KASUS Dice bukannya semakin terang -- memasuki minggu keempat kini. Dan itu bukan karena polisi kehilangan jejak. Tapi munculnya berbagai data baru menjadikan peristiwa pembunuhan peragwati ini jadi semakin berbelit. Sejumlah petunjuk, dan teori, yang diharapkan segera membawa pelacakan ke arah pelaku, ternyata, membawa ke jalan yang bercabang-cabang. "Harus diakui, kasus ini memang tidak besar. Tapi cukup pelik," kata sebuah sumber kepolisian di Jakarta. Mr. X, yang kuat dicurigai sebagai pelaku penembakan itu misalnya, sampai Senin pekan ini belum bisa dimintai keterangan. Belum ada bukti kuat bagi polisi untuk melakukan pengusutan atas dirinya, apalagi penangkapan. Antara lain karena saksi mata, yang di malam kejadian dikabarkan sempat berpapasan dengan Mr. X itu, kini entah berada di mana. Dugaan sementara, saksi penting ini sengaja menghilang karena tak ingin dibikin repot oleh petugas, yang tentu akan menanyainya secara intensif. Dan bila kesaksiannya ternyata bisa menyeret seseorang ke dalam tahanan, ia mungkin khawatir akan keselamatan jiwanya. Sementara itu, polisi berhati-hati melakukan tindakan, agar tak diserang balik dengan pasal-pasal KUHAP. "Kami sudah cari dia ke berbagai pelosok, bahkan sampai ke luar Jakarta," kata sebuah sumber. "Namun tak ada yang bisa memberi keterangan, di mana kira-kira dia kini berada. Tapi kami belum menyerah." Untuk mengungkap kasus penembakan atas bekas fotomodel dan peragawati yang punya banyak hubungan dengan sejumlah tokoh penting ini -- harus diakui, petugas telah bekerja habis-habisan. "Tim Kalibata" -- istilah tidak resmi yang kemudian sering diucapkan, yang menunjuk kepada satuan polisi yang menangani kasus Dice -- tampak sering berdiskusi atau terjun ke lapangan sampai menjelang subuh. Dice, 36, seperti diketahui, ditemukan tewas tertembak pada Senin malam, 8 September lalu. Malam itu, mobilnya, sebuah Honda Accord putih B 1911 ZW, terparkir di tepi jalan, tak berapa jauh dari pintu gerbang pabrik farmasi, PT Dupa, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Hampir bisa dipastikan, berdasarkan prarekonstruksi yang dilakukan Rabu dua pekan lalu, korban ditembak di Tempat Kejadian Perkara (TKP), di dalam mobilnya. Usai melakukan penembakan, si pelaku secara tak disadari telah menempelkan tangannya yang ada bekas darah di pintu kiri belakang mobil. Dia, setelah itu, agaknya berjalan ke barat, ke pertigaan antara jalan menuju ke Kalibata Indah dan Jalan Dupa. Teori ini dikuatkan oleh saksi yang mengaku berpapasan dengan seseorang di Jalan Dupa ketika ia pulang kerja dari pabrik sepatu Bata. Besar kemungkinan seseorang telah siap menunggu dengan kendaraan, lalu mereka kabur dari Kalibata. Atau, ini teori lain, rumahnya, atau rumah kenalannya yang bisa dipakai untuk sembunyi, ada di dekat-dekat kawasan ini. Ada petunjuk bahwa pelaku tampaknya akrab dengan kawasan Jalan Dupa dan sekitarnya. Misalnya, tampaknya ia tahu benar bahwa jalan di sebelah utara PT Dupa itu sering dipakai oleh mereka yang pacaran. Hingga seandainya Honda putih itu berhenti lama di pinggir lalan yang diapit oleh pagar tembok dan kebun karet itu, tak akan mengundang kecurigaan orang. Yang hingga kini sangat sulit dilacak, yakni ke mana sajakah Dice mengendarai mobil setelah keluar dari rumah di Jalan Guru Alip, sekitar pukul 19.00, 8 September lalu itu. Soalnya, menurut prarekonstruksi, mobil maut itu belum berada di Jalan Dupa sebelum pukul 22.00. Koordinator Satpam PT Dupa pulang ke rumah lewat jalan ini sekitar pukul 22.00 dan ia belum melihat ada mobil di jalan. Padahal, jarak antara Jalan Guru Alip dan Jalan Dupa hanya sekitar 2 km. Mungkinkah korban mengunjungi salonnya terlebih dahulu di kompleks Kalibata Indah? Bila benar, tentulah Dice berlama-lama di Salon Citra Ayu itu. Jarak antara TKP dan salon itu boleh dibilang dekat, kurang dari 1 km. Tapi dengan siapakah korban berada di situ? Salon yang sehari-hari dikelola oleh Sri, adiknya, telah ditutup sekitar magrib, dan rumah usaha ini ditinggalkan tanpa penjaga. Tempat lain yang sering dikunjungi Dice memang ada. Yakni, sebuah rumah di Jalan Tumaritis, Jakarta Selatan, yang berjarak sekitar 10 km dari Jalan Guru Alip. Beberapa sumber menyatakan, rumah berpagar bambu yang cukupan luasnya dan terletak di daerah sepi dan nyaman ini dikontrak sejak tiga tahun lampau. Pengontraknya bernama Roy Irawan, tapi pengontrak ini hanya sesekali saja datang ke sana. Justru Dice dan seorang laki-laki setengah baya yang masih ganteng, seorang pengusaha yang sukses, yang sering mengunjungi rumah itu. Setidaknya, seminggu sekali mereka datang. Tapi jangan mencoba mencari Dice di sini. Pembantu suami-istri yang ditugasi menunggui dan merawat rumah tersebut hanya tahu bahwa nama majikan mereka adalah Ibu dan Bapak Handoyo. "Ibu Handoyo orangnya sangat baik. Dua kali pembantunya di rumah itu melahirkan, dia sendiri yang mengantarkannya ke dokter," kata sumber TEMPO. "Dia sempat marah-marah karena dokter tidak begitu antusias menolong, mungkin karena tahu yang ditolongnya hanya seorang pembantu." Bapak dan Ibu Handoyo biasanya datang tidak bersamaan. Mereka datang mengendarai mobil masing-masing, dan beberapa meter sebelum mobil masuk halaman, pintu pasti sudah dibukakan. Rumah itu dilengkapi dengan bel remote control, yang bisa dibunyikan dari dalam mobil mereka. "Bapak atau Ibu, biasanya datang dalam waktu selang tiga menit. Dan mereka berada di situ pukul 09.00 sampai menjelang magrib," tutur sumber tersebut. Menurut dia pula kunjungan itu adakalanya lebih singkat. Tapi mereka selama ini belum pernah menginap. Sedangkan waktu kunjungan, harinya bisa hari apa saja. "Tapi biasanya pada hari kerja. Ibu Handoyo, oleh pembantu di rumah itu, juga dikenal sebagai orang yang sangat telaten. Biasanya dia masak sendiri. Bahkan membersihkan kamar tidur serta kamar-mandi dilakukannya sendiri. "Pembantu tak diiinkan masuk ke kamar," kata sumber tersebut. Belakangan, kunjungan mereka kian jarang. Selama Juli-Agustus lampau, Pak dan Bu Handoyo malah tak datang ke sana. Hingga pembantu -- yang dibayar Rp 60 ribu sebulan -- tak bisa membayar uang keamaan. Ketidakdatangan majikan, setahu pembantu, karena Pak Handoyo pergi ke Amerika. Menurut sumber TEMPO, ternyata dia itu pergi naik haji. Tentang kepergian ini, Bu Handoyo konon scmpat menuliskan secara samar-samar di buku hariannya. "Selamat jalan," begitu dia menulis saat pada tanggal keberangkatan. Dan pada tanggal 1 September lalu, di buku harian itu tertulis, "Sudah tiga hari pulang koq belum telfon." Ternyata, esoknya, 2 September, Pak dan Bu Handoyo muncul di rumah Jalan Tumaritis itu. Dan lima hari kemudian, 7 September, Bu Handoyo datang -- hanya Bu Handoyo -- menyerahkan uang Rp 7 ribu kepada pembantu. Uang itu untuk belanja karena pada tanggal 11 September mereka akan datang. Rencana itu, tentu saja, tak pernah terlaksana. Senin malam, 8 September, seperti sudah diketahui, Bu Handoyo alias Dice mati ditembak. Dan Selasa, 9 September muncul Pak Handoyo, sendiri. Ia tampak murung, tak seperti biasanya, tutur sumber TEMPO. Ia duduk termangu-mangu di teras. Masih dengan gerakan lesu, ia kemudian menurunkan foto-foto Bu Handoyo dari dinding. Ketika itu, setelah ada yang memberi tahu, barulah pembantu sadar siapa sebenarnya Bu Handoyo. Dan akibatnya bagi pasangan pembantu pun ada. Tiga hari setelah itu, 11 September, datang suruhan Roy -- orang yang resminya adalah pengontrak rumah itu -- muncul naik sepeda motor. Dengan sangat tergesa, dia menyuruh pembantu dl rumah itu segera pergi. Tapi perintah ini ditolak. Barulah ketika malamnya si utusan datang lagi dan memberikan uang Rp 500 ribu untuk mengontrak rumah, kata orang itu pasangan pembantu dengan dua anak itu meninggalkan Tumaritis. Tak begitu jelas. Adakah hubungan kehidupan di rumah Jalan Tumaritis ini dengan tewasnya Dice. "Sejauh ini belum terlihat ada hubungan. Mungkin kehidupan di Jalan Tumaritis adalah satu hal, dan pembunuhan Dice adalah hal yang lain lagi," jawab sumber TEMPO. Kini, kabarnya, ada 11 orang yang masuk dalam daftar "orang yang bisa dicurigai" terlibat, atau tahu, tentang terbunuhnya korban. Salah satunya, yang sangat dicurigai, Mr. X itulah. Sementara motif dan latar belakang kasus ini, sejauh ini, masih baur. Cinta, dendam, harta, pemerasan, atau kombinasi dari itu. Dan apa pun alasannya, yang cukup menggelitik ditelusuri adalah: mengapa pembunuhan mesti dilakukan di Jalan Dupa, yang meski tergolong sepi, sebenarnya bukan tempat yang "baik" untuk mengeksekusi korban? Mengapa tak dilakukan di tempat yang korbannya baru bisa ditemukan lama kemudian, hingga pelacakan akan kian sulit dilakukan -- umpamanya dibuang ke laut? Atau dengan cara lain yang lebih halus hingga sepertinya korban bukan tewas akibat pembunuhan? Kemungkinan pertama, seperti telah disebutkan, daerah ini adalah lokasi yang begitu dikenal oleh pelaku. Dia tahu persis bahwa di jalan yang panjangnya tak sampai 500 meter itu, bila mobil hanya berhenti untuk beberapa menit, tak bakal ada yang curiga. Orang yang kebetulan lewat bakal mengira penumpang mobil sedang bermesraan. Bila si pembunuh harus mencari tempat lain yang lebih memadai, tentunya akan diperlukan waktu yang cukup untuk melakukan observasi. Tapi ini tak dilakukan. Eksekusi, rupanya, perlu dilaksanakan segera. Itu pula sebabnya, mungkin, cara pembunuhan yang lebih canggih tak digunakan. Sebab, untuk melaksanakannya perlu persiapan matang dan memakan waktu, sedangkan dia harus bekerja cepat. Faktor ketergesaan rupanya bisa pula dilihat dari cara berpakaian Dice di hari nahas itu. Tak biasanya bekas peragawati berselera tinggi ini keluar rumah sembarangan. Agaknya, panggilan suara perempuan di telepon itu begitu mendesak, hingga untuk berganti pakaian atau menata diri tak lai sempat buat Dice. Dan bila ia lantas memutuskan pergi begitu saja, mestinya orang yang ditemuinya memang sudah sangat akrab, hingga tak perlu basa-basi. Tapi masih ada satu hal. Mengapa jarak antara korban keluar dari rumah dan penembakan membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Boleh jadi si pelaku menunggu saat yang sepi. Tak tertutup pula kemungkinan bahwa dalam waktu tersebut ada tawar-menawar antara korban dan pelaku. Dan keputusan "diskusi" itu memang Dice harus mati. Dan tetap misterius siapa gerangan penelepon Dice yang menyebabkan ia begitu tergesa meninggalkan rumah. Untuk urusan apa pula undangan itu -- bila bukannya sebuah pancingan. Sebuah tempat lagi yang sering dikunjungi Dice adalah sebuah toapekong di kawasan Teluk Gong, Jakarta Utara. Kelenteng ini khusus untuk wanita. Dan menurut sumber di situ, beberapa waktu lampau memang seorang wanita ayu pemilik salon suka datang. "Dia minta agar salonnya itu laris," kata sumber tersebut. Belum diketahui pasti apakah pemilik salon dimaksud memang Dice atau orang lain lagi. Tapi, tak semuanya belum jelas. Menurut hasil penyidikan proyektil peluru yang ditemukan dalam mobil korban oleh Laboratorium Kriminil Mabes Polri, senjata pembunuh itu pistol kaliber 22. Dari ini mungkin jejak pembunuh bisa dilacak. Jenis senjata ini bukan milik ABRI, dan hanya orang-orang tertentu boleh memilikinya. Memang bisa repot, tentu, bila pistol jenis ini banyak masuk secara tidak resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini