Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerasan penonton DWP 2024 diduga didalangi perwira menengah Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya.
Kasus bermula dari surat perintah razia narkoba tiga hari sebelum konser.
Ada enam pengacara ditunjuk polisi untuk memediasi para korban dan menampung uang pemerasan.
PERTUNJUKAN musik elektronik Djakarta Warehouse Project 2024 atau DWP 2024 hari pertama di Jakarta International Expo (JIExpo), Pademangan, Jakarta Utara, sudah selesai pada Jumat malam, 13 Desember 2024. Amir Mansor melenggang keluar bersama temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat berada di pintu keluar, seseorang memanggil nama temannya. Mereka mendatanginya. Ternyata orang itu personel Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Mereka digeledah, tapi tak ditemukan narkotik. “Namun kami tetap dibawa ke kantor polisi,” kata pria 29 tahun itu kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir dan delapan temannya berpaspor Malaysia. Saat itu dia melihat banyak warga negeri jiran lain yang ikut digelandang ke markas Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Sesampai di kantor polisi, mereka menjalani tes urine.
Dalam tes, urine sebagian orang positif mengandung zat narkotik dan obat-obatan berbahaya atau narkoba. Mereka tetap menjalani proses hukum. “Saya menginap di sana sampai dua malam,” ujar Amir. Karena telepon seluler disita, mereka tak bisa menghubungi siapa pun pada malam itu.
Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya dibantu personel Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Utara menggelar razia narkoba selama acara DWP 20204 berlangsung pada 13-15 Desember 2024. Puluhan orang diboyong ke kantor polisi. Kebanyakan warga negara asing, tapi ada juga orang Indonesia.
Mereka menjalani tes urine, lalu ditakut-takuti akan menjadi tersangka penyalahgunaan narkoba. Agar lolos, mereka harus menjalani restorative justice oleh polisi. Tapi tak gratis. Mereka wajib menyetorkan uang lewat pengacara yang sudah ditunjuk polisi.
Amir mengaku menjadi korban pemerasan polisi. Ia dan delapan temannya dimintai uang dengan total Rp 800 juta jika ingin dibebaskan. Setelah bernegosiasi panjang, mereka akhirnya bersepakat membayar RM 100 ribu atau setara dengan Rp 360 juta agar bebas. Selama negosiasi, mereka dimediasi oleh pengacara suruhan polisi.
Secara tanggung renteng, mereka mengumpulkan fulus dari kocek masing-masing dan anggota keluarga yang dihubungi lewat telepon seluler milik pengacara. “Kami baru dilepas setelah mengirim uang ke pengacara,” ucap Amir.
Bukti transfer dari korban DWP
Berita ihwal pemerasan menggunakan modus razia narkoba itu mulai ramai di media sosial beberapa hari kemudian. Rupanya, korban pemerasan juga berasal dari Indonesia dan warga negara lain. Kasus ini terungkap setelah ada dua korban warga negara Malaysia yang mengadu.
Atase Polisi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Komisaris Besar Juliarman Eka Putra Pasaribu, mengatakan korban mendatangi langsung dan melapor ke Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Ada juga yang mengadu via surat elektronik. “Saya dan ACP Raja Fahrul (Atase Polisi Kedutaan Besar Malaysia) sudah berkoordinasi,” tuturnya.
Salah satu laporan ke alamat e-mail Kedutaan Besar Malaysia terkirim pada 18 Desember 2024. Dari dokumen yang diterima Tempo, tertulis bahwa korban menceritakan kronologi pemerasan dari penangkapan di JIExpo hingga dibawa ke Polda Metro Jaya. Ceritanya mirip dengan pengakuan Amir Mansor. Di kantor polisi, korban menjalani pemeriksaan urine. Mereka juga diperas dan harus membayar uang senilai ratusan juta rupiah agar lolos dari jerat hukum.
Laporan ini diteruskan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Metro Jaya. Dua hari kemudian, aduan itu ditindaklanjuti Divisi Propam. Belakangan, Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI turut merespons dan membuka penyelidikan.
Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Abdul Karim mengatakan hasil penelusuran itu berujung pemeriksaan etik terhadap 18 polisi. Razia narkoba dan tes urine diduga hanya akal-akalan untuk memeras korban. Mereka menemukan barang bukti berupa total uang korban sebesar Rp 2,5 miliar. “Ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban pemerasan,” katanya pada akhir Desember 2024.
Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divisi Propam Polri Brigadir Jenderal Agus Wijayanto memastikan uang para korban bakal dikembalikan. Saat ini polisi masih menyita sebagian uang hasil pemerasan untuk dijadikan barang bukti.
Mabes Polri mulai menggelar sidang Komisi Kode Etik Polri pada Selasa, 31 Desember 2024. Hasilnya, tiga perwira menengah divonis pemberhentian tidak dengan hormat alias dipecat karena mendalangi pemerasan penonton DWP 2024.
Mereka adalah Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak bersama dua anak buahnya, Ajun Komisaris Besar Malvino Edward Yusticia Sitohang dan Ajun Komisaris Yudhy Triananta Syaeful. Ketiganya mengajukan permohonan banding.
Seseorang yang mengetahui pemeriksaan terhadap para polisi dalam kasus ini mengatakan pemerasan itu sudah direncanakan secara bersama-sama pada dua hari sebelum DWP 2024 dihelat pada 13 Desember.
Hal itu terlihat dari surat perintah razia narkoba yang diteken Komisaris Besar Donald Simanjuntak. Surat inilah yang menjadi dasar para polisi menangkapi penonton DWP 2024. Penentuan nilai uang dan penggunaan modus restorative justice kepada para korban juga menjadi bagian rencana itu.
Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia (tengah) usai menjalani sidang etik di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta, 2 Januari 2025. Antara/Muhammad Ramdan
Donald divonis melanggar etik karena menjadi penanggung jawab razia berujung pemerasan itu. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko membenarkan adanya sanksi itu. “Terduga pelanggar telah membiarkan atau tidak melarang anggotanya saat mengamankan penonton konser DWP 2024,” ucapnya.
Namun, masih menurut sumber itu, skenario pemerasan itu diduga didalangi Kepala Subdirektorat III Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Malvino. Indikasinya, lulusan Akademi Kepolisian 2006 berusia 39 tahun itu yang membuat draf surat perintah razia narkoba DWP 2024.
Itulah alasan Malvino ikut dipecat meski ia tak berada di lokasi selama razia berlangsung. Meski berpangkat lebih rendah dari Donald, Malvino ditengarai lebih berpengaruh di jajaran Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Dia dikenal sebagai polisi berkarier moncer dan mantan personel kelompok elite, Satuan Tugas Khusus Merah Putih.
Komando lapangan razia itu dipimpin oleh Pembantu Unit 1 Unit 3 Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Yudhy Triananta Syaeful. Ini yang menjadi alasan pemecatannya. Yudhy diduga mengkoordinasi polisi di jajaran lain, seperti Polres Metro Jakarta Utara, Kepolisian Sektor Kemayoran, dan Badan Nasional Narkotika (BNN) Kota Jakarta Selatan. Peran Yudhy bersama atasannya, Donald dan Malvino, sudah terungkap dalam sidang Komisi Kode Etik Polri.
Tempo berupaya menghubungi nomor telepon Komisaris Besar Donald Parlaungan Simanjuntak, tapi tak kunjung direspons. Nomor telepon Ajun Komisaris Besar Malvino Edward Yusticia juga tak bisa dihubungi hingga Jumat, 10 Januari 2025.
Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko memastikan Malvino dan Yudhy turut memeras korban dengan meminta uang tebusan. Namun ia tak mendetailkan siapa inisiatornya. “Soal otak pemerasan tergambarkan pada putusan sidang etik,” ujarnya. Selain menjatuhkan sanksi pemecatan, Komisi Kode Etik Polri memberikan sanksi demosi selama lima-delapan tahun kepada 11 polisi lain yang terlibat.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Choirul Anam, mengatakan akan mendorong kasus ini ke ranah pidana. Peluangnya sangat besar karena konstruksi perkara pidana dan buktinya sudah kuat. Ia tak bisa memastikan para pelaku akan dijerat dengan pidana umum atau khusus, seperti pasal korupsi. “Kasus ini enggak boleh hanya berhenti pada sanksi etik,” tuturnya.
•••
PEMERASAN penonton Djakarta Warehouse Project 2024 juga melibatkan advokat. Mereka diduga digandeng polisi untuk menjadi “mediator” pemerasan.
Seorang korban lain yang berinisial J dan merupakan warga negara Malaysia mengatakan, saat proses negosiasi di kantor Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, dia berkomunikasi dengan polisi lewat dua pengacara yang mengaku bernama Mohamad Zen El dan Husen Bafaddal.
J diboyong ke kantor polisi pada Jumat, 13 Desember 2024. Ia ditahan bersama lima kawannya. Dia dan teman-temannya juga diminta menjalani tes dan urinenya dinyatakan positif mengandung zat narkoba. Ia ditahan dua hari. Selama ditahan, ia bernegosiasi dengan polisi melalui pengacara.
Kedua pengacara yang menyampaikan pesan polisi soal nilai uang yang harus disetor J agar bebas. Ia kemudian menyetor RM 30 ribu atau setara dengan Rp 107 juta. Namun dia tak langsung dibebaskan. “Kami melanjutkan komunikasi dengan polisi lewat pengacara setelah dipindah ke lokasi rehabilitasi,” kata J.
Seseorang yang mengetahui penyelidikan kasus ini mengatakan setidaknya ada enam pengacara yang muncul di kantor polisi. Dua advokat lain adalah Ario Tarigan dan seseorang berinisial MAB. Tempo turut mendapat salinan bukti pengiriman uang dari sejumlah korban kepada para pengacara itu. Transfer uang dilakukan berkali-kali dalam mata uang ringgit dan rupiah.
Penonton Djakarta Warehouse Project di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, 14 Desember 2024. Tempo/Bagus Pribadi
Tempo berupaya meminta konfirmasi mengenai peran para pengacara itu dengan mengirimkan permohonan wawancara ke akun WhatsApp Zen El, Husen Bafaddal, dan Ario Tarigan. Namun permohonan tersebut tak direspons hingga Jumat, 10 Januari 2025.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengaku tak mengetahui detail peran para pengacara. Namun, dia menjelaskan, masalah itu sudah masuk ke substansi perkara. “Otoritasnya ada di penyidik,” ujarnya.
Selain bekerja sama dengan pengacara, polisi menggunakan jasa yayasan. J mengaku dibawa ke tempat rehabilitasi berinisial Yayasan BKB setelah ditahan di kantor Polda Metro Jaya. Yayasan itu diketahui berada di Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat. J baru menghirup udara bebas pada Selasa, 17 Desember 2024. Ia merasa tak terima diperas polisi. “Saya laporkan kasus ini ke Kedutaan Besar Malaysia,” tuturnya.
Pihak Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta tak menjawab surat permohonan wawancara Tempo. Atase Polisi Kedutaan Besar Malaysia ACP Raja Farul Izwan Raja Ismail mengklaim tak bisa mengomentari perkara ini. Ia beralasan tak berwenang memberikan keterangan resmi kepada media massa. “Karena saya tunduk pada aturan pemerintah Malaysia,” katanya.
Pemerasan di konser Djakarta Warehouse Project diperkirakan sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Seorang yang pernah ikut menonton DWP pada 2022 mengatakan sudah melihat ada razia polisi selepas konser musik digelar. Caranya juga sama: mereka yang dicurigai ditarik keluar, lalu diperiksa kemudian diboyong ke kantor Polda Metro Jaya. Penonton yang disasar umumnya terlihat aktif berjingkrak atau tampak teler. Korbannya bisa warga negara asing atau orang Indonesia.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi enggan menanggapi tudingan adanya pemerasan yang berulang dalam konser musik DWP. Ia meminta hal itu ditanyakan langsung kepada pihak Markas Besar Polri. “Mabes yang berwenang,” ucapnya.
Konser musik elektronik tahunan DWP diselenggarakan oleh Ismaya Group. Mereka mengklaim selama ini sudah berkoordinasi dengan kepolisian tiap kali menggelar acara. Komunikasi juga dibangun dengan Kementerian Pariwisata, Asosiasi Promotor Musik Indonesia, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Gara-gara kasus ini, mereka berupaya memulihkan nama baik DWP yang sudah digelar bertahun-tahun. “Kami tengah membangun kembali kepercayaan terhadap DWP dan Indonesia,” begitu bunyi keterangan resmi Ismaya Group menanggapi kasus pemerasan itu.
Polisi berjaga saat pertunjukan Djakarta Warehouse Project di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, 13 Desember 2019. Dok. Tempo/Muhammad Hidayat
Kasus pemerasan itu turut menyeret Badan Narkotika Nasional Kota Jakarta Selatan. Informasi itu turut terungkap dalam sidang Komisi Kode Etik Polri. Pegawai BNN Jakarta Selatan dilibatkan untuk menjadi pengambil sampel urine para penonton.
Kepala BNN Kota Jakarta Selatan Komisaris Besar Bambang Yudistira membantah informasi tersebut. Bambang menerangkan, pihaknya tidak ikut melakukan tes urine terhadap penonton DWP. “Apalagi sampai mengorganisasi tes urine untuk kasus DWP,” ucapnya.
Mantan Deputi Pemberantasan BNN yang kini menjadi Ketua Umum Garda Mencegah dan Mengobati, Arman Depari, mengatakan razia narkoba memang seharusnya melibatkan BNN. Namun razia narkoba harus didasari adanya temuan awal, bukan ujug-ujug menggelandang orang ke kantor polisi seperti yang dialami ratusan penonton DWP 2024. “Harus ada surat perintah dan penyelidikan intelijen untuk merazia suatu tempat,” tutur purnawirawan inspektur jenderal itu.
Kasus pemerasan terhadap penonton DWP 2024 turut menarik perhatian Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia berjanji menghukum polisi yang bertindak semena-mena, seperti memeras masyarakat. “Itu komitmen kami untuk bersih-bersih terkait dengan peristiwa atau pelanggaran,” katanya. ●
Mohamad Khory Alfarizi, Advist Khoirunikmah, dan Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Akal-akalan Tes Urine Konser Musik