Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Buleleng menjadi tersangka setelah mengunggah video kekesalannya terhadap lockdown lokal.
Warga Bogor berurusan dengan polisi karena berusaha menolong seorang nenek yang diduga terinfeksi corona.
Penangkapan dan pemeriksaan oleh polisi dinilai janggal.
SEHARI seusai perayaan Nyepi, I Gusti Putu Adi Kusuma berencana menggelar upacara keagamaan untuk ibunya yang meninggal pada 21 Maret lalu. Dengan mengendarai mobil, ia berangkat dari rumahnya di Dusun Banjar Dinas Dauh Pura, Desa Panji, Buleleng, Bali, untuk mencari toko perlengkapan keagamaan di luar desa, Kamis siang, 26 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalanan desa terlihat sepi. Para pecalang, polisi adat di Bali, menutup banyak ruas jalan. Gus Adi—panggilan Putu Adi Kusuma—mulai kesal. Ia pun tertahan oleh blokade di Desa Banyu Asri. Sempat berdebat dengan para pecalang, Gus Adi mencari jalan lain. Di mobil, dia menumpahkan kekesalannya dengan menggelar siaran langsung di akun Facebook miliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Bali I Wayan Koster mengedarkan surat imbauan yang meminta masyarakat Bali tetap berada di rumah setelah merayakan Nyepi. Imbauan ini bertujuan mencegah penyebaran virus corona di Bali. Sekelompok masyarakat menerjemahkan imbauan ini dengan menutup ruas jalan. “Penutupan jalan ini melanggar aturan karena tak ada landasan hukumnya,” kata Gus Adi dalam siaran itu.
Berlangsung selama 19 menit, siaran di akun Facebook Gus Adi kemudian viral. Hingga Jumat, 3 April lalu, video tersebut ditonton 251 ribu orang dan dibagikan 3.000 akun lain. Di dalam video tersebut, Gus Adi terlihat mengumpat dan mengecam kebijakan “lockdown lokal” itu. Pria yang berprofesi sebagai pengacara itu menuntut tanggung jawab Gubernur I Wayan Koster dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis. Dia menuding keduanya sebagai penyebab kekacauan di Bali.
I Gusti Putu Adi Kusuma Jaya./Facebook.com/ Gus Adi
Tim patroli siber Kepolisian Resor Buleleng menemukan video Gus Adi beberapa jam kemudian. Penyidik bergerak mengumpulkan alat bukti. Mereka juga meminta pendapat ahli bahasa atas ujaran Gus Adi. “Gelar perkara dilakukan hari itu juga,” tutur Kepala Sub-Bagian Hubungan Masyarakat Polres Buleleng Inspektur Satu Gede Sumarjaya.
Sejak awal Maret lalu, jajaran kepolisian meningkatkan patroli siber karena maraknya kabar bohong soal penyebaran virus corona di dunia maya. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan dan Masyarakat Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra mengatakan, hingga Kamis, 2 April lalu, kepolisian telah menangani 70 kasus hoaks isu Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. I Gusti Putu Adi Kusuma salah seorang di antaranya.
Polres Buleleng menetapkan Gus Adi sebagai tersangka dan menangkapnya pada Sabtu, 28 Maret lalu. Ia dikenakan Pasal 45 dan 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal itu menjerat penyebar kabar bohong dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. “Dia juga menebar ujaran kebencian dan menghina penguasa seputar penanganan Covid-19,” ucap Gede Sumarjaya. Itu sebabnya, Polres Buleleng juga mengenakan Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana soal penghinaan terhadap penguasa badan hukum negara.
Pengacara Gus Adi, W. Sudarma, menilai polisi keliru menerapkan pasal penghinaan itu. Sebab, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan penerapan pasal penghinaan terhadap penguasa hanya berlaku untuk delik aduan. Polisi tidak bisa memulai proses penyidikan hanya dengan mengandalkan inisiatif. “Yang berhak melapor adalah pejabat yang merasa dirugikan dengan ucapan itu,” kata Sudarma.
Menurut Sudarma, polisi tak seharusnya menangkap Gus Adi. Kliennya itu tak bermaksud menghina Jenderal Idham Azis dan I Wayan Koster. Umpatan itu merupakan ungkapan kecewa terhadap pelaksanaan aturan penanganan penyebaran virus corona. “Dia mengumpat keadaan. Ini adalah cermin kepanikan nasional yang juga diterjemahkan serampangan oleh aparatur desa,” ujarnya.
Gubernur I Wayan Koster pun kembali mengeluarkan imbauan pada Kamis sore, 26 Maret lalu, beberapa jam setelah Gus Adi merekam video. Lewat Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Bali, Wayan Koster meminta semua kepala daerah dan petugas desa adat tak menutup jalan di wilayah masing-masing. Mereka juga diminta tak menghalangi masyarakat yang hendak bepergian karena memiliki keperluan mendesak.
•••
TUDUHAN menyebarkan kabar bohong turut mendera Dewi Adyanti Satriyani, warga Desa Bojong Kulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ia tengah berhadapan dengan proses hukum karena meminta bantuan layanan medis untuk tetangganya, perempuan berusia 62 tahun. Nenek berinisial MA yang hidup bersama seorang anaknya itu tinggal di sebuah rumah sederhana.
MA awalnya diduga terjangkit corona karena mengalami batuk dan demam. Ia memiliki riwayat penyakit asma. MA mengatakan sempat mendapat pengobatan saat pemeriksaan sepekan sebelumnya, tapi tak kunjung pulih. “Tapi denger cerita soal virus corona jadi waswas juga,” katanya kepada Tempo, Rabu, 1 April lalu.
Mencoba membantu MA, Dewi menghubungi warga desa dan petugas pusat kesehatan masyarakat setempat. Sejumlah jurnalis mendengar kabar ini dan mewawancarai Dewi pada 23 Maret lalu. Di dalam artikel, Dewi menyebutkan MA mengalami demam dan batuk serta belum menerima penanganan medis. Ia khawatir perempuan itu terjangkit virus corona.
Kepala Kepolisian Sektor Gunung Putri Komisaris Andriyanto mengatakan kejadian itu mengganggu seorang dokter puskesmas bernama Titi. Menurut pengakuan Titi kepada polisi, sejumlah warga desa menghubungi dia agar menangani sang nenek karena ditengarai terpapar corona. Setelah menangani MA, Titi melaporkan Dewi ke Polsek Gunung Putri. “Dokter tersebut mengeluh karena teleponnya terus berdering saat melayani pasien lain,” ujarnya.
Titi, kata Andriyanto, adalah satu-satunya dokter yang bertugas di puskesmas setempat. Ia menyambangi rumah MA pada Senin malam, 23 Maret lalu. Hasil pemeriksaan menyimpulkan MA hanya mengidap penyakit asma. “Informasi ada warga yang terjangkit Covid-19 adalah hoaks,” ucap Andriyanto.
Tim reserse menyelidiki laporan Titi. Dari keterangan kepala dusun setempat, tim mendapatkan informasi bahwa omongan Dewi di media massa meresahkan warga Bojong Kulur. Apalagi artikel itu menjadi viral di media sosial. “Warga setempat jadi gaduh,” kata Andriyanto.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, Titi melapor pada Selasa, 24 Maret 2020. Polisi berencana menerapkan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kepada Dewi. Penyelidik memanggil Dewi pada Rabu, 1 April lalu. Namun pemeriksaan itu tertunda.
Dewi membenarkan pernah diwawancarai sejumlah media. Namun ia membantah telah menyebut MA terjangkit corona. Dewi mengaku hanya mengatakan MA memiliki gejala orang yang terinfeksi corona, seperti batuk kering, gangguan pernapasan, dan demam. “Orang dengan gejala itu bisa dikategorikan orang yang harus diawasi,” ujar Dewi.
Ia pun heran terhadap laporan Titi yang menyebutnya sebagai penyebar hoaks. Dewi berpendapat masyarakat berhak memperoleh kepedulian dan layanan medis di tengah pandemi corona yang terus meluas. Jika MA tak mendapat pelayanan yang baik, ia khawatir penduduk lain akan tertular. Apalagi MA dengan kemampuan ekonominya yang terbatas sulit mengakses layanan medis dan membiayai pemeriksaan mandiri.
Ahmad Fathanah/istimewa
Pengacara Dewi dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Ahmad Fathanah, menganggap janggal perkara ini. Menurut dia, polisi telah menelan informasi pelapor tanpa mendalami substansi masalah. Sebab, kesimpulan bahwa nenek tersebut tak terjangkit virus corona hanya berdasarkan anamnesa atau pemeriksaan luar tubuh. Kesimpulan seseorang terinfeksi corona atau tidak, kata Fathanah, hanya bisa diketahui melalui pengujian rapid test alias uji cepat atau polymerase chain reaction. “Dia membuat kesimpulan yang tidak berbasis pada protokol pemeriksaan Covid-19. Bagaimana mungkin dia bisa menyebut klien saya penyebar hoaks?” ucapnya.
Fathanah juga mempertanyakan metode penyelidikan polisi yang berbasis pada pemberitaan sejumlah media massa. Narasumber tak layak menerima dampak yang muncul akibat satu pemberitaan. Jika dianggap bermasalah, penyelesaian sengketa jurnalistik harus berdasarkan Undang-Undang Pers.
Titi membenarkan memeriksa MA pada hari itu. Ia melakukan pemeriksaan anamnesa terhadap gejala klinis sang nenek. Namun Titi menolak tuduhan soal metode yang keliru untuk menentukan seseorang terinfeksi virus corona. Dia pun mengaku melaporkan Dewi. “Banyak masyarakat yang resah akibat berita yang muncul,” katanya lewat aplikasi WhatsApp.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniato meminta polisi bersikap proporsional menangani penyebaran informasi seputar pagebluk corona yang diduga melanggar hukum. Apalagi jika menyangkut penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang masih kontroversial. Tolok ukur pelanggaran, menurut Damar, juga harus jelas. Ia mencontohkan, akibat informasi bohong tersebut, muncul kerusuhan, rush, atau panic buying di tengah masyarakat. “Kalau sebatas ramai di media sosial, itu bukan definisi keonaran yang sesuai dengan aturan hukum,” katanya.
RIKY FERDIANTO, MAHFUZULLAH A. MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo