Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengungkapan kasus judi online dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Firman Hertanto masih berlangsung di Badan Reserse Kriminal Polri. Meski sudah menetapkan Firman sebagai tersangka utama, polisi belum mengungkap perkembangan penanganan kasus ini sejak pertama kali dirilis kepada publik pada 16 Januari 2025 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Januari lalu, Bareskrim Polri berhasil mengungkap jaringan judi online di Semarang yang diduga digawangi Firman Hartanto alias Aseng, Komisaris PT Arta Jaya Putra. Bisnis haram tersebut sempat tak terendus karena pelaku menggunakan taktik hawala melalui perusahaan cangkang. Aseng pun ditetapkan sebagai tersangka kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kasus yang sedang diungkap tersebut, seorang yang mengetahui ihwal penyidikan ini mengungkapkan bahwa polisi mencurigai Firman sebagai pemimpin atau kepala konsorsium. Konsorsium sendiri adalah sebutan yang merujuk pada para pebisnis judi online yang berafiliasi.
Melalui konsorsium ini, setiap bulan setiap bandar menyetorkan Rp 15 juta per situs judi yang mereka kelola ke empat rekening, dua di antaranya atas nama Rico F dan Oey R. Menurut sumber tersebut, karena masing-masing bandar memiliki ratusan web, dua humas itu bisa mengumpulkan Rp 40-45 miliar.
Untuk menyamarkan hasil bisnis judi online itu, Firman ditengarai menggunakannya untuk pembangunan Hotel Aruss di Semarang—hotel yang dikelola PT Arta Jaya Putra. Selama pembangunan pada 2020-2022, hotel tersebut dilaporkan telah menelan biaya sebesar Rp 40,5 miliar. Baca juga artikel di Tempo: Bagaimana Modus Pencucian Uang Judi Online Firman Hertanto.
Berdasarkan keterangan Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Helfi Assegaf, aliran uang disamarkan dengan cara berjenjang dan menggunakan 17 rekening sebelum beralih ke rekening Firman. Ada lima rekening utama yang mengarah langsung ke rekening Firman. Kelima rekening dikuasai empat orang berinisial OR, RF, MG, dan KB.
Rekening tersebut digunakan sebagai penampungan yang secara rutin menerima setoran dari para agen dan bandar judi. Semua rekening agen terhubung dengan ribuan rekening lain yang digunakan dalam transaksi permainan di situs judi, seperti Dafabet, Agen138, dan judi bola. Namun, rekening itu hanya nomine yang meminjam identitas orang lain. “Saat pemeriksaan, tersangka mengakui penggunaan dana itu,” kata Helfi, pada 16 Januari 2025.
Firman disebut memanfaatkan perusahaan cangkang berinisial VEI Ltd di British Virgin Islands untuk bertransaksi. Data Offshore Leaks menyebutkan perusahaan ini didirikan pada 2005. Penggunaan perusahaan cangkang merupakan modus lazim untuk menampung dan mengaburkan aliran uang dari Indonesia.
Pada kejahatan transaksi keuangan, praktik itu dikenal dengan sebutan “Hawala”. Bentuk praktik ini adalah rekayasa pencatatan transaksi dilakukan di luar negeri, sedangkan uang berpindah dari perusahaan valas ke berbagai rekening bank.
Uang yang masuk ke rekening perusahaan ini seolah-olah berasal dari kontrak pembelian komoditas ekspor-impor. Uang tersebut lalu masuk kembali ke Indonesia menggunakan layanan penukaran uang valuta asing. Para pemain itu juga memiliki perusahaan valas sendiri. Tempo mendapatkan data puluhan perusahaan valas yang kerap digunakan Firman.
Semua rekening penempatan terpantau menyimpan dana dari para pemain judi online sekitar Rp1,7 triliun. Sekitar 40 persen di antaranya merupakan rekening agen dan bandar yang terafiliasi dengan jejaring Firman Hertanto. Mereka secara rutin mengubah identitas situs ataupun rekening penampungan guna menghindari pemblokiran aparat.
Riky Ferdianto, Jihan Ristiyanti, Rachel Farahdiba Regar, dan Alif Ilham Fajriadi berkontribusi dalam artikel ini.