KRISIS kepercayaan masyarakat terhadap hukum sudah sampai pada tingkat yang memerlukan penanggulangan serius. Masyarakat bukan saja tak mempercayai polisi, jaksa, ataupun hakim, tapi malah bertindak sebagai aparat penegak hukum itu sendiri. Tindakan main hakim sendiri itu acap ditujukan kepada tersangka pelaku kejahatan. Biasanya korban tidak cuma dianiaya, tapi juga dibakar hidup-hidup. ''Pengadilan rakyat" yang cenderung sangat brutal ini memang bukan hal baru. Pada awal 1960-an, misalnya, seorang pencopet tewas mengenaskan dibakar massa di kawasan Pasarsenen, Jakarta.
Jelaslah hukum bakar sudah lama dipraktekkan di sini. Yang mengkhawatirkan adalah frekuensinya melonjak. Sebutlah peristiwa yang terjadi Jumat dua pekan lalu di daerah Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Di kawasan yang terbilang rawan ini, empat pemuda yang diduga bertindak sebagai pelaku perampasan sepeda motor ditangkap massa, dipukuli habis-habisan, dan akhirnya dibakar. Dua dari empat lelaki itu tewas di tempat kejadian.
Polisi yang datang ke lokasi berhasil mengamankan dua korban lainnya dari amukan massa. Tapi salah seorang yang diamankan itu keburu mengembuskan napas terakhir sebelum sampai di rumah sakit. Rupanya, korban yang meninggal itu terluka parah akibat tusukan senjata tajam.
Aksi massa dengan membakar korban hidup-hidup terjadi pula di beberapa daerah lain, misalnya di Cilacap, Jawa Tengah. Di kabupaten yang dulu menjadi bagian dari bekas Keresidenan Banyumas itu, setidaknya sudah lima orang tersangka tewas dibakar massa selama tiga bulan ini.
Ironisnya, aksi main hakim sendiri dengan membakar korban tidak hanya menimpa orang yang diduga melakukan kejahatan. Hukuman yang tak kenal prosedur itu juga dikenakan terhadap orang yang tak disukai. Contohnya kasus pembakaran pasangan Samud dan Mugiyanti di Desa Pahonjean, Majenang, Cilacap, pada 3 Maret 2000.
Pasangan tua itu dibakar ketika sedang tidur lelap di rumahnya pada tengah malam. Samud meninggal, sedangkan istrinya, yang mengalami luka bakar di wajah, kini dirawat di rumah sakit. Adapun empat orang pelakunya dapat diringkus polisi. Diduga, otak pembakaran itu tak lain adalah anak dan menantu korban, yakni suami-istri Sumiyati-Herudin. Keduanya mengaku melakukan perbuatan itu karena dendam kepada korban. Penyebabnya sederhana: mereka merasa ikut membangun rumah korban, tapi tak boleh tinggal di situ.
Persoalannya sekarang: kenapa sebagian masyarakat gampang main hakim sendiri dengan cara membakar orang hidup-hidup? Budayawan Darmanto Jatman di Semarang, yang juga mendirikan lembaga swadaya masyarakat antikekerasan, meniliknya dari aspek klasik, yaitu krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Sebagaimana diketahui, masyarakat menganggap tak bisa lagi mengandalkan penegak hukum—baik polisi, jaksa, maupun hakim—dalam upaya menegakkan keadilan. Di masyarakat masih melekat pemeo yang bunyinya seperti ini: ''Melaporkan kehilangan kambing ke polisi malah bisa jadi kehilangan sapi." Tak aneh bila rakyat kecil cenderung memilih keadilan versinya sendiri.
Selain adanya faktor krisis kepercayaan, menurut Darmanto, masyarakat juga dipengaruhi tayangan kekerasan di media massa, terutama televisi. Kedua faktor penyebab itu kemudian menimbulkan letupan besar begitu era reformasi bergulir.
Mengenai aksi pembakaran di daerah Cilacap, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah Mayjen Pol. Kadaryanto berpendapat bahwa faktor daerah terpencil dengan pendidikan dan kadar agama yang rendah merupakan penyebabnya. ''Itulah yang membuat masyarakat jadi gampang terhasut," kata Mayjen Kadaryanto.
Tapi faktor yang diutarakan Mayjen Kadaryanto itu agak sulit dipertahankan sebagai faktor yang berlaku khusus di Cilacap. Sebab, aksi main hakim sendiri dengan membakar korban juga terjadi di kota besar seperti Jakarta. Contoh terakhir peristiwa di Cengkareng itu.
Namun, Mayjen Kadaryanto mengajukan satu lagi faktor yang diduga menyebabkan massa gampang main bakar, yakni adanya anggapan umum bahwa membunuh orang secara beramai-ramai tentu bisa luput dari hukuman. Faktor ini pun sebenarnya bersifat umum karena berlaku pula pada kasus penganiayaan korban tanpa dibakar.
Sementara itu, ada pula faktor penyebab lain, sebagaimana dituturkan Maman, salah seorang tersangka pembakaran pasangan Samud-Mugiyanti. Menurut Maman, dengan cara membakar, urusan bisa cepat selesai dan tuntas. Memang Maman tak menyebutkan bahwa cara itu juga bisa sekaligus meniadakan bekas kejahatan.
Yang jelas, untuk meredam aksi bakar semacam itu, berbagai faktor penyebab harus ditelaah secara cermat oleh penegak hukum. Para pelakunya juga mesti dituntut secara hukum. Selama ini, polisi tampaknya sulit mengusut pelaku aksi massa. Padahal, kalau pelaku kekerasan dan main hakim sendiri tidak diadili dan tidak dihukum, kasus serupa akan lebih sering terulang dan hukum pun semakin tak berwibawa.
Hp.S., Hendriko L. Wiremmer, dan L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini