LILI -- ini bukan nama asli -- melirik jam di lengannya. Hampir pukul lima. Perempuan yang punya jabatan eksekutif di sebuah bank asing di Jakarta ini ingin ccpat menyiapkan tugas. Maklum, seusai dengan jam kantor, setiap Jumat, Lukas mengajaknya bertemu di tempat yang ditentukan. Wanita ayu berusia 32 tahun ini sudah 6 tahun berumah tangga. Setelah menikah, ia menyadari suaminya sangat kekanak-kanakan. "Di rumah, saya tidak cuma jadi ibu buat anak saya, juga buat suami," kata ibu seorang anak perempuan berumur 5 tahun ini. Kekecewaannya kemudian membuat ia berhubungan dengan Lukas -- lelaki di luar sang suami -- yang sudah beristri. "la sangat mature, bisa memberi solusi pada setiap problematik yang saya hadapi. Ia romantis. Kami akhirnya saling tergantung," ujarnya lagi. Mereka biasanya makan di restoran, nonton film, dan malah melancong ke luar negeri. Walau petang itu kangennya sudah di ujung rambut, toh keduanya pintar menahan diri. ltulah gambaran sepintas hasil dalam angket Kartini tentang affair pada wanita karier. November tahun silam, majalah ini menyebar kuesioner kepada pembacanya. Maksud angket, antara lain, untuk menemukan aspek yang bisa membuat perkawinan rukun. "Sebab, dengan berbagai alasan, masih banyak suami keberatan istrinya bekerja, hingga timbul friksi di rumah tangga," kata Harry Victor, psikolog yang ikut merancang angket. Dari 1.500 angket yang disebarkan, yang menjawab 386 responden. Mereka berusia 22-40 tahun, penghasilannya di atas Rp 200.000. Jawaban dari Jakarta 60,1%, sisanya dari kota besar seperti Surabaya, Medan, Semarang, atau Pontianak. Hasil angket itu menunjukkan 28% dari wanita karier pernah atau masih terlibat ber-affair. Sebagian responden mengaku karena perkawinannya kurang bahagia (50%), meski ada juga yang rumah tangganya serasi (12,2%). Menurut Sarita, peragawati yang jadi deputi manajer sebuah bank swasta di Jakarta, problematik wanita bekerja bukan cuma tugas kantor. Di balik itu yang paling mengganjal: menyangkut kehidupan pribadi. Seperti dialami Lili, situasinya memantik affair. "Saya percaya, kalau ada 100 wanita karier, yang 80 pasti pernah terlibat affair," kata Sarita. Istilah affair, menurut dr. Naek L. Tobing, adalah hubungan antara pasangan yang, salah satu atau keduanya, sudah menikah. Sebetulnya nonton, makan siang, berpegang-pegangan dan sampai berciuman, kalau feeling ikut main, namanya affair. "Cuma, untuk memudahkan penelitian, kami biasanya membatasi affair sampai sexual intercourse saja," kata seksolog yang juga terlibat menyusun angket itu. Wanita masa kini, secara finansial, makin independen. Makanya, kesempatan bertemu, memilih, dan menetapkan pasangan ekstra-marital lebih besar. Jika di rumah ia menemukan kekurangan dari pasangannya, misalnya soal ngobrol atau seks, di luar bisa mudah mendapatkannya. "Ini juga revolusi namanya," tutur Naek. Dulu, sebelum ada KB, wanita umurnya pendek, anaknya banyak. Posisi laki-laki di rumah dominan. Kini tidak lagi. Sejak ada KB, kesempatan wanita memperoleh pendidikan tinggi dan ekonomi makin melaju, sehingga membuat kepercayaan pada dirinya ikut meningkat. Mendasari pada perkembangan kemajuan itu, Naek lalu menoleh ke hasil penelitian Dr. Albert Kindsay di Amerika pada 1948: jumlah lelaki yang "nyeleweng" ada 52% dan wanita hanya 24%. Setelah dekade 1970-an, angka ini melonjak. Pelaku pria menjadi 75% dan wanita 70%. Lain di Indonesia, yang budaya dan normanya berbeda, tentu belum mencolok. Kecuali tentang gosip, barangkali. Dalam angket Kartini, 29% affair-nya diketahui terang-terangan oleh orang lain dan 13,1% diketahui dengan catatan: orang itu pura-pura tak peduli. Ini karena wanita karier, kata dr. Naek, memang lebih ekspresif menyatakan keinginannya. Dan kalau yang intim itu diek- spresikan pada orang lain? "Tergantung manusianya, bagaimana ia berperan pada dirinya dan suaminya," kata Sarita. Contohnya Lili, bukan tidak merasa temannya tahu hubungannya sudah tiga tahun dengan Lukas. Namun, ia dan pacarnya tak pernah menyinggung soal perkawinan. Dan sampai kapan mereka bertahan? "Mungkin sampai kepergok. Yang begini sudah menyenangkan, kok. Perkawinan, meski gagal, ada di rumah," katanya. Lili memang belum pisah kasur dan kamar tidur dengan suaminya. Ia sendiri tak overacting. Sikapnya di kantor biasa saja, tidak menggeriyang ala pasangan kumpul kebo. Padahal, Lukas sekantor dengan dia. Temannya juga banyak bernasib serupa, di rumah kecewa dan di luar terkail affair. Sudah begitu buramkah potret wanita karier kini? Pertanyaan ini memang berhubungan dengan keabsahan angket. "Hasil ini belum merupakan gambaran wanita karier. Karena respondennya terbatas pembaca Kartini," jawab dr. Naek L. Tobing. Menurut Dr. Manasse Malo, ahli metodologi penelitian dan staf ahli Menko Ekuin, ada tiga hal mempengaruhi keabsahan angket. Pertama, ada operasionalisasi konsep. Lalu, pemilihan sampling yang jelas. Dengan begitu, siapa yang dituju juga jelas. Semua wanita karier atau cuma wanita karier pembaca Kartini. Akan halnya affair juga harus pasti batasannya. Sebab, ada yang reguler, yaitu makan bersama, ngobrol hingga cium pipi, tapi tanpa perasaan apa-apa. Misalnya, bertemu teman lama. "Menurut saya, suatu hubungan disebut affair kalau sudah mengarah ke hubungan seksual yang tak direstui," urai Malo. Jadi, mesti ada kategori berat ringannya. Jika sampai ke tempat tidur, itu affair berat namanya. Integritas penelitinya bahkan menentukan keabsahan. Sebuah penelitian bagus bisa jelek kesimpulannya kalau peneliti tidak bagus komunitasnya. Sebuah penelitian jelek, kesimpulannya jadi bagus bila penelitinya punya wawasan luas. Kesimpulan itulah yang nanti memberi asumsi kepada masyarakat. Atas pertimbangan tersebut, maka Manasse Malo tak yakin angket itu sudah menunjukkan potret wanita karier masa kini. Bagaimana bisa, apalagi yang jawab hanya 386 orang. "Kalau dikatakan ada kecenderungan penyelewengan pada wanita karier, mungkin itu bisa diterima," katanya. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini