Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DODI Sutanto semula menyatakan "pikir-pikir" ketika hakim Pengadilan Negeri Medan memvonisnya 14 bulan penjara, Rabu dua pekan lalu. Sementara itu, pendukung Dodi yang hadir di ruang sidang terus menyemangati pentolan organisasi kepemudaan ini agar tidak menyerah.
Pekan lalu, Dodi akhirnya memilih pasrah. "Sudahlah. Jalani saja," kata Dodi seperti ditirukan Qodirun, pengacara yang menemui Dodi di Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Medan, Selasa pekan lalu. Dodi adalah Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumatera Utara kubu Fahd El Fouz. Ketua KNPI Sumatera Utara dari kubu Rifai Darus adalah Sugiat Santoso.
Kasus yang menyeret Dodi, 34 tahun, bermula dari tautan berita yang tiba-tiba muncul di akun Facebook miliknya pada 16 Oktober 2015. Tautan itu berjudul "KPK Tahan Anif Shah dan Ajib Shah, Alhamdulillah Ribuan KK Teraniaya di Sumut Hidup Tenang". Berita itu bersumber dari sebuah media online, Medanseru.com, edisi 27 Juli 2015.
Waktu itu Komisi Pemberantasan Korupsi memang menahan Ajib Shah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, yang juga adik kandung Anif. Tapi KPK tak pernah menahan Anifâpengusaha terkenal di Medanâdalam kasus suap interpelasi DPRD itu.
Tautan berita itu menjadi alasan Anif, 76 tahun, melaporkan Dodi ke polisi pada 3 November 2015. Anif juga melaporkan Dodi karena akun Facebook atas nama Dodi.Sutanto.5, pada 10 November 2015, membagi tautan berita berjudul "Kasus Penyuapan Hakim PTUN Medan Diduga Libatkan Gubsu dan Anif Shah". Sumber berita itu juga Medanseru.com, edisi 10 Juli 2016.
Melalui kuasa hukumnya, Sandri Alamsyah Harahap, Anif juga memperkarakan Pemimpin Redaksi Medanseru.com Hasiholan Siregar. Anif pun melaporkan Muhammad Habibi, yang diduga membagi link berita ke akun Facebook milik Dodi.
Pelaporan ini mengagetkan Dodi. Menurut Ikhwaluddin, pengacara Dodi lainnya, kliennya jarang membuka Facebook karena sibuk. Di samping aktif di KNPI, Dodi bekerja sebagai manajer Candi Hotel di Medan. "Dodi baru tahu ada tautan itu di akunnya setelah diperiksa polisi," ujar Ikhwaluddin.
Kepada polisi, Dodi mengaku tak tahu akun Facebook dia menerima tautan berita yang merugikan Anif. Karena itu, ia tak menghapus tautan berita pada akun Facebook yang kini tak bisa diakses lagi tersebut. Dia pun menyangkal membagi tautan berita sebelumnya. Waktu itu Dodi juga menyerahkan bukti cetakan e-mail yang berisi pemberitahuan tentang upaya peretasan atas akun Facebook dia. "Setidaknya ada lima kali alert selama Oktober-Desember 2015 itu," kata Qodirun.
Polisi menjerat Dodi dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dodi dianggap menyebarkan informasi elektronik bermuatan penghinaan dan pencemaran nama. Ancaman hukumannya enam tahun penjara.
Polisi tak mereken alasan Dodi bahwa akun Facebook miliknya diretas. Demikian pula jaksa yang menuntut Dodi dua tahun penjara. Dalam sidang putusan, ketua majelis hakim Parlindungan Sinaga menyatakan Dodi bersalah mencemarkan nama Anif.
Ikhwaluddin mempertanyakan putusan hakim yang menurut dia mengabaikan sejumlah kesaksian dalam sidang. "Ini akan jadi preseden buruk," ujar Ikhwaluddin. "Orang bisa dipidana karena tautan berita yang tidak dia ketahui."
Adapun Anif Shah melalui anaknya, Musa Rajek Shah, menolak berkomentar atas putusan hakim. Menurut dia, keluarga tak ingin Anif terus jadi bahan pembicaraan. "Sudahlah. Bapak saya sudah tua," kata Musa ketika dihubungi pada Selasa pekan lalu.
Meski Dodi sudah menyerah, kasus pencemaran nama lewat media elektronik ini masih berlanjut. Habibi, yang juga telah menjadi tersangka, tak hanya membantah laporan Anif. Senin pekan lalu, ia juga menggugat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE ke Mahkamah Konstitusi. "Kami meminta Mahkamah Konstitusi memperjelas tafsir pasal sapu jagat itu," ujar Murshal Fadhilah, pengacara Habibi, Selasa pekan lalu.
Abdul Manan (Jakarta), Sahat Simatupang (medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo