Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bisnis Dolar ala Rampok

Dua warga Kamerun baku tembak dengan polisi. Memimpin aksi perampokan

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAMBUT keri-ting, pria tegap berkulit legam itu terbujur di atas tandu beroda di Rumah Sakit Polri Sukanto, Jakarta Timur. Selang infus terbenam di lengan kiri-nya. Tangan kanan-nya menggenggam botol cairan pengganti makanan. Dua perawat menggelindingkannya ke ruang operasi.

Namanya Jube P-atrick T.N., warga Kamerun. Dokter mengangkat peluru yang bersarang di paha kanannya, Kamis pekan lalu. Dialah yang terlibat baku tembak dengan enam reserse dari Kepolisian Daerah Metro Jaya di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, akhir Juli lalu.

Hari itu Patrick tak sendiri. Dia menghadapi polisi bersama enam temannya. Meski menang jumlah, mereka kalah gesit dibanding tim reserse yang dipimpin Ajun Ko-misaris Besar Eddy Tambunan, Kepala Sa-tuan Kejahatan dan Ke-kerasan Di-rektorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. ”Mereka nembak nga-wur,” Eddy bercerita.

Patrick roboh setelah sebutir peluru polisi menerjang paha kanannya. Dua di antara enam temannya, John Watimena dan Nasar, malah tewas. Suwarna dan Herma-nus menyerah. Dua lagi—salah satunya juga warga Kamerun—berhasil kabur.

Eddy menuduh Patrick dan enam temannya itu perampok. Tembak-menembak terjadi ketika polisi menggagalkan upaya mereka merampas uang Rp 1,3 miliar milik Jaya Wijaya, pengusaha garmen di Jakarta. ”Perampokan itu gagal,” kata Eddy.

Semula Jaya Wijaya, yang akrab disapa Mimin, adalah teman Patrick. Mereka ber-kenalan beberapa bulan lalu di sebuah kafe di Jakarta Pusat. ”Cuma, kepada Mimin dia mengaku bernama Ossin,” kata Eddy. Hubungan mereka berlanjut ke dagang. Patrick mengajak Mimin berbisnis valuta asing dengan keuntungan 15–30 persen.

Tak salah jika Mimin tertarik. Bisnis ini mereka bahas lebih terperinci di sebuah hotel di Jakarta Pusat, Kamis 20 Juli. Di sini Patrick menunjukkan segepok pe-cahan US$ 100. Untuk membuktikan kesahihannya, dia menyuruh Mimin menukar lima lembar ke bank. ”Ternyata dolar sungguhan,” kata Mimin.

Setelah itu Patrick menga-takan sanggup menyediakan dolar senilai Rp 6 miliar. Mimin cuma punya uang se-paruhnya; belakangan melorot menjadi Rp 1,3 miliar. Kendati demikian, transaksi tetap disepakati pada Selasa 25 Juli.

Karena membawa uang kontan banyak, Mimin minta pengawalan polisi. Diam-diam, di benaknya terbersit kecurigaan akan dolar yang amat murah itu. ”Mana tahu palsu, Bapak tangkap saja,” katanya kepada reserse yang mengawalnya.

Pada saat transaksi, Mi-min menunggu di Hotel Arcadia, Jakarta Pusat. Uangnya disimpan di dalam tas dan ditaruh di mobil Honda CRV milik-nya, yang diparkir di luar hotel. Enam polisi meng-awasi.

Siang hari, Patrick masuk hotel. ”Mana rupiah-nya?” Patrick bertanya kepada Mi-min, sebagaimana dicerita-kan penyidik. ”Dolarnya dulu dong,” Mimin menangkis-. Patrick bilang disimpan di Ho-tel Menteng, Cikini, Ja-karta Pusat.

Lalu keduanya sepakat- meng-ambil dolar. Patrick- se-mobil dengan Mimin. Se-telah keluar dari hala-man -hotel, Toyota Vios dan Daihatsu -Xenia membuntuti me-reka. Polisi pun meng-ikuti.

Menurut korban, dalam perjalanan Patrick bertelepon dengan seseorang dalam bahasa asing yang tak dimengertinya. Setelah bertelepon, Patrick minta Mi-min menuju Hotel Sofyan, yang tak jauh dari Hotel Menteng.

Kemudian Patrick minta belok ke Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Di sinilah dua mobil yang membuntuti tadi menghadang. Patrick turun sambil menggenggam FN yang diarahkan ke korban. ”Terlihat itu pistol mainan,” kata Eddy. Nasar, temannya, membidikkan revolver kaliber 38. ”Yang ini sungguhan.”

Eddy memerintahkan anak buahnya mengepung tersangka. Tembak-menembak terjadi hingga Patrick roboh. Dua temannya, Suwarna dan Hermanus, menyerah. Kini mereka menghuni ta-hanan Polda Metro Jaya. Nasar dan John tewas. Dua lagi kabur dengan sedan Toyota Vios.

Kepada penyidik, S-uwarna dan Herma-nus- mengatakan ha-nya ikutikutan. Me-reka mengaku diajak Patrick dan Nasar dua hari sebelum beraksi. ”Mereka- meng-aku baru pertama kali,” kata Eddy. ”Tapi dari kerja-nya yang profesional, kelihatan-nya mereka sudah sering me-lakukan.”

Hingga Jumat pekan lalu, penyidik belum bisa meminta keterangan Patrick. Luka tembaknya masih basah seusai operasi. Keluar dari -ruang bedah di lantai II rumah sakit, lelaki 40 tahun itu sangat tenang. Wajahnya segar.

Sorot matanya yang tajam memelototi wartawan Tempo yang menyapanya. Dia tak menjawab pertanyaan. Petugas rumah sakit buru-buru mendorong tandu beroda Patrick hingga beberapa catatan rekam medis tercecer. ”Atas atensi pimpinan, pembesuk dilarang menemui tahanan 365,” kata petugas ruang pe-rawatan tahanan. Angka 365 itu merujuk pasal KUHP tentang perampokan.

Nurlis E. Meuko, dan Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus