Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Buntut pelarian wirogunan

3 napi, sutarno, m. qosim, & faisal putra yang lari dari lp wirogunan, yogya, diadili. 4 napi rekannya tewas di tempat persembunyian. sutrisno, penjaga lp ditembak. saksi penting, fauzi, sulit dicari.

28 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAYAK bila narapidana ingin cepat menghirup udara bebas. Tapi yang dilakukan tujuh napi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wirogunan, Yogyakarta, agar cepat bebas justru berakibat fatal bagi mereka. Empat di antara mereka tewas dalam baku tembak ketika diburu petugas. Sisanya Sutarno, 33 tahun, Mochamad Qosim, 31 tahun, dan Faisal Putra 31 tahun, pekan-pekan ini diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Ketiga terdakwa -- bersama empat rekannya yang tewas itu -- dituduh jaksa telah melawan dan menembak petugas LP, Sutrisno, sehingga menyebabkan matinya korban. Menurut Jaksa S.S. Pandia, perbuatan yang direncanakan terlebih dahulu itu dilakukan para terdakwa sewaktu mencoba lari dari LP Wirogunan, pada 18 September 1988. Perencana sekaligus komandan pembobolan itu, kata jaksa, adalah terpidana Kopral Satu Suharto, 31 tahun. Bujangan, bekas anggota Armed Magelang, Jawa Tengah, yang bertubuh atletis dan berpenampilan rapi ini dihukum 14 tahun penjara akibat kasus penggranatan mobil Fiat di Secang, Magelang, pada 22 Agustus 1986, dan kasus perampokan toko emas Cenderawasih di Temanggung, Jawa Tengah. Beberapa hari sebelum kejadian, dakwa jaksa, Suharto menghubungi keenam temannya itu satu per satu sambil membagi-bagikan senjata api, yang dicurinya dari gudang penyimpanan di LP Wirogunan. "Senjata ini untuk menembak siapa saja yang menghalang-halangi," perintah Suharto. Sutarno, terpidana 10 tahun penjara, menerima sepucuk pistol jenis Colt S&W 32 dan enam butir peluru dari Suharto. Bekas sersan satu polisi itu dipidana karena membunuh seorang gali, Bayu Rumekso, gara-gara korban sering bertandang ke rumah pacar gelap Sutarno, Lely. Sedangkan bekas Kopral Dua Qosim -- satu kesatuan dengan Suharto, yang divonis 3 tahun 10 bulan penjara karena terlibat komplotan Suharto memperoleh sepucuk pistol dan dua magazen plus 25 butir peluru. Sementara itu, Faisal Putra -- terpidana 12 tahun penjara dalam kasus narkotik -- diberi Suharto pistol merk Bernadely berisi enam peluru, disaksikan Sri Widarso dan Edy Saragih. Pada hari "H", setelah mendapat informasi dari napi Budi Satriyono -- yang setiap jam besuk ditugasi membantu administrasi di kantor LP -- rencana pembobolan itu dilaksanakan. Sempat terjadi tembak-menembak antara Sutrisno, penjaga pintu kedua, dan Suharto, yang menggunakan senapan panjang. Tapi Sutrisno rebah, setelah tembakan Suharto mengoyak punggungnya. Sementara itu, tiga penjaga pintu gerbang -- Bambang, Tugiman, dan Pulung dan petugas LP lainnya tak berdaya. Ada yang tiarap, ada pula yang sembunyi, ketika komplotan Suharto memuntahkan peluru secara membabi buta. Setelah mempecundangi petugas LP dan menyambar tiga sepeda motor penjaga, komplotan itu pun kabur. Sepekan kemudian, Faisal dan Qosim tertangkap, sementara Sutarno menyerahkan diri. Tiga pucuk pistol dan 26 peluru juga bisa disita kembali dari mereka. Nasib empat buron lainnya -- termasuk Suharto -- lebih sial. Mereka tewas dalam baku tembak dengan petugas di tempat persembunyiannya, di kaki Gunung Sindoro, Wonosobo. Di persidangan, saksi Tugiman mengatakan bahwa kawanan Suharto berhasil merebut delapan buah senjata sebuah senapan dan tujuh pistol. Sewaktu kejadian, Tugiman, yang sedang tak bersenjata, mengaku tiarap setelah ditodong Faisal. Tapi ia tak tahu siapa yang menembak Sutrisno. "Saya baru tahu Sutrisno meninggal begitu tembak-menembak selesai," kata Tugiman, yang Yamaha bebeknya ikut dirampas terdakwa. Ketiga terdakwa, yang pada awal 1989 divonis masing-masing 2 tahun 6 bulan penjara dalam kasus pencurian senjata api LP itu, anehnya, selain mengaku tak kenal saksi, juga membantah keterangan itu. "Saya tidak pernah menodong saksi," ujar Faisal. Sewaktu TEMPO menanyakan penembak Sutrisno, pria kelahiran Aceh yang berpenampilan dendi ini cuma berkata, "Saya tidak tahu. Jaksa lebih tahu." Memang, Jaksa Pandia yakin Suhartolah yang menembak Sutrisno. Itu berdasarkan keterangan, di antaranya, saksi Fauzi Sunarisman, bekas napi 6 tahun penjara. Sayangnya, sampai pekan lalu, jaksa belum bisa menghadirkan Fauzi. Rupanya, setelah bebas, Fauzi merantau ke Jakarta tapi tak jelas alamatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus