Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Gagalnya pengembaraan gilgamesh

Pusat kebudayaan prancis, aski-surakarta & theatre aux mains nues kerja sama menampilkan pengembaraan gilgamesh. paduan wayang dengan teater, bercerita soal pengembaraan spiritual. disutradarai alain recoing.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA yang bagus, skenarionya juga bagus? Itu belum jaminan untuk sebuah pementasan yang bagus. Sebab, nasib pementasan berada di tangan sutradara. Demikian itu terjadi pada Pengembaraan Gilgamesh, sebuah pementasan perpaduan seni pewayangan Indonesia dengan teater marionet Prancis. Lakon ini bercerita tentang pengembaraan spiritual lewat suatu persahabatan. Sehingga, ketika persahabatan itu harus putus karena salah seorang mati, persahabatan itu berhasil memberikan pencerahan kepada yang tinggal hidup, Gilgamesh, penguasa kerajaan Ourouk, memerintah dengan kekerasan. Anak-anak muda diperintahkan berperang. Sementara itu, para wanita dan gadis-gadis dikuasainya. Rakyat lalu memohon kepada dewa agar memperhatikan nasibnya. Sang dewa memenuhinya dengan menciptakan Enkidou, seorang saingan raja. Enkidou lalu menjadi sahabat baik Gilgamesh. Persahabatan ini membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit dapat mengubah sifat Gilgamesh. Lalu mereka berdua mengalahkan Houmbaba, lambang kejahatan di dunia. Pcrsahabatan ini juga menyebabkan Gilgamesh mampu menolak cinta dewi Ishtar. Sang dewi yang marah memohon dewa menurunkan banteng suci untuk membunuh Gilgamesh. Tapi keduanya dapat mengalahkan binatang itu. Lalu dewi Ishtar menginginkan kematian Gilgamesh. Namun, dewa menggantinya dengan kematian Enkidou. Kematian sahabatnya ini menyebabkan Gilgamesh jatuh sedih, lalu meninggalkan kemewahannya sebagai raja. Ia mengembara mencari rahasia keabadian. Oleh pemberitahuan nenek moyangnya, Gilgamesh berhasil memetik pohon keabadian di dasar lautan. Tapi ketika ia tertidur, seekor ular berhasil mencuri pohon tersebut. Gilgamesh akhirnya lahir kembali sebagai manusia, dan pulang ke kerajaannya. Menggabungkan wayang kulit dengan teater boneka barangkali suatu kerja yang mudah. Tapi sejauh apa visi yang dimiliki sutradaranya? Sejak adegan pertama, pertunjukan ini sudah tidak menarik. Para dalang, enam orang yang muncul di panggung ternyata tak mampu memainkan boneka-bonekanya. Misalnya boneka Gilgamesh yang dimainkan dua dalang. Seorang memainkan kepala dan dua tangan, yang seorang memainkan dua kaki boneka itu. Agaknya memang tidak berniat menggerakkan bonekanya seelok gerakan boneka Bunraku, tetapi mereka tidak mampu menghadirkan sedikit keluwesan pun. Yang muncul di panggung sungguh menyedihkan. Boneka itu hampir-hampir tidak kelihatan. Artinya, boneka itu kalah menonjol dibanding para dalangnya. Boneka itu menjadi tak lebih dari bongkahan kayu yang ditenteng ke sana-kemari oleh para dalangnya yang (maaf) tampak lebih ekshibisionis. Bahwa para dalang harus ikut bermain, ini tentu ide yang yahud. Tetapi sejauh apa dalang boleh bermain, dan sejauh apa boneka dimainkan? Rasanya, telah terjadi kerancuan tugas. Yang terhampar di panggung tidak lebih dari para dalang dengan keterampilan sangat miskin, kaku dalam menguasai tubuhnya sendiri. Para dalang itu sangat kesukaran juga ketika memainkan ular, raksasa Houmbaba maupun ketika memerankan banteng dan manusia kalajengking. Berani pasti dalang-dalang ini belum digojlok habis-habisan dalam olah tubuh, untuk melenyapkan sifat mau menangnya sendiri terhadap para bonekanya. Sedang boneka-bonekanya sendiri "datar" saja bentuknya. Artinya, dari tokoh yang satu sulit dibedakan dengan tokoh yang lain. Boneka-boneka ini tidak memiliki tata kostum yang memadai. ebagian bentuk boneka-boneka kayu itu dipahat mendekati bentuk wayang kulit. Namun, sebagai karya kesenian, boneka-boneka itu jauh dan hasil suatu ekspresi. Mereka tak memendam emosi dari pembuatnya. Tata panggung yang mobil selalu menyuguhkan perubahan bentuk. Tetapi tata panggung yang berwujud kotak-kotak besar dan kecil, yang persegi maupun irisan miring, sekaligus sebagai penyimpan boneka, layar dan properti, tak banyak menolong. Panggung tak mampu menggambarkan jalan menanjak, ataupun gunung, lautan, bahkan tubuh raksasa. Panggung menjadi semrawut. Karena kesukaran teknis, tak memiliki spontanitas, lebih-lebih lagi tidak adanya visi yang jelas, pementasan ini jadi amatiran. Namun, masih ada yang dapat dipuji. Seorang dalang yang tersembunyi di balik kelir (layar) cukup meyakinkan dalam memainkan wayang kulitnya yang baru -- dan sejumlah bayangan yang imajinatif. Tata musik garapan Supanggah sungguh apik. Dapat membangun suasana. Dan bagian inilah yang paling pantas dibicarakan. Sejumlah instrumen diperdengarkan delapan musisi begitu meyakinkan: gender, slentem, bonang, rebab, kempul, gambang, suling, ketipung, gong, calung, rebana, timfani, klarinet, saksofon, kecapi, dan beberapa lagi. Musik Supanggah mengalir, menyelimuti, mengembuni, memanasi. Tata musik ini jauh lebih menonjol dan merupakan pementasan tersendiri. Grup ini lahir dari hasil kerja sama Pusat Kebudayaan Prancis, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, dan Theatre Aux Mains Nues. Merupakan proyek padu budaya yang mulai bekerja pada Februarl 1988, grup ini disponsori oleh Departemen Luar Negeri Prancis dan Departemen Kebudayaan dan Penerangan Prancis. Manggung di Graha Bhakti Budaya, TIM, Sabtu akhir pekan lalu, pementasan ini disutradarai oleh Alain Recoing. Gilgamesh pernah dipentaskan satu kali di Solo, Malang, Surabaya, dan dua kali di Yogya. Setelah Jakarta, grup ini akan main dua kali di Bandung. Jika memang benar grup ini akan berkeliling Asia dan Eropa, perlu dilakukan perombakan total. Jangan sampai citra Indonesia yang sudah masyhur sebagai salah satu pusat teater boneka di dunia ambyar gara-gara grup ini. Agaknya, perlu dicari sutradara baru, pembuat boneka baru, dan dalang-dalang baru. Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus