sayangnya, penelitian Dedi ini tidak bisa dimanfaatkan di Indonesia, yang tidak mempunyai industri yang menggunakan tenaga nuklir. Perlu-tidaknya pembangunan reaktor nuklir di Tanah Air sendiri hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun, menurut Dedi, temuannya ini, kalau diinginkan, bisa juga dipergunakan untuk industri air minum. Agar penelitiannya tak sia-sia, alumni fakultas teknik industri jurusan mesin ini berencana membuat mesin untuk mencetak pipa yang untuk saat ini setidaknya bisa diterapkan pada industri sepeda. Namun, untuk mendapatkan bahan baku, setidaknya ia harus ke Singapura. Sebab, kaca serat seperti yang digunakan di Prancis tidak tersedia di Indonesia. "Sepeda dari bahan ini akan menjadi mewah. Dan tentu saja harganya akan lebih mahal," katanya.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini