Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Imran, Imran, Sampai Di Sini

Pelaksanaan hukuman mati imran bin mohammad zein, setelah grasinya ditolak presiden. orang tua, istri dan pembelanya tidak ada yang diberi tahu tentang pelaksanaan eksekusinya.(hk)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu subuh, ketika Jakarta masih diliputi embun dingin, seorang pejabat Kejaksaan Agung yang rambutnya telah memutih, memberi aba-aba kepada seregu polisi: Imran bin Mohammad Zein, 33 tahun, akhirnya menjalani hukuman matinya di suatu tempat di wilayah Jakarta Utara. Maka berakhirlah riwayat Imran, sejak 28 Maret lalu, sebagai imam yang pernah menerima baiat jamaahnya. Imran yang semula dikenal sebagai "preman Medan", menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, "terbukti melakukan subversi dan hendak menggulingkan pemerintah yang sah." Ia, "terbukti pula menghasut jamaahnya dengan khotbah-khotbahnya di Masjid Istiqamah, Bandung." Pengikutnya itu pula yang kemudian, kata hakim diperintahkannya melakukan serangkaian kegiatan subversi. Antara lain menyerang Pos Polisi Cicendo, membunuh sesama anggota jamaah yang dituduh "membelot", dan puncaknya membajak pesawat DC-8 Garuda, Woyla, 28 Maret 1981. "Karena grasinya ditolak Presiden, dengan sendirinya hukuman dilaksanakan. Upacara dilakukan sesederhana mungkin, sesuai ketentuan undang-undang." Begitu penjelasan Jaksa Agung Ismail Saleh kepada wartawan, tanpa menyebutkan tempat dan kapan eksekusi hukuman mati Imran tersebut. Jaksa Agung juga tidak menjawab pertanyaan tentang pertemuan terakhir antara Imran dan keluarganya. "Masalah itu jangan dibesar-besarkan, karena pelaksanaan hukum merupakan hal yang rutin," ujar Jaksa Agung. Syahraini Zamzam Batubara, istrinya, mengaku belum bertemu suaminya (lihat box). Namun sampai pekan lalu, kedua orangtua Imran, masih belum yakin anaknya telah menjalani hukuman mati. "Saya ingin tahu kapan eksekusi itu dan saya ingin menyaksikannya," ujar Mohammad Zein, 60 tahun. Orang tua itu sebenarnya kehilangan putranya, Wemdy, adik Imran yang tertembak ketika pembebasan Woyla terjadi. Dan tepat dua tahun setelah pembajakan Woyla itu, Imran yang dituduh sebagai otak pembajakan, menjalani hukuman mati. Seandainya Imran telah tiada, kata Zein, ia pasrah. "Soal mati soal biasa, walau banyak orang yang takut. Tapi kematian itu, akan datang kepada semua orang, juga untuk Imran dan Wemdy. Buat apa saya menyusahkan diri," kata Zein lagi, di rumahnya di Kotamatsum, Medan. Tidak ada suasana sedih di rumah itu ketika mendengar kabar grasi Imran ditolak Presiden - sama keadaannya ketika Imran dijatuhi hukuman mati dan kemudian bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Jakarta. Pertemuan terakhir antara kedua orang tua dan putranya, Mei tahun lalu, setelah Imran dijatuhi hukuman mati. Mohammad Zein memang mengagumi anaknya itu. "Saya melihat diri saya sendiri dalam dirinya, terutama wataknya yang keras," kata Zein yang mengaku mendidik anaknya dengan keras pula. Setelah itu ayah dan ibu Imran mengaku tidak ada lagi kontak dengan anaknya. Juga tentang larinya Imran dari tahanan, Zein hanya mendengar dari desas-desus. "Penolakan grasinya juga saya baca di koran, tidak ada pemberitahuan resmi," ujar Zein. Pembela perkara Imran, Abdurahman Saleh dan Asseggaf, juga tidak mendapat pemberitahuan resmi tentang pembatalan kasasi Imran sampai ke soal grasi yang ditolak. Abdurahman mengaku telah beberapa kali mengajukan permintaan ketemu Imran, setelah mendengar ada keputusan banding 5 Maret lalu. "Tiba-tiba saya mendengar Imran mengajukan grasi," katanya. "Tentang larinya Imran pun saya hanya mendengar isu-isu, begitu juga peristiwa tertangkapnya kembali," ujar Asseggaf. Imran memang dikabarkan lari dari rumah tahanan awal tahun lalu. Konon ia berhasil membongkar selnya dengan gergaji. Setelah di luar, begitu ceritanya, Imran mencoba kembali mencari simpatisannya di Jawa Barat. Namun, rupanya, ia tidak laku lagi. Bekas jamaahnya, seperti terbukti di pengadilan Perkara Cicendo, telah mengutuknya - malah ada yang menudingnya sebagai "dajal". Sebab itu bekas imam itu mengalihkan tujuannya ke Medan. Diduga ia berniat menghubungi bekas teman-temannya "preman" Medan. Aparat keamanan, yang mencium arah Imran, memperkuat penjagaan jalur Jakarta-Medan. Benar saja, 28 Februari lalu, sekitar sebulan setelah buron, Imran tertangkap di atas bis ATS jurusan Jakarta-Medan di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. mran tertangkap dalam penyamarannya sebagai Haji Abdullah dengan jubah dan jambang yang lebat. Tanggal 1 Maret buronan itu diterbangkan kembali ke Jakarta. Empat hari kemudian, Pengadilan Tinggi Jakarta menolak permohonan banding Imran. Tanpa melalui kasasi, Imran mohon pengampunan Presiden melalui Mahkamah Agung, 12 Maret lalu. Enam hari kemudian Presiden menolak permohonan itu. Dan 24 Maret, secara resmi Imran diberi tahu penolakan itu, juga kapan hukuman matiharus dijalaninya. Empat hari setelah itu, Imran berhadapan dengan regu tembak akhir yang sama seperti dialami orang-orang yang mencoba-coba menggulingkan kekuasaan yang sah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus