KEJAKSAAN mencatat prestasi bagus di hari ulang tahunnya yang ke-27. Pada Rabu malam pekan lalu, seorang buron kejaksaan, Frans Limasnax, diringkus di rumahnya di Jalan Rajawali Selatan 10, Jakarta. Padahal, Frans yang dihukum 2 tahun penjara dalam sidang in absentia karena terbukti menyelundup, selama tiga tahun, atau sejak November 1985, berhasil mengelabui pihak berwajib kendati bolak-balik Jakarta-Singapura. Beberapa hari sebelum penangkapan Frans, Tim Operasi Intelijen Kejaksaan mendapat informasi bahwa Frans ada di Jakarta. Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono segera menugasi Yon Artiono Arbai, 43 tahun, seorang perwira keamanan di Kejaksaan Agung untuk mencari buron itu. Yon terpilih karena ia dikenal "ahli" menjerat buron sehingga pada 1984 mendapat penghargaan khusus dari Jaksa Agung. Untuk menangkap Frans, Yon hanya dibekali informasi yang minim. Frans, ayah dua anak, dan bernama kecil Tan Tek Siong konon kini bersembunyi di rumahnya, Jalan Rajawali X/10 Jakarta. Bahkan foto buron itu pun kejaksaan tak punya. Ditemani Machmud, seorang petugas merangkap sopir, Yon berangkat menuju rumah yang dimaksud. Tapi selama dua hari "nongkrong" di sepanjang jalan ltu, la tak melihat tanda-tanda buronnya ada di sana. Baru setelah mengecek ke RT dan RW, Yon tahu bahwa Frans tidak pernah tinggal di sana. Ternyata alamat Frans yang benar adalah Jalan Rajawali Selatan No. 10. Pengejaran dilanjutkan Yon ke sasaran yang baru. Dua hari dua malam pula, ia mengamati rumah yang disebut milik Frans. Ada sesuatu yang mencurigakan. Sebuah sedan Toyota putih berkali-kali masuk rumah, yang pagarnya tertutup rapat, itu seperti pakai kode-kode tertentu. Sebab, begitu sedan itu datang pintu akan segera terbuka untuk kemudian tertutup kembali. Pintu tak pernah dibuka lagi kendati Yon sempat memencet bel rumah itu berkali-kali. Kesempatan baik baru muncul sekitar pukul 20.00, 20 Juli lalu. Entah mengapa sedan Toyota putih itu sempat parkir di pinggir jalan sebelum masuk rumah. Begitu seorang lelaki masuk ke mobil itu dan mengendarai mobilnya ke halaman rumah, Yon membuntutinya sampai ke garasi. Tentu saja lelaki itu, yang ternyata sopir Frans, kaget karena di belakangnya ada orang asing. Setelah didesak, sopir itu akhirnya mengaku bahwa majikannya ada di dalam rumah. Di ruang makan rumah itu Yon bertemu buronnya. Tapi buron itu mencoba mengelak dan membantah bahwa ia bernama Frans. Ketika paspornya diminta, ia memberikan sebuah paspor dengan nama Tan Tek Siong. Tak salah lagi itulah nama kecil Frans. Yon segera mengeluarkan surat penangkapan dan meringkus buron tersebut. Dari situ ketahuan pula bahwa Frans memiliki dua buah paspor Indonesia sebuah dikeluarkan imigrasi Jakarta dan sebuah lagi dikeluarkan imigrasi Medan. Frans, yang kelihatan lemas akibat penangkapan itu, mencoba membujuk Yon agar tak mempersoalkan paspor gandanya. "Tolong bantu, Pak, Bapak perlu apa nanti saya penuhi," bujuk Frans. Frans Limasnax, 38 tahun, pengusaha PT Segatrans Persada, terlibat penyelundupan dengan cara mengelabui SGS di Singapura, akhir tahun 1985. Dari 2.120 kantung, yang di dokumen disebutnya bahan kimia, ternyata ketika diperiksa ditemukan kaset video, karpet, dan barang mewah lainnya merugikan negara sekitar Rp 48 juta. Pihak pengusut hanya menemukan importir barang tersebut, Johan Pumput Gunawan, dari PT Tisani Karsa Agung. Menurut Gunawan, perusahaannya hanya dipinjam nama oleh Frans. Namun, sampai perkara diajukan ke pengadilan, pihak kejaksaan tak menemukan jejak Frans. Sebab itu, seperti banyak perkara penyelundupan lain, ia terpaksa diadili secara in absentia. Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara, Juni 1986, menghukum buron itu 2 tahun penjara dan denda Rp 5 juta. Belakangan pengacara Frans, Busono Sumardjo, mengajukan banding atas vonis in absentia tadi. Banding itu mengagetkan karena sebelumnya tak pernah buron mengajukan banding atas vonis in absentia. Apalagi menurut Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, perkara tanpa terdakwa, selain tak bisa dibanding atau kasasi, juga tidak dapat diwakili pengacara. Tapi, menurut Busono, pihak kejaksaan telah melakukan kesalahan dalam menangani kasus itu. Frans, kata Busono, yang kerap menghubunginya lewat telepon, tidak pernah tahu sidang perkara itu. Sebab, keluarga korban tak pernah mendapat surat panggilan untuk persidangan Frans. Dan seharusnya, katanya, kejaksaan memanggil kliennya, yang berada di Singapura, melalui surat kabar. Majelis hakim banding yang dipimpin Nyonya Mursiah Bustaman sependapat dengan Busono. Selain cara pemanggilan jaksa tak benar, majelis berpendapat sesuai dengan hukum acara yang baru, pasal 233 KUHAP, seorang terhukum in absentia diperkenankan naik banding melalui pengacaranya. Karena itu, September 1986, majelis hakim banding membatalkan vonis pengadilan tingkat pertama. Majelis juga memutuskan perkara itu harus dikembalikan ke kejaksaan. Artinya, pemeriksaan perkara itu harus diulang. Putusan banding itu, belakangan dikukuhkan Mahkamah Agung. Dengan tertangkapnya Frans, menurut Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Santoso Wiwoho, berkas perkara Frans terpaksa diperbaiki untuk dilimpahkan kembali ke pengadilan. Sebuah sumber di Kejaksaan Agung juga menyebut kemungkinan Frans diadili dalam kasus paspor ganda. Tapi tim pengacara Frans yang baru Wairo, Yushar Yahya, dan Denny Ridwan -- membantah kliennya itu buron ketika sidangnya berlangsung. Frans, kata mereka, memang tak tahu sidang perkaranya. Menurut tim pengacara itu, Frans sebenarnya sedang mempersiapkan diri untuk menghadap ke kejaksaan. Bahwa ia lebih dulu ditangkap, "Dia lagi apes saja," kata Wairo. Namun, mereka mendukung usaha kejaksaan memeriksa kembali kasus itu. "Dengan begitu, perkara bisa berkembang dan Frans bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi," kata Wairo. Mana tahu memang ada dalang di belakang Frans. Tri Budianto Soekarno, Happy Sulistyadi, dan Karni Ilyas (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini