PROSES prperadilan rupanya bisa menampilkan kreasi-kreasi baru. Kali ini motel Bangkalan di Madura. Seorang pengacara yang gagal memohon praperadilan secara langsung, atas penahanan polisi terhadap kliennya, mengajukan gugatan babak ke-2. Dan, yang lebih menarik, gugatan diajukan melalui perusahaan ekspedisi Elteha. Lucunya, Pengadilan Negeri Bangkalan yang menerima kiriman itu, Karnis pekan lalu, menyidangkan kembali praperadilan itu. Padahal, hukum acara, KUHAP, tegas-tegas menyebutkan bahwa proses praperadilan hanya bisa berlangsung sekali bahkan tidak bisa dibanting. Praperadilan yang tidak lazim itu muncul dalam kasus penganiayaan oleh sopir truk, Imam Syafi'i, 32, terhadap istrinya, Romlah. Tengah malam, 2 September lalu, Imam dihampiri dua petugas polisi ketika turun dari truknya di pasar Tanjungbumi di luar Bangkalan. Ini bukan tilang. Pasalnya, beberapa hari sebelumnya, ia cekcok dengan istrinya, Romlah, 24, yang sudah sembilan bulan pisah tidur dengannya. Karena tidak bisa mengendalikan emosi, seperti diakui Imam, ia memukul muka istrinya dengan . . . golok yang masih terbungkus sarung. Akibatnya, bibir Romlah nyonyor. Sebab itu, Romlah mengadu ke polisi. Polisi, tanpa surat apa pun, kemudian menangkap Imam. Sepuluh hari kemudian barulah polisi menyodorkan surat bersegel kepada Imam yang isinya pernyataan tidak akan menuntut polisi dengan imbalan akan dibebaskan. Imam yang senang dengan janji bebas itu, menandatangani perjanjian tadi. Ternyata, janji polisi itu palsu. Imam tetap mendekam di balik terali. Seorang saudara Imam, Lisawati, memprotes keras. Melalui pengacara Surabaya, Gede Gediyanto, ia mempraperadilankan Polsek Tanjungbumi ke Pengadilan Negeri Bangkalan. Tapi Hakim Ismet Iluhuda, yang mengadili kasus itu tua pekan lalu, menolak tuntutan Lisawati. "Wah, tidak bisa gugatan itu diterima. 'Kan sudah ada pernyataan Imam tidak akan menuntut polisi," begitu alasan hakim kepada Lisawati. Pengadilan memutuskan praperadilan itu gugur. Pengacara Gede ternyata tidak kehabisan akal. Ia membuat permohonan praperadilan baru yang ditandatangani oleh Imam. Dan, dibuat pula surat pernyataan pencabutan perjanjian antara Imam dan polisi. Tapi, ketika gugatan itu diajukan ke pengadilan, Ketua Pengadilan Negeri Bangkalan, Sudiyono, kaget. "Eh, kok masih menuntut lagi. Tidak bisa itu, tidak bisa," kata Lisawati, menirukan Sudiyono. Sebab itu, Gede bersama Lisawati memilih jasa Elteha untuk memasukkan gugatannya. Tapi, lucunya, sidang babak kedua itu dilaksanakan, bersamaan harinya dengan sidang pidana penganiayaan dengan terdakwa Imam -- perkara pidananya itu rupanya dalam tempo seminggu dikebut polisi pemberkasannya untuk diteruskan ke pengadilan. Akibatnya, pata hari Kamis pekan lalu itu, Imam dua kali diadili di peradilan yang sama. Pada pagi harinya Imam dihadapkan sebagai terdakwa dalam kasus penganiayaan. Cuma sebentar. Seperempat jam kemudian Imam dihadirkan lagi sebagai pemohon dalam perkara praperadilan yang ditangani Hakim Ismet Iluhuda -- yang juga hakim praperadilan babak I. Sidang itu pun tidak perlu berlama-lama. "Apa perkara Saudara sudah disidangkan?" tanya Hakim Ismet. Imam menjawab sudah. "Kapan?" tanya Hakim. "Tadi, barusan," tutur Imam. "Bagus, dan sidang diskors 10 menit," kata Hakim Ismet. Setelah sidang dibuka kembali, Ismet mengumumkan gugatan itu tidak bisa diterima karena perkara sudah disidangkan. Dagelan. Gede Gediyanto tentu saja tidak puas. Sebab, ia tetap berkeyakinan bahwa penahanan atas kliennya tidak sah. Sebab itu, ia berniat meminta fatwa dari Mahkamah Agung atas jalannya proses praperadilan "model" Bangkalan itu. K.I., Laporan Saiff Bakham (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini