NYONYA Syahraini Zamzam Batubara tak tampak terlalu sedih.
"Kesedihan saya sudah lama," kata istri Imran. Wanita itu lalu
mengusap kedua anaknya, Zaid, 5 tahun, dan Nadia Ramadani, 18
bulan. Syahraini, 25 tahun, kini tinggal di sebuah rumah
kontrakan kecil, di Jakarta.
Berbola mata besar, dengan rambut ikal dibiarkan terurai, dan
berhidung mancung, wanita kelahiran Tapanuli itu mengaku sudah
dicintai Imran sejak ia berusia 9 tahun. "Dan cintanya itu telah
saya uji bertahun-tahun," katanya. Maka ketika Imran kembali
dari Mekah 7 tahun lalu wanita itu tanpa banyak cingcong
menerima ketika diminta tangannya. Dan Syahraini yang tamat SMEA
di Medan itu, merasa tak melihat ada tingkah suaminya yang
"jahat". Malah, katanya, "ia rajin sembahyang, dan memang
menginginkan agar ajaran Islam diamalkan sepenuhnya di sini."
Rupanya, tanpa sepengetahuan istrinya, Imran melakukan kegiatan
yang bertentangan dengan hukum yang sah, dan kemudian berbuat
aksi-aksi yang tergolong subversi. Wanita itu mengaku baru sadar
setelah ikut ditahan selama 10 bulan (1981). Pertemuan terakhir
dengan suaminya, kuanya, terjadi 5 bulan lalu di rumah tahanan
Guntur, Jakarta.
Apa pesan Imran? "Anak saya yang laki-laki biarlah memilih jalan
hidupnya sendiri kelak, sesuai bakatnya, dan yang perempuan,
kalau bisa, agar jadi dokter ahli kandungan", begitu Syahraini
mengutip Imran. Pesannya yang lain, "agar saya tak kawin lagi
setelah ia dihukum mati". "Wanita itu tercenung sebentar, lalu
berkata: "Saya memang berpisah karena cerai mati. Tapi untuk
tidak kawin lagi, saya tidak tahu. Semua saya serahkan kepada
Allah."
Wanita yang nampak manis itu berniat mencari pekerjaan, dan
ingin tetap tinggal di Jakarta. Keluarga itu merasa hidupnya
nulai sulit sekarang. Belum sempat ia melanjutkan ceritanya,
tiba-tiba putranya berlari-lari masuk di ruang tamu, dan
berteriak: "Ini Zaid Batubara, anak Medan." Sang ibu pun mesem
melihat si bocah yang periang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini