Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mobilisasi Penegak Hukum?

Rapat gabungan antara Mahkamah Agung, Kehakiman, dan Kejaksaan Agung. membahas masalah penyeragaman penafsiran tentang pelaksanaan KUHP. Banyak yang mengkhawatirkan karena merongrong kekuasaan peradilan. (hk)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APABILA hakim dan jaksa duduk bersama, bukan di ruang pengadilan, tentu mengundang pergunjingan. Dan selama 4 hari, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia, awal bulan ini berembuk di ruang tertutup di Hotel Horison, Jakarta. Trio "pendekar hukum", Mudjono, Ali Said, dan Ismail Saleh yang rajin menggalang kerja sama Makehia (Mahkamah Agung, Kehakiman dan Kejaksaan Agung), menginginkan "keakraban" mereka juga ditiru penegak hukum di daerah. "Keterpaduan dan hubungan kerja sama tidak boleh tersendat hanya karena gengsi pribadi," ujar Ismail Saleh ketika menutup rapat kerja antar-instansi itu. Tidak banyak materi rapat yang terbetik keluar - kecuali secara umum: perlu koordinasi antar-instansi untuk tegaknya hukum. Menteri Kehakiman Ali Said menyebutkan, penyeragaman pelaksanaan KUHAP, sebagai salah satu hal yang dibicarakan dalam rangka membuat peraturan pelaksanaan undang-undang itU. Namun, itulah tadi awal pergunjingan, pihak di luar ketiga instansi itu risau. "Kalau memang mau berbicara tentang hukum, mengapa hanya melibatkan aparat negara, dan advokat tidak diundang," kata Direktur Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, Adnan Buyung Nasution. Buyung khawatir, raker gabungan itu akan membuat hakim-hakim kehilangan kebebasannya, terutama dalam menginterDretasikan hukum dan keadilan. "Ilmu hukum itu berkembang, karena itu interpretasi tidak bisa diputuskan sepihak dalam raker itu," kata Buyung. Perkembangan akhirakhir ini, menurut Buyung, telah mengarah kepada campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif. Jika kesepakatan tingkat tinggi antaraparat hukum itu diteruskan, menurut Buyung, "yang dirugikan rakyat pencari keadilan". Ia lebih khawatir lagi bila pengadilan sudah mempunyai kesepakatan sebelum rakyat menggugat pemerintah, misalnya, dalam hal ganti rugi korban penggusuran yang banyak terjadi. "Akibatnya hukum dikebiri dan keadilan dikorbankan," sentak Buyung. Bekas anggota DPR yang sekarang pengacara, R.O. Tambunan, juga mencurigai rapat gabungan itu sudah membicarakan kasus-kasus yang terjadi di pengadilan terbukti dengan tidak diajaknya pengacaraikut serta. "Kalau itu terjadi, sangat berbahaya," tambah Tambunan. Mahkamah Agung selama ini, menurut Tambunan, selalu memegang kekuasaan yudikatif dengan tegas. Khususnya dalam menghadapi tuntutan jaksa pada kasus korupsi dan subversi. Misalnya, selalu menolak tuntutan subversi, bila jaksa gagal membuktikan latar belakang politik dari perbuatan tertuduh. Juga dalam kasus korupsi, hanya pegawai negeri yang bisa dihukum, dan membebaskan swasta dari tuntutan itu. "Rapat gabungan itu saya takutkan bisa melemahkan sikap peradilan dalam hal-hal semacam itu," ujar Tambunan. Seorang anggota DPR dari F-KP, Albert Hasibuan, juga senada dengan Buyung serta Tambunan. Ia hanya setuju kalau Makehia itu diadakan untuk menghadapi kesulitan teknis administrasi dan diadakan secara insidentil saja. "Tapi jangan dilembagakan - saya melihat kecenderungan sekarang melembagakan Mahkeja," ujar Albert.Pelembagaan semacam itu pula akan menyebabkan "satu kata" jaksa dan hakim dalam menghadapi perkara. "Ini berbahaya, karena kita menganut asas peradilan yang bebas," kata Albert. Albert juga tidak melihat manfaatnya, rapat gabungan baru-baru ini untuk keseragaman penafsiran tentang pelaksanaan KUHAP. "Pasal-pasal KUHAP itu sudah jelas dan tidak ada yang perlu ditafsirkan lagi," kata Albert, yang juga ikut menggodok lahirnya undang-undang yang bersejarah itu. Jaksa Agung Ismail Saleh, sebagai salah seorang dari trio "pendekar hukum", membantah semua pergunjingan. "Raker itu tidak menutup sama sekali perbedaan antara hakim dan jaksa serta tidak ada intervensi kekuasaan," ujar Ismail Saleh. Rapat gabungan, katanya, hanya menyelaraskan pelaksanaan KUHAP, seperti penahanan, penetapan hari sidang, pemanggilan terdakwa dan saksi. "Agar persoalan bisa ditangani dengan cepat dan tidak tersendat-sendat," tambahnya. Menurut Ismail Saleh, lembaga Makehja yang digalakkan itu hanya merupakan suatu forum. Identitas masing-masing instansi, katanya, tidak terganggu oleh forum itu. Juga prinsip-prinsip yang dianut oleh ketiga instansi itu. Misalnya, "kalau membicarakan berapa tahun seorang tersangka harus dihukum atau berdasarkan undang-undang mana seorang terdakwa diajukan ke pengadilan, tentu udak diperdebatkan dalam forum Mahkeja, tapi harus melalui forum pengadilan," katanya. Seorang Dosen Hukum Tata Negara UI, Harmaily Ibrahim, tetap tidak melihat perlunya ada forum Makehja, walau hanya sekadar penyelarasan pelaksanaan KUHAP. "Kejaksaan dengan kepolisian memang perlu disinkronisasikan, tapi untuk pengadilan tidak ada gunanya," katanya. Menurut Harmaily, yang juga kolumnis Hukum Tata Negara, semua soal itu akan jelas kalau dikembalikan ke prinsip negara hukum. "Jaksa Agung itu pembantu Presiden, sedangkan Mahkamah Agung kekuasaan yang bebas," ujarnya. "Lho jaksa bertugas menuntut dan sementara hakim yang harus memutuskan, lalu apanya yang perlu disikronisasikan," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus