"BUAT saya ini perang total Iran-Irak. Tapi saya ketawa saja." Itulah komentar Prof.Dr. Sutan Takdir Alisjahbana, Rektor Universitas Nasional (Unas), Jakarta, kepada sejumlah wartawan Senin lalu. Ia menanggapi surat keputusan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof.Dr. Sitanala Arsyad yang memutuskan hubungan IPB dengan Unas. Bila dua profesor mengambil sikap begitu, perkaranya tentu bukan sekadar pikun, tapi pasti serius. Bom yang meledakkan perang ini ternyata cuma soal menanam kangkung. Mulanya, Takdir, 80 tahun, berceramah di depan peserta Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS) di Wisma Metropolitan II Jakarta, 8 Juli lalu. Selama dua setengah jam Takdir berbicara tentang perlunya angkatan muda secepat mungkin merebut ilmu dan kemajuan teknologi. Dalam acara tanya jawab, untuk menyebutkan betapa rendah mutu pendidikan di Indonesia, Takdir mengucapkan kata-kata, yang dikutip koran Suara Pembaruan: "Banyak lulusan IPB tidak mampu bertani. Mereka malah menjadi 'petani' di belakang meja. Lahan pertanian pun tak mereka miliki." Lalu disambung: "Banyak pula sarjana pertanian yang tak bisa bertani, meskipun hanya menanam kangkung." Kritik Takdir itu menggusarkan seisi IPB. "Saya tidak mengerti, mengapa Takdir ngomong begitu. Kalau lulusan kami dinilai tidak becus, berarti staf pengajar kami juga tidak becus," kata Sitanala, 54 tahun. Rektor yang baru setahun memimpin IPB ini kemudian menunggu, "Mungkin dia (Takdir) akan mengontak saya lewat telepon, surat, atau meralat pernyataannya di surat kabar." Ditunggu-tunggu tak ada apa-apa, maka keluarlah SK yang mengimbau kepada staf pengajar IPB untuk memutuskan hubungan dengan Unas, tertanggal 13 Juli. Pada hari yang sama, Prof.Dr. Ishemat Soerjanegara, 55 tahun, dosen IPB yang sudah dua tahun mengajar di Fakultas Pasca-Sarjana Unas, menulis surat pengunduran diri yang ditujukan kepada Ketua Program Pasca-Sarjana Unas, Dr. Salim Usman. Surat itu dilampiri kliping berita Suara Pembaruan dan tembusannya dikirim ke Rektor Unas dan Rektor IPB. "Saya sudah menyisihkan waktu mengajar di Unas, kok tiba-tiba ada pernyataan semacam itu terhadap almamater saya," kata Ishemat. "Ini adalah protes saya atas rasa ketersinggungan tadi. Dan itu saya lakukan baik-baik dan atas nama pribadi." Ishemat mengaku setelah ia menerima surat pengunduran diri itu baru tahu hari itu juga ada SK Rektor IPB. Setelah SK itu keluar barulah beberapa dosen IPB yang mengajar di program S1 Unas pada mundur. Tak jelas berapa banyak. "Saya rasa tak kejam pengunduran diri ini, malah Pak Takdir yang kejam jika pernyataan itu diucapkan secara sengaja," kata Ishemat lagi. Perjanjian kerja sama antara IPB dan Unas secara resmi tak ada. Yang berlangsung selama ini, beberapa dosen IPB mengajar di Unas dan beberapa dosen Unas mengikuti program Pasca-Sarjana di IPB. Sitanala pun membantah kritik Takdir. "Lebih dari 50 persen lulusan IPB terjun ke swasta. Tidak semuanya ke bidang pertanian," katanya. Sebab, IPB juga memiliki fakultas-fakultas yang bidangnya tidak langsung terjun ke sawah, antara lain sosio-ekonomi, komunikasi pertanian, statistik kehutanan, perikanan. "Tanam kangkung 'kan tak perlu belajar sampai ke universitas." Tapi soal kangkung dan IPB itu sendiri Takdir sudah lupa-lupa ingat, apa ada mengucapkannya. "Rekaman ceramah itu ada. Saya akan mendengarkannya lagi, apakah saya menyebut IPB. Tapi mungkin sekali saya sebut," katanya ragu-ragu. Tokoh Pujangga Baru ini menyayangkan yang dimuat di koran hanya pernyataan yang menyerang sarjana pertanian bukan isi ceramah. Untuk itu Takdir sudah menulis artikel yang menjelaskan perkara itu dengan judul Topan dalam Segelas Air dan dibagikan kepada wartawan. "Saya harap Unas tidak akan mati dengan pernyataan itu," ujar Takdir kemudian. Ia memanggil Salim Usman dan Ketua Program Pasca-Sarjana Unas ini menyatakan akan segera menemui Rektor IPB. "Supaya hubungan Unas dan IPB kembali mesra," kata Salim Usman. Sementara itu, Sitanala kepada TEMPO juga menyatakan, "ingin bertemu dengan pihak Unas." Jadi, "perang Iran-Irak" tak berlarut-larut seperti aslinya. Sri Indrayati, Priyono B. Sumbogo dan Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini