KETUA Pengadilan Tinggi dan Jaksa Tinggi seluruh Indonesia
berikrar: menjadikan Pelita IV sebagai era pembangunan hukum.
Semua jajaran hakim dan jaksa, kata Menteri Kehakiman Ali Said
ketika menutup rapat gabungan Makehia (Mahkamah Agung, Kehakiman
dan Kejaksaan) awal bulan ini, bertekad mengembalikan citra
hukum dan keadilan yang luhur. Tapi sebelum ikrar itu
dilaksanakan, Guru Besar FH-UI Padmo Wahyono buru-buru
mengingatkan, "kalau benar-benar menginginkan Pelita IV sebagai
era hukum, maka semua produk hukum peninggalan kolonial harus
dihapuskan".
Mengaku mengeluarkan pendapat sebagai rakyat biasa yang
kebetulan tahu hukum, Padmo mengkritik usaha pemerintah selama
ini, yang terlalu menekankan penegakan hukum sebagai "medan
juang" pembangunan hukum. "Itu berarti kita menegakkan hukum
kolonial. Apa artinya menerapkan hukum dengan baik, kalau hukum
itu sendiri bukan buatan kita," ujar Padmo, Minggu lalu di
rumahnya di Jalan Kusumaatmadja, Jakarta. Prioritas utama,
katanya, seharusnya pembentukan hukum nasional berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Berlarut-larutnya pemakaian produk hukum kolonial, kata Padmo,
51 tahun, karena bangsa kita "ternina bobok" oleh Pasal 2 Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (berlakunya hukum yang lama
sebelum adanya peraturan baru). Selain itu, katanya, produk
hukum Belanda dinilai secara teknis hukum sudah tinggi. "Jadi
ada kekhawatiran kalau itu diganti, jangan-jangan penggantinya
lebih jelek," tambah Padmo. Tambahan lagi, katanya, ahli-ahli
hukum tamatan zaman Belanda, tidak diajarkan membentuk hukum,
tapi hanya sekadar menerapkan undang-undang yang telah ada.
"Semuanya itu harus dihentikan, apalagi generasi kita sekarang
sudah mampu menghasilkan hukum yang baik," kata Padmo Wahyono
lagi.
Lebih kacau lagi selama ini, menurut Padmo, karena kitab hukum
menggunakan berbagai terjemahan. Jadi apa yang tercantum sebagai
hukum, "...tergantung selera penerjemahnya," kata Padmo. Sebab
itu tidak terdapat kesatuan istilah dan penafsiran antara
berbagai penerjemah. Antara berbagai perguruan tinggi juga
terjadi perbedaan-perbedaan itu - "tergantung siapa embahnya,"
ujar Padmo lagi.
Jalan keluar jangka pendek dari kekacauan itu, usul Padmo,
dibuat terjemahan resmi semua peraturan hukum yang ada. "Jadi
kita bisa bilang bahwa ini satu-satunya terjemahan, bukan lagi
menurut terjemahan si A, si B, atau si C," katanya. Untuk jangka
panjang harus ditentukan, dari mana memulai pembangunan hukum
itu. Padmo lebih cenderung mendahulukan perencanaan pembentukan
hukum, setelah itu baru penegakan hukum.
Dalam pembentukan hukum itu, guru besar yang sekarang duduk di
BP-7 itu berpendapat, perlu dibuat skala prioritas sesuai dengan
laju pembangunan. Prioritas itu disesuaikan pula dengan
kebutuhan yang mendesak. Padmo tidak setuju dengan kebijaksanaan
BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) yang menganggap perlu
kodifikasi dan unifikasi hukum nasional. "Belanda saja
memerlukan waktu 100 tahun untuk membukukan semua masalah dalam
satu buku - kodifikasi itu kuno," ujar Padmo.
Tapi Padmo, yang juga banyak memberikan bantuan ke BPHN dan
pernah menduduki beberapa jabatan di lembaga itu, tidak
bermaksud mengkritik pimpinan lembaga itu. "Saya hanya ingin
membangkitkan partisipasi semua pihak untuk era pembangunan
hukum itu," katanya. Ia menyadari bahwa semua kebijaksanaan BPHN
selama ini sudah ditentukan GBHN.
Tak urung kritik Padmo, yang pertama dilontarkannya di harian
Sinar Harapan, membuat kaget para "perencana era pembangunan
hukum." "Saya tidak mengerti kenapa Pak Padmo berpendapat
demikian, padahal beliau itu penasihat saya," kata Kepala BPHN,
Teuku M. Radhie, yang baru-baru ini mengumumkan akan rampungnya
lima naskah RUU, antara lain Hukum Pidana, Hukum Perdata dan
Hukum Internasional.
Lima naskah RUU, yang nantinya akan merupakan kodifikasi hukum
itu, menurut Radhie tidak bisa ditawar-tawar lagi.
"Setidak-tidaknya pada akhir Pelita IV, kodifikasi itu sudah
selesai," kata Radhie, yang membantah usahanya itu akan memakan
waktu lama. "Buktinya kodifikasi Hukum Perdata Internasional
saja sudah selesai dirancangkan," tambahnya lagi.
Selain program kodifikasi, kata Radhie, BPHN-juga punya rencana
mengganti peraturan dan undang-undang yang tidak
dikodifikasikan. "Produk hukum lama tidak perlu lagi diganti
dengan yang baru," ujar Radhie. Program inilah, katanya, sejalan
dengan ide Padmo. Jadi, kata Radhie, kedua program itu sekaligus
dilaksanakan BPHN. "Kalau idenya Pak Padmo dituruti, bisa sampai
Pelita enam baru selesai," ujar Radhie lagi.
Dekan FH-Unpad, Dr. Sri Soemantri Martosoeginyo, membenarkan
bahwa ide Padmo baru bisa terlaksana sekitar tiga Pelita lagi
dan membutuhkan biaya besar. "Tapi menyatakan Pelita IV sebagai
era hukum juga tergesa-gesa," katanya. Ahli hukum ini melihat,
pembaruan hukum yang dilakukan selama ini terlalu tergesa-gesa,
sehingga prok itu tidak mampu bertahan dalam jangka panjang.
Contoh kongkrit ditunjuknya KUHAP, meski baru berumur setahun,
ternyata banyak masalah yang timbul ketika dilaksanakan. Begitu
pula Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terpaksa
diubah walau baru berumur enam tahun. "Jadi jangan gegabah
membuat undang-undang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini