BEKAS bendahara Bea Cukai (BC), Kamariyoen, akhirnya duduk di kursi pesakitan. Jaksa Martinus Manoi menuduhnya bertanggung jawab atas menguapnya uang negara RP 3,1 milyar yang berada di bawah penguasaannya. Selama lima tahun menjadi kepala Bagian Keuangan Sekretariat Ditjen BC, Kamariyoen - menurut Manoi - berulang kali melakukan penyelewengan dengan berbagai cara. Ia, misalnya, berulang kali mengajukan permohonan pengeluaran uang kepada atasannya untuk berbagai keperluan. Menurut Jaksa, tiga orang yang pernah menjadi Sekretaris Ditjen BC - Kusmayadi, Abdul Masis, dan Soeharnomo - tanpa memeriksa, menandatangani saja permohonan dan cek atau giro bilyet yang diajukan Kamariyoen. Akibatnya, demikian tuduhan Manoi, sekitar RP 2 milyar uang negara dikorup Kamariyoen dengan alasan untuk keperluan dinas. Dalam jangka waktu yang sama, tambah Manoi, Kamariyoen juga menyeleweng-kan uang hampir RP 700 juta yang seharusnya disetorkan ke kas negara. Uang itu adalah hasil penjualan blangko PPUD RP 305 juta dan uang cukai Bulog RP 394 juta. Selain itu, bendahara tadi juga didakwa menggelapkan uang deposito BC RP 600 juta lebih. Kamariyoen, 53, tidak membantah terlibat meludeskan uang negara. Tapi, "Tidak sebesar itu, hanya RP 1,4 milyar," ujar Kamariyoen, ketika ditanya ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, I. Gde Sudharta. Uang RP 1,4 milyar itu, kata Kamariyoen kepada TEMPO, tidak pula ia nikmati sendiri sekurangnya tiga pejabat BC lainnya ditudingnya terlibat. Merekalah, menurut Kamariyoen, yang menandatangani semua cek dan giro bilyet yang dikeluarkannya. "Jika tuduhan Jaksa bahwa uang yang hilang itu sebesar Rp 3,1 milyar benar, berarti merekalah yang bertanggung jawab. Sebab, pengeluaran itu diketahui mereka," tutur Kamariyoen. Kamariyoen, yang terakhir berpangkat 4B di instansi "bergelimang uang" itu, juga menuding salah satu anak buahnya ikut memakai uang yang ia keluarkan dari kas. Katanya, berkali-kali anak buahnya itu mengajukan kuitansi kepadanya untuk segala macam keperluan yang tidak dicek kebenarannya. Di antaranya, untuk membeli beberapa mobil dinas, uang perjalanan, bahan bakar, dan premi asuransi jiwa. "Semua kuitansinya saya sodorkan ke atasan, dan waktu itu dia mau saja meneken semua kuitansi dan cek itu," ujar Kamariyoen. Mengaku telah membina karier di BC dari pegawai rendahan, 1956, ia membenarkan selama menjadi bendahara ia merasa kurang mendapat kontrol dari atasan ataupun lembaga lain yang berurusan dengan keuangan negara. "Mereka percaya saja. Karena itu, kami tidak pernah diperiksa sama sekali," ujar Kamariyoen, yang dilahirkan di Tanjungkarang. Pembukuan yang dibuatnya, katanya lagi, juga tidak pernah dicek oleh Itjen Keuangan, Badan Pengawas Keuangan Negara, Ditjen Penggunaan Kekayaan Negara, ataupun Badan Pemeriksa Keuangan. Padahal, kata Kamariyoen, pada masa-masa itu uang BC benar-benar melimpah. Salah satu sumber BC, menurut Kamariyoen, adalah lelang barang rampasan. Separuh hasil lelang merupakan hak instansinya. Sedangkan hasil perlelangan barang selundupan disetorkan ke kantor lelang 25%. "Rata-rata sebulan BC menerima dana semacam itu dari pelabuhan-pelabuhan Jakarta saja sebesar Rp 300 juta, dan dari daerah lainnya di Pulau Jawa sebesar Rp 75 juta," katanya blak-blakan. Uang berlimpah itulah yang diakuinya terhambur melalui kuitansi-kuitansi fiktif yang diajukannya ke atasannya. Tapi ia menuduh bahwa sebagian uang itu digunakan pula untuk keperluan atasan. Misalnya, ia mengaku menggunakan uang kas untuk memperbaiki rumah salah seorang bekas atasannya. Semua perbuatannya itu terbongkar, kata Kamariyoen, akibat ulah anak buahnya yang juga dituduhnya ikut main. Ketika itu, menurut Kamariyoen, ia mempunyai utang Rp 80 juta kepada orang lain. Anak buahnya itu menyarankan agar ia memakai saja uang penjualan blangko PPUD untuk membayar utang itu. "Tahu-tahu, saya dilaporkan seseorang ke kejaksaan bahwa saya menyalahgunakan jabatan saya," ujarnya. Melalui anak buahnya dan seorang kenalannya di Krekot, si pelapor tadi bisa "dibungkam", katanya, dengan uang Rp 25 juta. Tapi, ternyata, perkara diusut terus. SEMUA cerita Kamariyoen itu belum tentu benar. Sebab, menurut sumber di kejaksaan, kasus itu terbongkar akibat ketidaksanggupan BC mengembalikan uang bukti titipan kejaksaan dalam perkara penyelundupan sebesar Rp 430 juta. Ketika kejaksaan menagih uang itu, Juli 1984, ternyata kas BC sudah kosong. Karena itu, Kamariyoen diusut. Tapi pengusutan itu sempat tertunda dua kali, atas permintaan Dirjen Bea Cukai. Sebab, pimpinan BC hendak memberi kesempatan kepada bawahannya untuk mengembalikan uang kejaksaan itu. Ternyata, sampai Agustus, janji itu tidak dipenuhi. Maka, perkara Kamariyoen terpaksa diteruskan ke pengadilan. Sekretaris Ditjen BC Soeharnomo, yang banyak disebut-sebut dalam kasus itu, menolak mengomentari tuduhan Kamariyoen. "Yang pasti, atasan akan meneken langsung apa-apa yang disodorkan anak buahnya. Soalnya, percaya atau tidak," ujar Soeharnomo. Menteri Keuangan Radius Prawiro juga tidak mau bicara banyak soal ini. "Saya sudah minta Irjen untuk mengurus soal ini, agar tindakan saya bisa tepat," ujar Radius. Jaksa Martinus Manoi membenarkan bahwa semua kuitansi pengeluaran uang BC itu ditandatangani Sekretaris Ditjen BC. Tapi ia tidak bisa memastikan bahwa pejabat-pejabat itu akan menyusul ke pengadilan. "Sementara ini kami hanya ditugasi mengadili Kamariyoen. Bila di persidangan nanti terbukti bahwa pejabat lainnya terlibat, kita lihat nanti," ujar Manoi. Karni Ilyas Laporan Didi Prambadi & Yulia S. Majid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini