APABILA hakim dan jaksa duduk bersama, bukan di ruang
pengadilan, tentu mengundang pergunjingan. Dan selama 4 hari,
Kepala Kejaksaan Tinggi dan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh
Indonesia, awal bulan ini berembuk di ruang tertutup di Hotel
Horison, Jakarta. Trio "pendekar hukum", Mudjono, Ali Said, dan
Ismail Saleh yang rajin menggalang kerja sama Makehia (Mahkamah
Agung, Kehakiman dan Kejaksaan Agung), menginginkan "keakraban"
mereka juga ditiru penegak hukum di daerah. "Keterpaduan dan
hubungan kerja sama tidak boleh tersendat hanya karena gengsi
pribadi," ujar Ismail Saleh ketika menutup rapat kerja
antar-instansi itu.
Tidak banyak materi rapat yang terbetik keluar - kecuali secara
umum: perlu koordinasi antar-instansi untuk tegaknya hukum.
Menteri Kehakiman Ali Said menyebutkan, penyeragaman pelaksanaan
KUHAP, sebagai salah satu hal yang dibicarakan dalam rangka
membuat peraturan pelaksanaan undang-undang itU. Namun, itulah
tadi awal pergunjingan, pihak di luar ketiga instansi itu risau.
"Kalau memang mau berbicara tentang hukum, mengapa hanya
melibatkan aparat negara, dan advokat tidak diundang," kata
Direktur Yayasan Bantuan Hukum Indonesia, Adnan Buyung Nasution.
Buyung khawatir, raker gabungan itu akan membuat hakim-hakim
kehilangan kebebasannya, terutama dalam menginterDretasikan
hukum dan keadilan. "Ilmu hukum itu berkembang, karena itu
interpretasi tidak bisa diputuskan sepihak dalam raker itu,"
kata Buyung. Perkembangan akhirakhir ini, menurut Buyung, telah
mengarah kepada campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan
yudikatif.
Jika kesepakatan tingkat tinggi antaraparat hukum itu
diteruskan, menurut Buyung, "yang dirugikan rakyat pencari
keadilan". Ia lebih khawatir lagi bila pengadilan sudah
mempunyai kesepakatan sebelum rakyat menggugat pemerintah,
misalnya, dalam hal ganti rugi korban penggusuran yang banyak
terjadi. "Akibatnya hukum dikebiri dan keadilan dikorbankan,"
sentak Buyung.
Bekas anggota DPR yang sekarang pengacara, R.O. Tambunan, juga
mencurigai rapat gabungan itu sudah membicarakan kasus-kasus
yang terjadi di pengadilan terbukti dengan tidak diajaknya
pengacaraikut serta. "Kalau itu terjadi, sangat berbahaya,"
tambah Tambunan.
Mahkamah Agung selama ini, menurut Tambunan, selalu memegang
kekuasaan yudikatif dengan tegas. Khususnya dalam menghadapi
tuntutan jaksa pada kasus korupsi dan subversi. Misalnya, selalu
menolak tuntutan subversi, bila jaksa gagal membuktikan latar
belakang politik dari perbuatan tertuduh. Juga dalam kasus
korupsi, hanya pegawai negeri yang bisa dihukum, dan membebaskan
swasta dari tuntutan itu. "Rapat gabungan itu saya takutkan bisa
melemahkan sikap peradilan dalam hal-hal semacam itu," ujar
Tambunan.
Seorang anggota DPR dari F-KP, Albert Hasibuan, juga senada
dengan Buyung serta Tambunan. Ia hanya setuju kalau Makehia itu
diadakan untuk menghadapi kesulitan teknis administrasi dan
diadakan secara insidentil saja. "Tapi jangan dilembagakan -
saya melihat kecenderungan sekarang melembagakan Mahkeja," ujar
Albert.Pelembagaan semacam itu pula akan menyebabkan "satu
kata" jaksa dan hakim dalam menghadapi perkara. "Ini berbahaya,
karena kita menganut asas peradilan yang bebas," kata Albert.
Albert juga tidak melihat manfaatnya, rapat gabungan baru-baru
ini untuk keseragaman penafsiran tentang pelaksanaan KUHAP.
"Pasal-pasal KUHAP itu sudah jelas dan tidak ada yang perlu
ditafsirkan lagi," kata Albert, yang juga ikut menggodok
lahirnya undang-undang yang bersejarah itu.
Jaksa Agung Ismail Saleh, sebagai salah seorang dari trio
"pendekar hukum", membantah semua pergunjingan. "Raker itu tidak
menutup sama sekali perbedaan antara hakim dan jaksa serta tidak
ada intervensi kekuasaan," ujar Ismail Saleh. Rapat gabungan,
katanya, hanya menyelaraskan pelaksanaan KUHAP, seperti
penahanan, penetapan hari sidang, pemanggilan terdakwa dan
saksi. "Agar persoalan bisa ditangani dengan cepat dan tidak
tersendat-sendat," tambahnya.
Menurut Ismail Saleh, lembaga Makehja yang digalakkan itu hanya
merupakan suatu forum. Identitas masing-masing instansi,
katanya, tidak terganggu oleh forum itu. Juga prinsip-prinsip
yang dianut oleh ketiga instansi itu. Misalnya, "kalau
membicarakan berapa tahun seorang tersangka harus dihukum atau
berdasarkan undang-undang mana seorang terdakwa diajukan ke
pengadilan, tentu udak diperdebatkan dalam forum Mahkeja, tapi
harus melalui forum pengadilan," katanya.
Seorang Dosen Hukum Tata Negara UI, Harmaily Ibrahim, tetap
tidak melihat perlunya ada forum Makehja, walau hanya sekadar
penyelarasan pelaksanaan KUHAP. "Kejaksaan dengan kepolisian
memang perlu disinkronisasikan, tapi untuk pengadilan tidak ada
gunanya," katanya.
Menurut Harmaily, yang juga kolumnis Hukum Tata Negara, semua
soal itu akan jelas kalau dikembalikan ke prinsip negara hukum.
"Jaksa Agung itu pembantu Presiden, sedangkan Mahkamah Agung
kekuasaan yang bebas," ujarnya. "Lho jaksa bertugas menuntut dan
sementara hakim yang harus memutuskan, lalu apanya yang perlu
disikronisasikan," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini