Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH berlantai dua itu serba putih. Dari pagar halaman hingga isi rumah yang di-sekat-sekat m-enjadi ruang kerja, semua berwarna putih. Di rumah yang berada di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, itulah PT Tunggul Buana Perkasa berkantor. Perusahaan ini milik Gusti Syaifuddin, 61 tahun, tersangka pelaku illegal logging yang sejak Juli lalu di-nyatakan polisi sebagai buron.
Semenjak Gusti menghilang, kantor itu berubah sepi. Tak ada kegiatan dan debu terlihat di mana-mana. Roda perusahaan itu praktis berhenti. "Tak ada yang mau bekerja lagi, takut dituduh bersekongkol," kata Aldentua Siringoringo, kuasa hukum Gusti.
Kepolisian Daerah Kalimantan Timur menetapkan Gusti sebagai tersangka pembalakan hutan secara liar sejak Maret lalu. Polisi juga menetapkan dua tersangka lain dalam kasus yang sama, yakni Arifin, Direktur CV Sanggam Jaya Abadi dan Darul Hakim, kuasa usaha PT Putra Bulungan Sakti. Semua dituduh melakukan- penebangan kayu di daerah- Bulungan, Kalimantan Ti-mur, dengan memakai izin pemanfaatan kayu (IPK) yang sudah kedaluwarsa.
Menurut polisi, izin pemanfaatan kayu seluas 16.356 hektare itu dikeluarkan Dinas Kehutanan untuk PT Tunggul Buana Perkasa pada 2003. Izin itu ternyata tetap dipakai hingga Juli lalu. Selain memakai izin yang dianggap sudah tak berlaku, perusahaan ini juga dianggap merambah hutan hingga keluar 15 kilometer dari are-alnya di Sajau, Bulungan. Adapun Sanggam Jaya Abadi dan Putra Bulungan Sakti merupakan rekanan Tunggul dalam penebangan hutan.
Kasus itu mulai terbongkar Maret lalu. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Komisaris Besar I Wayan Tjatra, ketika itu menyisir perusahaan kayu di Kalimantan Timur. Petugas dari Markas Besar Kepolisian RI juga dilibatkan. "Saat itulah di-temukan aktivitas Tunggul Buana Perkasa yang tidak sesuai izin," kata Tjatra.
Semula ketiga tersangka memenuhi panggilan polisi untuk diperiksa. Polisi menjerat mereka dengan Undang-Undang Kehutanan. Ancam-an hukumannya maksimal 12 tahun penjara. Arifin dan Darul akhirnya dijeblos-kan ke dalam tahanan Polda Kalimantan Timur. Adapun Gusti tiba-tiba menghilang, Juli lalu. Menurut juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam, nama Gusti sudah masuk daftar cegah tangkal.
Gusti adalah salah satu -pe-ng-usaha sukses di Kalimantan Timur. Pensiunan tentara dengan pangkat ter-akhir ma-yor jenderal itu pernah menjadi staf ahli A.M. Hendropriyono saat ia menjabat Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.
Ayah tiga anak itu mendirikan perusahaan Tunggul pa-da 1999. Rencananya per-usahaan ini akan membuat kebun kelapa sawit. Karena bibit kelapa sawit belum ada, hingga kini rencana itu tak terlaksana. "Sebab, bibitnya baru dikirim PT London Sumatera pada 2006 ini," kata Aldentua. Dia membantah kliennya menggunakan izin pemanfaatan kayu kedaluwarsa. "Saya bisa buktikan izinnya sampai 2006," kata-nya sambil menunjukkan fotokopi izin pemanfaatan kayu yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur.
Menurut Alden, kasus kliennya bermula dari munculnya seseorang yang menye-but dirinya kerabat seorang -perwira tinggi Mabes P-olri pada 23 Februari. Orang itu mengaku subkontraktor dari kontraktor yang pernah bekerja sama dengan PT Tunggul pada 2000-2003. Orang tersebut mengirim tagihan Rp 2,2 miliar pada Gusti, jumlah yang belum dibayar kontraktor Tunggul. Gusti menolak. "Pak Gusti menjawab nggak ada urusan, tidak ada hubungan hukumnya," kata Alden.
Jawaban Gusti itu membuat orang tersebut berang. Menurut Alden, si subkontraktor lalu mengancam, jika dalam tujuh hari Gusti tak menyelesaikan urusan tagih-an tersebut, maka Gusti akan "dikasuskan". Ancam-an itu terbukti. Sejak Maret lalu, kliennya menjadi tersangka perambah hutan. Yang jadi pegangan polisi adalah izin yang dikeluarkan untuk 2003. "Padahal, izinnya sudah beberapa kali diper-panjang hingga 2006," ujar Alden.
Alden juga membantah jika perusahaan Gusti me-rambah hutan sejauh 15 kilometer dari areal mereka. Menurut Alden, yang "mencukur" hutan itu kontraktor PT Tunggul. Dia kukuh menyatakan, kliennya tak pernah menyuruh dan tak menerima hasilnya. "Mestinya yang bertanggung ja-wab yang melakukan. Kenapa ditimpakan ke klien saya?" katanya.
Merasa kliennya diper-la-ku-kan tidak adil, Alden pun meminta perlindungan hukum kepada Kepala P-olri Jenderal Sutanto. Pada 13 Juli lalu ia mengirim surat ke Kapolri meminta kasus Gusti ditarik ke Mabes Polri. Dua pekan kemudian kembali ia mengirim surat ke Kapolri meminta Mabes Polri melakukan gelar perkara kasus Gusti. "Agar menjadi terang duduk soalnya," kata Alden. Hingga akhir pekan lalu kedua suratnya itu belum mendapat jawaban.
Di mana sebenarnya Gusti sekarang? Aparat Polda Kalimantan Timur masih terus memburunya. Adapun menurut Alden, kliennya sedang menjalani perawatan karena sakit jantung, tapi yang tahu tempatnya hanya keluarga Gusti.
Nurlis E. Meuko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo