Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tegakkan Hukum Buatan Sendiri

Penegak hukum sepakat menjadikan pelita IV sebagai era pembangunan hukum, dan bertekad mengembalikan citra hukum serta keadilan. (hk)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Pengadilan Tinggi dan Jaksa Tinggi seluruh Indonesia berikrar: menjadikan Pelita IV sebagai era pembangunan hukum. Semua jajaran hakim dan jaksa, kata Menteri Kehakiman Ali Said ketika menutup rapat gabungan Makehia (Mahkamah Agung, Kehakiman dan Kejaksaan) awal bulan ini, bertekad mengembalikan citra hukum dan keadilan yang luhur. Tapi sebelum ikrar itu dilaksanakan, Guru Besar FH-UI Padmo Wahyono buru-buru mengingatkan, "kalau benar-benar menginginkan Pelita IV sebagai era hukum, maka semua produk hukum peninggalan kolonial harus dihapuskan". Mengaku mengeluarkan pendapat sebagai rakyat biasa yang kebetulan tahu hukum, Padmo mengkritik usaha pemerintah selama ini, yang terlalu menekankan penegakan hukum sebagai "medan juang" pembangunan hukum. "Itu berarti kita menegakkan hukum kolonial. Apa artinya menerapkan hukum dengan baik, kalau hukum itu sendiri bukan buatan kita," ujar Padmo, Minggu lalu di rumahnya di Jalan Kusumaatmadja, Jakarta. Prioritas utama, katanya, seharusnya pembentukan hukum nasional berdasarkan aspirasi masyarakat. Berlarut-larutnya pemakaian produk hukum kolonial, kata Padmo, 51 tahun, karena bangsa kita "ternina bobok" oleh Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (berlakunya hukum yang lama sebelum adanya peraturan baru). Selain itu, katanya, produk hukum Belanda dinilai secara teknis hukum sudah tinggi. "Jadi ada kekhawatiran kalau itu diganti, jangan-jangan penggantinya lebih jelek," tambah Padmo. Tambahan lagi, katanya, ahli-ahli hukum tamatan zaman Belanda, tidak diajarkan membentuk hukum, tapi hanya sekadar menerapkan undang-undang yang telah ada. "Semuanya itu harus dihentikan, apalagi generasi kita sekarang sudah mampu menghasilkan hukum yang baik," kata Padmo Wahyono lagi. Lebih kacau lagi selama ini, menurut Padmo, karena kitab hukum menggunakan berbagai terjemahan. Jadi apa yang tercantum sebagai hukum, "...tergantung selera penerjemahnya," kata Padmo. Sebab itu tidak terdapat kesatuan istilah dan penafsiran antara berbagai penerjemah. Antara berbagai perguruan tinggi juga terjadi perbedaan-perbedaan itu - "tergantung siapa embahnya," ujar Padmo lagi. Jalan keluar jangka pendek dari kekacauan itu, usul Padmo, dibuat terjemahan resmi semua peraturan hukum yang ada. "Jadi kita bisa bilang bahwa ini satu-satunya terjemahan, bukan lagi menurut terjemahan si A, si B, atau si C," katanya. Untuk jangka panjang harus ditentukan, dari mana memulai pembangunan hukum itu. Padmo lebih cenderung mendahulukan perencanaan pembentukan hukum, setelah itu baru penegakan hukum. Dalam pembentukan hukum itu, guru besar yang sekarang duduk di BP-7 itu berpendapat, perlu dibuat skala prioritas sesuai dengan laju pembangunan. Prioritas itu disesuaikan pula dengan kebutuhan yang mendesak. Padmo tidak setuju dengan kebijaksanaan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) yang menganggap perlu kodifikasi dan unifikasi hukum nasional. "Belanda saja memerlukan waktu 100 tahun untuk membukukan semua masalah dalam satu buku - kodifikasi itu kuno," ujar Padmo. Tapi Padmo, yang juga banyak memberikan bantuan ke BPHN dan pernah menduduki beberapa jabatan di lembaga itu, tidak bermaksud mengkritik pimpinan lembaga itu. "Saya hanya ingin membangkitkan partisipasi semua pihak untuk era pembangunan hukum itu," katanya. Ia menyadari bahwa semua kebijaksanaan BPHN selama ini sudah ditentukan GBHN. Tak urung kritik Padmo, yang pertama dilontarkannya di harian Sinar Harapan, membuat kaget para "perencana era pembangunan hukum." "Saya tidak mengerti kenapa Pak Padmo berpendapat demikian, padahal beliau itu penasihat saya," kata Kepala BPHN, Teuku M. Radhie, yang baru-baru ini mengumumkan akan rampungnya lima naskah RUU, antara lain Hukum Pidana, Hukum Perdata dan Hukum Internasional. Lima naskah RUU, yang nantinya akan merupakan kodifikasi hukum itu, menurut Radhie tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Setidak-tidaknya pada akhir Pelita IV, kodifikasi itu sudah selesai," kata Radhie, yang membantah usahanya itu akan memakan waktu lama. "Buktinya kodifikasi Hukum Perdata Internasional saja sudah selesai dirancangkan," tambahnya lagi. Selain program kodifikasi, kata Radhie, BPHN-juga punya rencana mengganti peraturan dan undang-undang yang tidak dikodifikasikan. "Produk hukum lama tidak perlu lagi diganti dengan yang baru," ujar Radhie. Program inilah, katanya, sejalan dengan ide Padmo. Jadi, kata Radhie, kedua program itu sekaligus dilaksanakan BPHN. "Kalau idenya Pak Padmo dituruti, bisa sampai Pelita enam baru selesai," ujar Radhie lagi. Dekan FH-Unpad, Dr. Sri Soemantri Martosoeginyo, membenarkan bahwa ide Padmo baru bisa terlaksana sekitar tiga Pelita lagi dan membutuhkan biaya besar. "Tapi menyatakan Pelita IV sebagai era hukum juga tergesa-gesa," katanya. Ahli hukum ini melihat, pembaruan hukum yang dilakukan selama ini terlalu tergesa-gesa, sehingga prok itu tidak mampu bertahan dalam jangka panjang. Contoh kongkrit ditunjuknya KUHAP, meski baru berumur setahun, ternyata banyak masalah yang timbul ketika dilaksanakan. Begitu pula Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terpaksa diubah walau baru berumur enam tahun. "Jadi jangan gegabah membuat undang-undang," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus