SDR. Menteri Kehutanan. Kami setuju program ini, harap dibantu keperluan Bp. RM Soeryo Saputro." Begitu bunyi disposisi dalam selembar surat, yang ditujukan kepada Direktur Utama Perum Perhutani, berupa permohonan pekerjaan penghijauan lereng gunung dan hutan gundul. Pembuat disposisi jelas tertulis namanya: Soeharto, Presiden RI. Ternyata, kemudian, surat permohonan dan disposisi yang tertera pada surat tersebut palsu adanya. Terdakwa pemalsu, R.M. Soeryo Saputro, 68, kini tengah diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oleh Jaksa Soeryadi Ws, ia dituduh menggunakan surat dan disposisi palsu, yang dapat menimbulkan kerugian pihak lain. Bukan saja Perum Perhutani, tapi juga merugikan nama baik Presiden RI. Surat dan disposisi palsu itu, agaknya, hendak dimanfaatkan untuk mendapat obyekan. Setelah membikin, terdakwa menyerahkannya kepada Niti Wihardjo, Direktur PT Giri Mulyo, yang berkedudukan di Temanggung, Jawa Tengah. Niti percaya itu surat asli, karena di PT itu terdakwa duduk sebagai komisaris. Apalagi karena terdakwa mengaku masih satu rumpun keluarga dengan Ibu Tien Soeharto. Wajah dan penampilannya memang kalem, mengesankan. Siapa pun percaya, ia punya darah biru. Bermodal "surat berharga" yang diperoleh dari sang komisaris, Niti lalu mengajukan permohonan agar diberi pekerjaan untuk menghijaukan hutan di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, di wilayah Jawa Tengah. Surat dibawa ke Perum Perhutani di Jakarta, oleh seseorang bernama Sutomo, pada September 1985. Sutomo mendesak agar pihak Perum Perhutani segera memberikan pekerjaan yang diminta, dengan alasan sudah ada disposisi langsung dari Presiden. Perum Perhutani tidak begitu saja percaya. "Kami melihat ada beberapa kejanggalan," tutur Direktur Utama Perum Perhutani, Hartono Wirjo Darmodjo, kepada Yusroni Hendridewanto dari TEMPO. Kejanggalan pertama diketahui saat mencocokkan tanda tangan asli Presiden Soeharto dengan yang tertera di bawah disposisi. Dilihat sepintas saja, keduanya jelas menunjukkan adanya perbedaan. Kejanggalan lain adalah dalam hal susunan kalimat disposisi. Lagi pula, cukup aneh. Disposisi itu, yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan, bertanggal 14 Februari 1983. Padahal, Departemen Kehutanan, dengan Soedjarwo sebagai menteri pertamanya, baru diresmikan pada tanggal 16 Maret di tahun yang sama. Atau kira-kira satu bulan setelah terbitnya disposisi. Kejanggalan lain dikemukakan Victor Sinaga, Direktur Reboisasi Departemen Kehutanan: proyek reboisasi 'kan tidak pernah ditenderkan. Reboisasi, kata Victor, biasanya dilakukan masyarakat setempat, dengan sistem tumpangsari. Artinya, masyarakat yang melakukan reboisasi, dan sebagai imbalannya mereka dibolehkan menanam tumbuhan lain yang bisa dipetik hasilnya. Di kedua lereng gunung tadi, tembakau dinilai cocok sebagai tanaman tumpangsari. Dan hal-hal ini tampaknya tak diketahui oleh terdakwa. Karena itu, pemalsuannya mudah diketahui. Selain terdakwa, Niti Wihardio dan Sutomo menurut kabar juga akan diadili. "Saya akui, memang saya salah. Sekarang saya pasrah pada nasib," kata terdakwa di sela sidang kepada Erlina Sukarno dari TEMPO. Karena merasa bersalah itu, terdakwa menolak didampingi pembela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini