VONIS hakim ternyata bukan berdasarkan hukum, melainkan uang. Isu klasik yang selalu dibantah oleh kalangan penegak hukum itu kali ini diungkapkan oleh 50 orang narapidana penghuni Rumah Tahanan (Rutan) Jepara, Jawa Tengah. Mereka mengutarakan 23 kasus suap antara Rp 2 juta dan Rp 60 juta yang melibatkan panitera, jaksa, dan hakim di daerah ukir-ukiran kayu itu.
Contohnya, vonis terhadap Gunawan, terdakwa kasus penggelapan kayu senilai Rp 1,6 miliar. Semula ia diminta oleh hakim Endang Wahyu Utami agar memberi uang Rp 2,5 juta. Gunawan dijanjikan akan memperoleh hukuman ringan dari majelis hakim yang diketuai Djumadi Notodiharjo. Untuk itu, Endang akan menghubungi Djumadi, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Jepara, dan seorang anggota majelis hakim lainnya, Tamto.
Rupanya, Gunawan tak memenuhi tawaran Endang. Akibatnya, ia divonis tiga tahun penjara, sementara 12 orang rekannya sesama terdakwa kasus itu hanya dihukum masing-masing lima bulan penjara. Sebabnya apa lagi kalau bukan karena mereka menyetor upeti masing-masing Rp 2,5 juta kepada majelis hakim melalui Endang.
Nasib seperti terjadi pada rekan-rekan Gunawan juga dialami Harsono. Pengusaha bus itu diadili dengan tuduhan sebagai bandar narkotik. Waktu ditangkap pada November 1999, ia cuma kedapatan memiliki 2,5 gram shabu-shabu. Ternyata, setelah memberikan uang Rp 60 juta kepada hakim Djumadi, Gunawan hanya divonis enam bulan penjara.
Lain lagi kisah Eko Sugiarto, terdakwa kasus uang palsu. Ia sudah menyampaikan uang Rp 2,5 juta kepada jaksa Djaka Tutuka. Toh, hakim Djumadi tetap menghukumnya 15 bulan penjara. Bahkan penahanannya pun tak ditangguhkan hakim. Eko hanya bisa memprotes vonis itu dengan cara naik banding.
Mujurlah buat jaksa Djaka. Bandingkan dengan koleganya, Djemadin Wachidin, yang kalang-kabut gara-gara didemonstrasi oleh segenap warga Desa Demaan, Jepara. Awalnya, sebanyak 10 orang warga Desa Demaan diadili dengan tuduhan menganiaya tiga pengojek sehingga ketiga korban tewas.
Ternyata, kesepuluh terdakwa divonis majelis hakim Djumadi masing-masing dengan hukuman 10 tahun penjara. Padahal, keluarga terdakwa telah memberi uang Rp 10,5 juta kepada sang Jaksa. Akibat diserbu para warga, jaksa Djemadin akhirnya mengembalikan uang Rp 10,5 juta itu.
Kasus-kasus di atas cuma sebagian dari 23 kasus suap yang dilaporkan 50 narapidana pada 27 Juli 2000. Mereka mengajukan petisi kepada beberapa pejabat tinggi di Jakarta agar penegak hukum yang terlibat segera dipecat. Tentu saja berbagai kasus itu bisa dihimpun karena para narapidana itu sering bertukar pengalaman selama di dalam rutan.
Keberanian 50 narapidana itu tak urung membuat kalangan penegak hukum di Jepara kepanasan. Pengadilan Tinggi dan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah lantas membentuk tim pemeriksa untuk mengusutnya. Ketiga hakim yang disebut-sebut, yakni Djumadi, Endang, dan Tamto, diperiksa pada Rabu pekan lalu.
Sayangnya, salah seorang hakim tinggi yang memeriksa kasus tersebut, Gunanto Suryono, belum mau menjelaskan hasilnya. Ia hanya mengatakan bahwa dari pemeriksaan awal, diduga ketiga hakim melakukan kolusi. Hal itu antara lain diindikasikan dengan rendahnya hukuman, sementara jaksa tak naik banding, meski vonis hakim jauh di bawah tuntutannya.
Sementara itu, hakim Djumadi membantah tuduhan suap dimaksud. "Semua vonis itu berdasarkan hati nurani hakim. Tidak betul kalau saya dianggap menerima uang untuk meringankan hukuman," kata Djumadi. Ia malah menduga petisi 50 narapidana dimotori oleh Gunawan, yang kecewa karena dihukum tinggi.
Dalih senada juga diutarakan jaksa Djaka Tutuka. Kalau sekadar uang terima kasih yang disampaikan keluarga terdakwa setelah perkaranya diproses pengadilan ke alamatnya, memang diakui Djaka. "Itu kan sah-sah saja. Tapi uangnya tak sampai jutaan rupiah," ujar Djaka. Soal uang terima kasih dibenarkan pula oleh Erwin Desman dari Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.
Ironisnya, Gunanto juga mengakui bahwa kalangan hakim acap menerima uang semacam itu. "Silakan saja ucapan terima kasih diterima, asal tak ditentukan jumlahnya," ucapnya. Yang penting, Gunanto menambahkan, hakim telah memutus perkara sesuai dengan fakta di persidangan dan keyakinannya, tanpa dipengaruhi oleh siapa pun, termasuk uang.
Kalau benar apa yang diutarakan Gunanto dan Erwin dilakukan oleh para penegak hukum, hal itu semakin menunjukkan parahnya peradilan.
Happy Sulistyadi, Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini