PADA suatu subuh, ketika Jakarta masih diliputi embun dingin,
seorang pejabat Kejaksaan Agung yang rambutnya telah memutih,
memberi aba-aba kepada seregu polisi: Imran bin Mohammad Zein,
33 tahun, akhirnya menjalani hukuman matinya di suatu tempat di
wilayah Jakarta Utara. Maka berakhirlah riwayat Imran, sejak 28
Maret lalu, sebagai imam yang pernah menerima baiat jamaahnya.
Imran yang semula dikenal sebagai "preman Medan", menurut
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, "terbukti
melakukan subversi dan hendak menggulingkan pemerintah yang
sah." Ia, "terbukti pula menghasut jamaahnya dengan
khotbah-khotbahnya di Masjid Istiqamah, Bandung." Pengikutnya
itu pula yang kemudian, kata hakim diperintahkannya melakukan
serangkaian kegiatan subversi. Antara lain menyerang Pos Polisi
Cicendo, membunuh sesama anggota jamaah yang dituduh "membelot",
dan puncaknya membajak pesawat DC-8 Garuda, Woyla, 28 Maret
1981.
"Karena grasinya ditolak Presiden, dengan sendirinya hukuman
dilaksanakan. Upacara dilakukan sesederhana mungkin, sesuai
ketentuan undang-undang." Begitu penjelasan Jaksa Agung Ismail
Saleh kepada wartawan, tanpa menyebutkan tempat dan kapan
eksekusi hukuman mati Imran tersebut.
Jaksa Agung juga tidak menjawab pertanyaan tentang pertemuan
terakhir antara Imran dan keluarganya. "Masalah itu jangan
dibesar-besarkan, karena pelaksanaan hukum merupakan hal yang
rutin," ujar Jaksa Agung. Syahraini Zamzam Batubara, istrinya,
mengaku belum bertemu suaminya (lihat box).
Namun sampai pekan lalu, kedua orangtua Imran, masih belum yakin
anaknya telah menjalani hukuman mati. "Saya ingin tahu kapan
eksekusi itu dan saya ingin menyaksikannya," ujar Mohammad Zein,
60 tahun. Orang tua itu sebenarnya kehilangan putranya, Wemdy,
adik Imran yang tertembak ketika pembebasan Woyla terjadi. Dan
tepat dua tahun setelah pembajakan Woyla itu, Imran yang dituduh
sebagai otak pembajakan, menjalani hukuman mati.
Seandainya Imran telah tiada, kata Zein, ia pasrah. "Soal mati
soal biasa, walau banyak orang yang takut. Tapi kematian itu,
akan datang kepada semua orang, juga untuk Imran dan Wemdy. Buat
apa saya menyusahkan diri," kata Zein lagi, di rumahnya di
Kotamatsum, Medan.
Tidak ada suasana sedih di rumah itu ketika mendengar kabar
grasi Imran ditolak Presiden - sama keadaannya ketika Imran
dijatuhi hukuman mati dan kemudian bandingnya ditolak Pengadilan
Tinggi Jakarta. Pertemuan terakhir antara kedua orang tua dan
putranya, Mei tahun lalu, setelah Imran dijatuhi hukuman mati.
Mohammad Zein memang mengagumi anaknya itu. "Saya melihat diri
saya sendiri dalam dirinya, terutama wataknya yang keras," kata
Zein yang mengaku mendidik anaknya dengan keras pula. Setelah
itu ayah dan ibu Imran mengaku tidak ada lagi kontak dengan
anaknya. Juga tentang larinya Imran dari tahanan, Zein hanya
mendengar dari desas-desus. "Penolakan grasinya juga saya baca
di koran, tidak ada pemberitahuan resmi," ujar Zein.
Pembela perkara Imran, Abdurahman Saleh dan Asseggaf, juga tidak
mendapat pemberitahuan resmi tentang pembatalan kasasi Imran
sampai ke soal grasi yang ditolak.
Abdurahman mengaku telah beberapa kali mengajukan permintaan
ketemu Imran, setelah mendengar ada keputusan banding 5 Maret
lalu. "Tiba-tiba saya mendengar Imran mengajukan grasi,"
katanya.
"Tentang larinya Imran pun saya hanya mendengar isu-isu, begitu
juga peristiwa tertangkapnya kembali," ujar Asseggaf. Imran
memang dikabarkan lari dari rumah tahanan awal tahun lalu. Konon
ia berhasil membongkar selnya dengan gergaji.
Setelah di luar, begitu ceritanya, Imran mencoba kembali mencari
simpatisannya di Jawa Barat. Namun, rupanya, ia tidak laku lagi.
Bekas jamaahnya, seperti terbukti di pengadilan Perkara Cicendo,
telah mengutuknya - malah ada yang menudingnya sebagai "dajal".
Sebab itu bekas imam itu mengalihkan tujuannya ke Medan. Diduga
ia berniat menghubungi bekas teman-temannya "preman" Medan.
Aparat keamanan, yang mencium arah Imran, memperkuat penjagaan
jalur Jakarta-Medan. Benar saja, 28 Februari lalu, sekitar
sebulan setelah buron, Imran tertangkap di atas bis ATS jurusan
Jakarta-Medan di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. mran
tertangkap dalam penyamarannya sebagai Haji Abdullah dengan
jubah dan jambang yang lebat. Tanggal 1 Maret buronan itu
diterbangkan kembali ke Jakarta.
Empat hari kemudian, Pengadilan Tinggi Jakarta menolak
permohonan banding Imran. Tanpa melalui kasasi, Imran mohon
pengampunan Presiden melalui Mahkamah Agung, 12 Maret lalu. Enam
hari kemudian Presiden menolak permohonan itu. Dan 24 Maret,
secara resmi Imran diberi tahu penolakan itu, juga kapan hukuman
matiharus dijalaninya. Empat hari setelah itu, Imran berhadapan
dengan regu tembak akhir yang sama seperti dialami orang-orang
yang mencoba-coba menggulingkan kekuasaan yang sah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini