HUKUM lingkungan tampaknya masih belum "menggigit" di meja hijau. Buktinya, berbagai gugatan masyarakat terhadap perusahaan yang dianggap mencemarkan lingkungan hidup selalu gugur di tangan hakim. Selasa dua pekan lalu, misalnya, Pengadilan Negeri Bandung menolak gugatan 14 orang warga Kelurahan Cibuntu, Bandung, terhadap perusahaan pencucian kain jeans dan konveksi, PT Banyumas Washing Centre (BWC), yang dituding telah merusakkan lingkungan mereka. Memang, sebagaimana ketentuan hukum acara perdata, hakim memutus perkara berdasarkan keyakinannya dan bukti-bukti. Nah, soal bukti-bukti ini -- tentu saja bersifat formal -- menjadi pertimbangan pengadilan dalam mematahkan gugatan tersebut. Dalam kasus itu, kata ketua majelis hakim, Benarto, bukti-bukti yang diajukan penggugat, "lemah." Tak urung, keputusan itu membuat Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) Emil Salim kecewa. Soalnya, jauh sebelumnya KLH sudah memohon kepada Mahkamah Agung agar kasus itu diperhatikan. Selain itu, KLH pun mengimbau majelis hakim agar memeriksa saksi ahli yang, menurut Emil Salim, amat penting peranannya dalam soal lingkungan hidup ini. KLH sendiri sudah menurunkan tim penegak hukum, yang diketuai Dr. Daud Silalahi, untuk meneliti kasus itu. Kesimpulan tim, limbah industri PT BWC -- yang mengalir ke parit dan terus ke sungai di situ -- memang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi manusia dan lingkungannya. Tapi, tak satu pun saran itu diindahkan hakim. Padahal, "Terlepas dari kasusnya: apakah tingkat pencemarannya sederhana atau luar biasa, seharusnya hakim menanggapi imbauan itu," kata Emil Salim. Kendati tak bermaksud mencampuri wewenang lembaga pengadilan, Emil berharap soal lingkungan hidup bisa ditangani secara obyektif dan adil. Perkara itu bermula dari kegusaran para penduduk di sekitar PT BWC, yang berdiri pada akhir 1988. Mereka menuding aktivitas pabrik milik Karyadi Halim itu mulai dari debu dan bau asap, limbah buangan, suara mesin yang menggema 24 jam penuh, sampai sumur artesis -- telah merusak lingkungan. Ali Basah, 43 tahun, yang tembok rumahnya berdekatan dengan PT BWC, misalnya, menuduh pencemaran lingkungan oleh pabrik mengakibatkan 45 ekor burung perkututnya mati. Padahal, perkutut jenis dari Bangkok itu berharga Rp 5 juta lebih per ekor. Pada Februari 1989, tercapai kesepakatan antara 14 warga -- termasuk Ali -- dan PT BWC. Pihak pabrik bersedia meredam berbagai kegiatan yang dituding mengganggu lingkungan itu. Bahkan PT BWC juga berjanji akan memberikan air bersih kepada penduduk, mengaspal jalan, dan memberikan seragam hansip. Tapi janji itu tinggal di mulut. Akhirnya, melalui Pengacara Roely Panggabean, ke-14 warga tadi menggugat PT BWC ke pengadilan. Toh percuma juga. Menurut Emil Salim dan staf ahlinya, Daud Silalahi, masalah tersebut tak lepas dari soal pemahaman lingkungan hidup. Karenanya, tak heran jika hingga kini belum ada kesepakatan tentang metode pembuktian -- termasuk kompetensi saksi ahli -- kasus pencemaran lingkungan. Di samping, tentu saja, belum seragamnya penafsiran hakim atas Undang-Undang Lingkungan Hidup tahun 1982. Sinyalemen Emil itu tak berlebihan. Buktinya, dua gugatan terhadap PT Inti Indorayon Utama (IIU) di Jakarta dan Medan dalam soal lingkungan di sekitar pabrik perusahaan itu di Sumatera Utara dipatahkan pengadilan dengan alasan yang berbeda. Di Medan, pengadilan menganggap tak berwenang mengadili soal pencemaran lingkungan. Sebaliknya, hakim Jakarta berpendapat pihaknya bisa mengadili soal itu. Hanya saja, perusakan lingkungan oleh PT IIU itu, menurut hakim, tak terbukti di sidang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini