Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menilai Indonesia memerlukan undang-undang tentang grasi, amnesti, abolisi, hingga rehabilitasi. Dia mengatakan Presiden Prabowo Subianto telah menyarankan pemerintah secara selektif memberikan amnesti untuk berbagai kasus tertentu setiap tahunnya.
“Dengan demikian, momentum memiliki undang-undang tentang grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi pas untuk dilakukan,” ujar Supratman dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2024 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (DJPP) Kementerian Hukum di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024, seperti dikutip dari keterangan yang dikonfirmasi.
Politikus Partai Gerindra itu menuturkan, di sisi lain, dalam tahun-tahun mendatang, Indonesia akan memiliki berbagai strategi di bidang peraturan perundang-undangan. Karena itu, dia meminta jajaran DJPP bisa mengantisipasi isu-isu aktual, di antaranya tentang grasi, amnesti, abolisi, serta rehabilitasi.
Mantan Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat itu juga meminta DJPP mulai menyiapkan undang-undang yang berkaitan dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Dia mengatakan pembentukan undang-undang itu telah menjadi kesepakatan pemerintah dengan DPR, yang akan diinisiasi DPR. Selain itu, akan terdapat pula UU tentang Partai Politik yang diinisiasi oleh pemerintah. “Semua ini perlu dipersiapkan dari sekarang,” tuturnya.
Supratman juga mengingatkan jajaran DJPP menguatkan fungsi harmonisasi peraturan perundang-undangan agar regulasi yang berlebihan (over-regulation) di berbagai sektor bisa diatasi. Selain itu peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, konflik norma hukum, atau konflik kewenangan pada masing-masing kementerian/lembaga dan pemerintah daerah bisa dikurangi.
Dia menekankan agar pembentukan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Asta Cita Presiden Prabowo. Dia berharap kegiatan Refleksi Akhir Tahun 2024 DJPP dapat memberikan banyak pelajaran dan manfaat guna mendukung kinerja Kementerian Hukum di bidang pembentukan regulasi menuju Indonesia Emas 2045.
“Melalui refleksi, kita bisa mengevaluasi bersama terhadap apa yang telah dilakukan dan akan dilakukan oleh DJPP dalam mendukung perbaikan legislasi dan regulasi Indonesia ke depan,” tutur Supratman.
Sebelumnya pada Jumat, 13 Desember 2024, Prabowo menggelar rapat terbatas bersama Menteri Hukum Supratman Andi Agtas; Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra; Menteri HAM Natalius Pigai; Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Usai rapat terbatas, Supratman mengatakan kurang lebih 44 ribu narapidana memenuhi kriteria untuk diusulkan memperoleh amnesti. Angka tersebut berdasarkan data Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Namun angka tersebut masih dalam asesmen. Baru kemudian diketahui jumlah pasti napi yang mendapatkan amnesti. Setelah itu, diajukan ke DPR untuk meminta pertimbangan.
Supratman menyebutkan pemberian amnesti tersebut untuk mengatasi kelebihan kapasitas hunian lembaga pemasyarakatan (lapas). Dia merasa yakin program ini akan mampu mengurangi kelebihan kapasitas penjara sampai 30 persen. Apalagi, lapas lebih banyak dihuni oleh terpidana pengguna narkotika.
Sesuai dengan data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia—sebelum lembaga dipecah menjadi tiga kementerian—pada April 2024 lalu mencatat 52,97 persen penghuni penjara merupakan terpidana maupun tahanan kasus penyalahgunaan narkoba.
Rinciannya, sebanyak 135.823 orang dari total 271.385 orang yang mendekam di lembaga pemasyarakatan maupun rumah tahanan negara merupakan terpidana maupun tahanan kasus narkoba. Dari angka tersebut, sebanyak 21.198 orang merupakan tahanan kasus narkoba dan 114.625 orang ada terpidana kasus narkotika.
Menurut Supratman, Prabowo meminta agar pengguna narkoba yang masih produktif dilibatkan dalam swasembada pangan. Setelah bebas, ujarnya, mereka bisa ikut dalam program Komponen Cadangan (Komcad).
Soal rencana pemerintah menjadikan narapidana yang mendapat amnesti sebagai tenaga program swasembada pangan dan Komcad, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) tak sepakat. Menurut Maidina, rencana tersebut rentan eksploitatif. Menurut ICJR, jika narapidana diberikan kesempatan kerja sebagai bagian dari pembinaan, maka hak atas upah pekerjaannya harus dibayarkan.
“Dan hal tersebut bahkan bisa dilakukan saat ini tanpa perlu mendasarkan hal tersebut dengan rencana amnesti,” kata dia.
Hendrik Yaputra, Amelia Rahima Sari, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Mary Jane Pulang ke Filipina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini