MAU tidak mau, putusan Pengadilan Negeri Binjai terasa aneh. Putusan dua pekan lalu itu dijatuhkan pada empat orang miskin yang mencoba mempertahankan rumah mereka. Tapi mereka malah harus membayar ganti rugi Rp 650 juta karena dianggap mencemarkan nama baik dua kontraktora. Padahal, nilai total rumah dan harta mereka, jika dihitung, tak sampai Rp 50 juta. Wong cilik yang nahas ini adalah Tan Gek Eng, 73 tahun, seorang janda pedagang kue. Lalu Thiam Lian Seng, 59 tahun, pemulung plastik bekas, dan Ong Bek Kie, janda berusia 73 tahun yang sudah sakitsakitan. Terakhir, tukang setrum aki, Tju Kong Tau, 43 tahun. Rumah tua berdinding papan yang menjadi masalah sudah dihuni kelompok miskin ini turuntemurun sejak 1919. Dan menjadi tenpat usaha mereka. Tapi, permohonan hak guna usaha yang mereka ajukan ditolak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Binjai pada 17 Juli 1990. Alasannya, dua kontraktor, Sudiani, 67 tahun, dan Salimin, 42 tahun, sudah mengajukan HGU untuk lokasi itu. Kedua kontraktor itu memegang surat perjanjian sewamenyewa rumah yang ditandatangani suami Tan Gek Eng pada 1983. Janda Tan curiga. Soalnya, suaminya, Tjeng Tjeng, sudah meninggal dunia tahun 1978. Jadi, mustahil tanda tangannya nongol di surat perjanjian itu. Bekas lurah mereka, Manaf Idris, membatalkan surat perjanjian yang dikuatkan notaris itu setelah tahu duduk persoalannya. Dengan bukti dari lurah tadi, Tan dan kawankawan mengadu ke polisi, 30 Juli 1990. Salimin ditahan sehari. Tapi ia dibebaskan karena polisi menilai kasus kontraktor ini bersifat perdata. Penyidikan tentu dihentikan. Berdasarkan penghentian penyidikan itu, pengacara Salimin dan Sudiani, Ayub, November lalu menggugat Tan dan kawankawan. Ayub menilai mereka telah memfitnah kliennya. Akibatnya, kredibilitas Sudiani dan Salimin jatuh di mata masyarakat. Bahkan kehilangan relasi bisnis yang sempat termakan fitnah itu. Tak tanggungtanggung, Ayub mengajukan gugatan Rp 1 milyar. Rinciannya, Rp 585 juta karena nama baik yang tercemar, Rp 400 juta untuk kehilangan relasi dagang, dan Rp 15 juta untuk honor pengacara. Ginting, pengacara Tan dan kawankawan, menangkis gugatan itu dan menganggap kliennya hanya membela hak atas rumah mereka. Kedua pengusaha tersebut, menurut Ginting, disebut sebagai tersangka pemalsu tanda tangan. Selain itu, tindakan para kliennya merupakan hak warga negara. Tambahan lagi, kaum miskin itu belum pernah dipidana karena kasus fitnah. Pertahanan Ginting ternyata patah. Majelis yang diketuai Nyonya Taruli Butarbutar menganggap kelompok papa itu terbukti memfitnah. Vonis ganti rugi Rp 650 juta itu pun jatuh. Alasannya, karena pengaduan Tan dan kawankawan membuat Salimin sempat ditahan. Soal tekenan palsu itu, Taruli merujuk pada surat Labkrim Polda, yang menyebut tanda tangan Tjeng asli. Taruli sama sekali tak menimbang mengapa Tjeng yang sudah meninggal tahun 1978 itu masih bisa meneken pada tahun 1983. Dan mengapa vonis ini juga tak memperhitungkan wong cilik? Paling tidak, menimbang apakah mereka bisa membayar. Thiam, tergugat yang pemulung plastik bekas, memberi komentar kecut. "Mau dibayar dengan apa?" Toh Taruli bertahan. "Jika sanggup mengadukan orang lain, berarti sudah siap menanggung risiko," katanya enteng. Ginting tak dapat menahan tertawa. "Honor saya saja sebagai pengacara tak dapat mereka bayar karena terlalu miskin," katanya. Bersihar Lubis dan Irwan E. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini