Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi selepas isya itu dilakukan di markas Projo alias Pro Jokowi di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, awal Juni lalu. Pesertanya tidak banyak, hanya empat orang, dan digelar sehari setelah pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendapat nomor urut di Komisi Pemilihan Umum. Yang mereka bahas: persoalan konstitusi setelah kini hanya ada dua pasangan yang maju dalam pemilihan presiden.
Menurut Kepala Divisi Hukum dan Konstitusi Projo, Sunggul Hamonangan Sirait-salah satu peserta diskusi tersebut-malam itu disepakati akan dilakukan uji materi atas aturan pemilihan presiden. "Undang-undang yang ada tidak mengakomodasi bila yang maju hanya dua pasangan," kata Sunggul kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Dalam diskusi itu, kata Sunggul, ada rekannya yang khawatir permohonan uji materi atas Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 akan mengganggu proses pemilihan presiden. "Saya terangkan, proses uji materi malah sebagai langkah untuk mengamankan berjalannya proses pemilihan dan menghindari potensi konflik," tutur Sunggul.
Sepekan setelah diskusi itu, Sunggul bersama Haposan Situmorang mendaftarkan perkara uji materi di Mahkamah Konstitusi. Mereka mengajukan permohonan atas nama pribadi.
Ternyata bukan hanya mereka yang mengajukan uji materi. Dua pemohon membawa masalah yang sama, yakni Forum Pengacara Konstitusi serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Andi M. Asrun, salah satu anggota Forum Pengacara Konstitusi, menyatakan uji materi itu penting untuk menghindari kesimpangsiuran tafsir serta menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Menurut dia, Pasal 159 Undang-Undang Pemilihan Presiden adalah duplikasi dari Pasal 6-A ayat 3 dan 4 Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi Pasal 159 ayat 1 itu, "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia."
Persoalannya, kata Andi, aturan pemilihan presiden tak sesuai dengan kondisi saat ini, yang hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. "Bila dipaksakan, bisa muncul konflik politik, sosial, selain memboroskan keuangan negara," ujar dosen sejumlah universitas ini. Andi meminta Mahkamah Konstitusi memberi tafsir terhadap Pasal 159, bahwa dalam kondisi sekarang, yang hanya ada dua kandidat, persyaratan itu tak berlaku. Maka pemilu cukup satu putaran dan tak perlu ada syarat persebaran suara.
Mahkamah Konstitusi seperti ngebut "menggarap" permohonan ini. Tiga pekan setelah permohonan masuk, sidang perdana digelar. Senin pekan lalu, misalnya, sidang tiga permohonan itu disatukan dengan pemaparan para saksi ahli. "Ini masalah penting, Mahkamah harus segera memutuskan," kata hakim Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat.
Para pemohon menghadirkan dua bekas hakim Mahkamah Konstitusi, yakni Natabaya dan Harjono. Harjono pernah terlibat dalam pembahasan amendemen UUD 1945 pasal 6-A ayat 3 dan 4.
Menurut Harjono, saat pembahasan Pasal 6-A memang tidak pernah dilakukan simulasi untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi sehubungan dengan pasal itu. Harjono mengakui kemungkinan timbulnya persoalan bila hanya ada dua kandidat.
Ia memberi contoh, misalnya pada putaran pertama pasangan A mendapat perolehan suara 52 persen tapi tidak memenuhi persyaratan persebaran suara. Sedangkan pasangan B meraup 48 persen suara. Nah, sesuai dengan aturan Pasal 6-A ayat 4, harus dilakukan pemilihan putaran kedua.
Saat putaran kedua, kata Harjono, ternyata pasangan B meraup 50 persen plus 1 suara, sementara pasangan A kurang dari 50 persen. Meskipun secara persentase pasangan B menang, bila diperhitungkan secara riil ternyata jumlahnya lebih kecil daripada pasangan A dalam putaran pertama. "Bila mengikuti aturan Pasal 6-A ayat 4, yang menang adalah B, tapi itu tidak adil," kata Harjono.
Menurut Harjono, ketidakadilan semacam ini dapat dihindari bila Mahkamah Konstitusi membuat tafsir atas Pasal 6-A ayat 4 UUD 1945, yakni pasal itu hanya diterapkan apabila calon lebih dari dua. "Apabila calon hanya dua, pemilu cukup dilaksanakan satu putaran," katanya. Menurut dia, bila Pasal 6-A ayat 4 hanya diterapkan pada pemilihan yang cuma diikuti dua pasangan, hal itu tak akan bertentangan dengan asas pemilu dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun Natabaya mengingatkan konteks amendemen atas Pasal 6-A UUD 1945 tersebut. "Amendemen pascareformasi disusun dalam semangat multipartai," katanya. Menurut dia, ketentuan syarat persebaran suara minimal 20 persen untuk lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia bertujuan agar presiden dan wakil presiden yang terpilih benar-benar mewakili suara Indonesia. Menurut Natabaya, Pasal 159 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Pemilihan Presiden hanya menyalin dari Pasal 6-A ayat 3 dan 4. "DPR dan pemerintah yang menyusun undang-undang tak membuat dengan detail," katanya.
Natabaya menunjuk fakta bahwa jumlah pasangan yang hanya dua seperti sekarang ini bisa menimbulkan kekosongan hukum. Pelantikan presiden yang diagendakan paling lambat pada 20 Oktober 2014 dapat tertunda bila terjadi proses pemilihan presiden yang panjang. "Akan terjadi kekosongan hukum dalam konstitusi serta kekosongan hukum dalam undang-undang, dan seterusnya," katanya. Bila itu terjadi, menurut dia, "Negara dalam keadaan darurat."
Ahli hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra, menyatakan hal yang sama. Menurut Saldi, dengan dua pasang calon, seharusnya putaran kedua yang diatur dalam Pasal 6-A ayat 4 tidak relevan. "Logikanya amat sederhana, karena hanya dua pasang calon yang bertarung. Salah satunya pasti mampu meraih suara sah lebih dari 50 persen," ujarnya.
Menurut dia, syarat sebaran minimal 20 persen pada lebih dari separuh jumlah provinsi tak harus dipenuhi karena persyaratan ini dibuat sebagai jembatan untuk memasuki putaran kedua. "Syarat itu muncul untuk calon lebih dari dua pasang," kata Saldi.
Perwakilan pemerintah, Reydonnyzar Moenek, menyatakan desain aturan dari Pasal 6-A UUD 1945 dan Pasal 159 UU Pemilihan Presiden adalah dalam kondisi ada tiga atau lebih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden peserta pemilihan.
Menurut dia, bila pemilihan presiden hanya diikuti dua pasangan calon dan diadakan putaran kedua, ada kemungkinan persentase perolehan suara tidak akan berubah signifikan. "Ini akan memperpanjang proses pemilihan presiden dan berpotensi mengakibatkan kekosongan kekuasaan," kata Reydonnyzar.
Sebelumnya, terhadap pasal pemilihan presiden yang menimbulkan polemik ini, Komisi Pemilihan Umum menyatakan sudah merumuskan perubahan Peraturan KPU (PKPU). Peraturan itu memungkinkan pemilihan presiden pada 2014 diselenggarakan dua putaran meski hanya diikuti dua kandidat.
Tapi langkah KPU ini dikecam Sunggul. Menurut dia, KPU wajib menunggu tafsir dari Mahkamah Konstitusi. Kalau KPU mengeluarkan PKPU tersebut, kata Sunggul, peraturan itu tidak berlaku. "Itu inkonstitusional karena mereka semestinya mengacu pada aturan yang lebih tinggi," ujar Sunggul.
Yuliawati, Said Helaby
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo