Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Negeri Mochamad Ardian Noervianto diduga meminta komisi pengurusan dana PEN Kabupaten Kolaka Timur.
Suap sebesar Sin$ 131 ribu untuk komisi pencairan dana PEN.
Ada info pernah meminta komisi pengurusan Dana Alokasi Khusus Provinsi Sulawesi Selatan.
ULUK salam Tempo di pagar rumah putih di Jalan Cempaka Putih Tengah 33B, Jakarta Pusat, tak berbalas. Padahal dari dalam rumah terdengar celoteh suara anak-anak dan perempuan dewasa. Rumah ini, sesuai dengan alamat yang tertera di pengadilan, tempat tinggal Mochamad Ardian Noervianto, mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri yang muncul dalam dugaan korupsi pinjaman PEN daerah 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEN adalah pemulihan ekonomi nasional. Ini dana yang disediakan pemerintah pusat sebagai bantuan untuk pemerintah daerah mencegah dampak meluas pandemi Covid-19. Komisi Pemberantasan Korupsi tengah mengusut dugaan korupsi dana PEN daerah 2021 di Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochamad Ardian Noervianto/dok. Kemendagri
Rozi, petugas keamanan kompleks perumahan, mengatakan rumah itu hanya dihuni seorang pembantu dan anaknya. “Bapak dan Ibu biasanya kerja,” tuturnya, merujuk pada Ardian dan istrinya. Menurut Rozi, Ardian jarang berinteraksi dengan tetangga. Ia hanya terlihat sesekali ke luar rumah mengendarai sepeda motor gede.
Pekan lalu pada 29 Desember 2021 sejumlah penyidik KPK mendatangi rumah itu. “Katanya penggeledahan,” ucap Rozi. Sehari sebelum penggeledahan, Rozi melihat Ardian dan sopirnya membagikan paket sembilan bahan pokok kepada penduduk kurang mampu di belakang kompleks. Tak ada yang paham maksud Ardian membagikan sembako itu karena tak ada penjelasan apa pun dari sopirnya. “Beliau kalau disapa juga tidak terlalu merespons,” ujar Rozi.
Meski berembus kabar Ardian sudah menjadi tersangka suap penyaluran dana PEN Kolaka Timur, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata baru mengumumkan Ardian dicegah ke luar negeri selama enam bulan sejak 29 Desember 2021.
Bupati Kolaka Timur Sulawesi Tenggara, Andi Merya Nur, menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 16 November 2021/TEMPO/Imam Sukamto
KPK tak menyangkal menggeledah rumah Ardian. Selain rumahnya, para penyidik juga menggeledah beberapa lokasi lain di Kota Kendari dan Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Dugaan korupsi ini mencuat sesudah KPK menciduk Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur dalam operasi tangkap tangan pada 21 September 2021. KPK menuding Andi Merya menerima suap dana hibah Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk relokasi dan rekonstruksi.
Selama pemeriksaan, Andi Merya malah bercerita tentang suap kepada Ardian saat mengurus dana PEN daerah. Kuasa hukum Bupati Andi Merya, Afirudin Mathara, tak berkomentar perihal ini. “Setelah saya tidak layani pesan WhatsApp dan panggilan telepon, sekarang malah dikirim surat,” ucap Afirudin, merespons surat permohonan wawancara Tempo.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kanan) bersiap memimpin rapat di Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta, 27 Desember 2021/ANTARA/Muhammad Adimaja
Informasi suap ini sampai ke Kementerian Dalam Negeri. Menteri Tito Karnavian pun mencopot Ardian pada 26 November 2021. Tito memutasinya menjadi dosen di Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Ardian tak kunjung menampakkan diri di rumahnya pada hingga Sabtu, 8 Januari lalu. Ia juga tak menjawab surat wawancara dan permintaan konfirmasi Tempo ke telepon selulernya.
Penyidik KPK mencium bau anyir pinjaman PEN Daerah Kolaka Timur saat Andi Merya, 37 tahun, mengajukan permohonannya pada Mei 2021. Waktu itu ia menjabat wakil bupati. Ia naik menjadi bupati pada 14 Juni 2021 setelah Bupati Samsul Bahri Majid meninggal pada 20 Maret 2021.
Andi tahu pemerintah pusat menyediakan Rp 15 triliun bagi PEN daerah untuk 2021. Sesuai dengan aturan Kementerian Keuangan, pinjaman PEN daerah harus dikonsultasikan ke Kementerian Dalam Negeri. Sebagai pejabat muda dan bukan pucuk pimpinan daerah, Andi belum punya koneksi di Kementerian Dalam Negeri. Menurut informasi, ia menghubungi LMS, teman kuliah Direktur Jenderal Ardian Noervianto di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri.
Jumras (kanan) saat menemui Nurdin Abdullah di Makassar, Sulawesi Selatan, 25 Februari 2020/Istimewa
Sebagai Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Ardian berwenang menentukan rekomendasi atau menolak permintaan pinjaman serta besaran plafon PEN daerah. Berkat LMS, Andi Merya dan Ardian bertemu di kantornya pada Mei 2021.
Sebulan berikutnya, Andi menerima kabar Ardian akan merekomendasikan pinjaman Rp 151 miliar untuk Kolaka Timur. Syaratnya, ia harus mengalokasikan komisi 3 persen. Menurut catatan KPK, Andi Merya diduga menyanggupi permintaan itu dengan memerintahkan anak buahnya mengumpulkan uang dari para pengusaha sebanyak Rp 2 miliar.
Bupati Andi Merya mengutus orang kepercayaannya menyerahkan Rp 2 miliar kepada LMS di salah satu hotel di kawasan Senen, Jakarta Pusat. LMS menukar sebagian uang tersebut ke dolar Singapura di salah satu tempat penukaran uang di Cideng, Jakarta Pusat, sebanyak Sin$ 131 ribu.
LMS, menurut informasi KPK, menghubungi Ardian untuk menyerahkan besel yang sudah dibungkus koper. Sebab, pada hari itu Ardian sedang mengisolasi diri di rumahnya akibat terinfeksi Covid-19, ia mengutus seorang ajudan menerima uang itu. KPK sudah memeriksa dan mengonfirmasi informasi ini kepada ajudan Ardian dan LMS pada 22 Desember 2021.
Setelah tanggal yang diduga sebagai waktu penyerahan uang, Ardian menerbitkan surat rekomendasi pinjaman PEN Daerah Kolaka Timur. Surat itu bahkan dikabarkan sudah ditandatangani Menteri Tito Karnavian pada 20 September 2021.
KPK lalu menangkap Bupati Andi Merya setelah penyerahan uang itu. Menteri Tito kabarnya segera menggelar rapat mendadak. Rapat memutuskan menarik surat pertimbangan pinjaman PEN Daerah Kolaka Timur dan membatalkannya.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan enggan mengomentari ihwal Ardian dan suap dana pinjaman PEN Kolaka Timur. Saat Tempo mengirim surat permohonan wawancara ke akun WhatsApp-nya, ia hanya membalas dengan gambar jempol disertai ucapan “terima kasih”.
Selain muncul dalam rasuah PEN Daerah, nama Mochamad Ardian Noervianto muncul dalam perkara korupsi lain. Pada Juni 2021, mantan Kepala Dinas Bina Marga Sulawesi Selatan, Jumras, bersaksi di pengadilan untuk dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus 2019.
Jumras bersaksi dalam perkara suap dan gratifikasi proyek infrastruktur yang menyeret mantan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. DAK 2019 merupakan dana untuk pembangunan jalan ruas Palampang-Munte-Botolempangan dan proyek pembangunan jalan ruas Soppeng-Pangkajene-Sidrap. “Saya diperintahkan Pak Ardian membuat proposal permohonannya,” ujar Jumras.
Jumras mengatakan waktu itu Ardian masih menjabat Direktur Fasilitas Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah Kementerian Dalam Negeri. Menurut Jumras, Ardian meminta komisi 7,5 persen dari total nilai DAK Rp 80 miliar. Ardian lalu menjadi Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah pada Juli 2020 pada usia 43 tahun. Namanya menjadi perbincangan karena menjadi pejabat eselon I termuda dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Saat mengurus DAK, Jumras mengaku bolak-balik bertemu Ardian. Dalam suatu pertemuan di Jakarta, Ardian memberi tahu ia sudah menyiapkan DAK untuk Sulawesi Selatan. Jumras mengaku kaget dan menanyakan proses dan asal uang serta mekanisme pencairan DAK tersebut. “Bagaimana saya bisa ambil uang sebesar itu?” kata Jumras.
Jumras tak mengikuti proses pencairan uang karena pengurusannya dialihkan kepada orang kepercayaan Gubernur Nurdin Abdullah. Dua narasumber yang mengetahui dugaan korupsi Nurdin Abdullah mengatakan sang gubernur pernah membicarakan pengurusan PEN Daerah 2020 dan DAK 2019 dengan mereka.
Provinsi Sulawesi Selatan mendapat alokasi penyaluran tahap I pinjaman dana PEN Rp 334,69 miliar pada 16 November 2020. Dalam pembicaraan yang direkam itu tak ada yang menyebut nama Ardian atau pejabat lain. Nurdin Abdullah hanya meminta segala urusan administrasi dibereskan agar dana segera cair.
Kuasa hukum Nurdin, Arman Hanis, mengatakan kliennya tak tahu ihwal permintaan komisi DAK oleh Ardian Noervianto. “Keterangan Jumras berdiri sendiri, tidak dapat dibuktikan,” tuturnya. “Tidak ada pemberian uang itu.”
LINDA TRIANITA, ROSSENO AJI, ROSNIAWATY (KENDARI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo