Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penerbitan surat utang jangka menengah senilai Rp 200 miliar oleh Perum Perikanan Indonesia dituding merugikan negara.
Program investasi perikanan dianggap melenceng dari rencana awal.
KPK turut menjerat mantan Direktur Utama Perum Perindo dalam kasus suap.
SEBAGAI Manajer Perdagangan Strategic Business Unit Fish Trade & Processing (SBU FTP) di Perum Perikanan Indonesia (Perum Perindo), tugas Nursatrio mencari stok ikan nelayan sesuai dengan pesanan konsumen. Awalnya dia tak pernah tahu ada perusahaan pemesan yang menunggak pembayaran. “Kalau ada yang macet, biasanya diberi tahu kepada atasan,” kata Nursatrio di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 23 Juni lalu.
Pernyataan Nursatrio tersebut menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung, Manggala. Dalam sidang untuk tiga terdakwa, yakni mantan Direktur Utama Perum Perindo periode 2016-2017, Syahril Japarin; Direktur PT Kemilau Bintang Timur Lalam Sarlam; dan Direktur PT Global Prima Sentosa Riyanto Utomo. Manggala mencecar Nursatrio dengan pertanyaan mengenai proses order hingga pembayaran oleh mitra perusahaan.
Menurut Nursatrio, ketentuan untuk tiap perusahaan berbeda, tergantung pada kontrak kerja sama. “Ada yang bisa bayar uang muka 2 persen, sisanya bisa dilunasi 20 hari atau sebulan kemudian,” ujarnya. Dia menyebutkan urusan pembayaran tersebut ditangani bagian keuangan.
Ia mendengar PT Kemilau Bintang Timur, PT Global Prima, dan beberapa perusahaan lain sempat menunggak utang. Kepada atasannya, Nursatrio menyarankan agar tak lagi memasok ikan ke perusahaan tersebut. “Atasan saya menyampaikan, itu diurus Pak Iwan Pahlevi,” tuturnya.
Selepas percakapan itu, Nursatrio malah dimutasi ke kantor cabang di Makassar, Sulawesi Selatan. Iwan Pahlevi merupakan pegawai kontrak sejak 2016 dengan jabatan advisor perdagangan perikanan SBU FTP dan direktur operasional kala itu, Risyanto Suanda. Iwan meninggal saat penyidikan berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) Syahril Japarin saat dibawa ke rumah tahanan. Istimewa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Risyanto turut menjadi tersangka dalam kasus ini. Ia menggantikan Syahril dan menjadi Direktur Utama Perum Perindo periode 2017-2019. Sejak Juni 2020, Risyanto mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat, untuk menjalani vonis 4,5 tahun bui dalam perkara suap dan gratifikasi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung, Nur Rachman, menyatakan kasus ini berbeda dengan perkara yang ditangani KPK. “Kami menangani penggunaan uang dalam bisnis Perum Perindo 2016-2019 yang merugikan keuangan negara,” ujar Rachman. Kerugian negara ditaksir Rp 121,4 miliar dan US$ 279.891.
Pengusutan korupsi bermula dari hasil audit terhadap salah satu badan usaha milik negara (BUMN) itu mengenai penggunaan dana hasil penerbitan utang jangka menengah (medium term note/MTN) I seri A dan B. Syahril Japarin beserta jajaran direksi berinisiatif meningkatkan bisnis perusahaan dengan memanfaatkan keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memoratorium penangkapan ikan oleh kapal asing di perairan Indonesia.
Kebijakan itu membuat Kementerian Kelautan mengalihkan pengelolaan sejumlah bisnis yang sedang dan sudah dibangun, seperti unit pengolahan ikan, tempat penyimpanan beku, tambak udang, dan pembibitan (hatchery), kepada Perum Perindo. Dengan berbagai rencana besar itulah Syahril dan jajaran direksi Perum Perindo menerbitkan surat utang jangka menengah Rp 100 miliar dari Bank Negara Indonesia pada Agustus 2017.
Mereka pun mendapat pinjaman dari BNI sebanyak Rp 20 miliar untuk kegiatan operasional pada tahun yang sama. Fasilitas pinjaman ini berjangka waktu 12 bulan dengan bunga 10 persen. Perum Perindo juga mendapat pinjaman pembiayaan modal kerja Rp 25 miliar dari Bank Tabungan Negara pada Oktober 2017 dengan jaminan deposito Rp 6 miliar hasil dari pencairan MTN seri A dari BNI.
Setelah Syahril pensiun, penerbitan surat utang dilanjutkan oleh Risyanto senilai Rp 100 miliar dari BTN Syariah pada 19 Desember 2017 dengan jangka waktu satu tahun dan nisbah (bagi hasil) 9,5 persen. Selain surat utang, Perum Perindo turut mendapatkan Rp 200 miliar dari penyertaan modal negara.
Rencananya, Perum Perindo akan menggunakan dana MTN I seri A ini untuk modal kerja dan investasi sektor perikanan tangkap. Mereka berjanji akan mengoperasikan 12 kapal penangkap ikan. Adapun dana MTN I seri B akan dipakai di sektor budi daya udang vaname di SBU Aquaculture.
Dalam realisasinya, kata jaksa Rachman, modal tersebut tidak digunakan untuk pembelian 12 kapal. “Namun malah untuk gali-tutup lubang utang,” ujar Rachman. Ia menyebutkan mereka dalam menjalankan bisnis sama sekali tidak punya uang, stok ikan, dan nelayan binaan, bahkan hanya memiliki dua kapal.
Tanpa kajian yang jelas, direksi Perum Perindo menggunakan dana MTN I seri A antara lain untuk kegiatan permohonan modal usaha ikan, udang, rumput laut, atau produk ikan lain yang dikelola SBU FTP. Kepada penyidik, Syahril berdalih penggunaan dana MTN tidak sesuai dengan tujuan awal lantaran pembuatan kapal membutuhkan waktu lama.
Sementara itu, pembayaran bunga atas penerbitan dana MTN terus berjalan. Dana dari hasil MTN I seri B juga bernasib serupa karena modal dialihkan ke bidang perdagangan ikan dan budi daya udang tanpa kajian serta perubahan rencana usaha.
Uang ratusan miliar rupiah tersebut juga digunakan untuk membiayai kegiatan operasional unit bisnis strategis Perum Perindo lain. Akibat bisnis jual-beli ikan yang dikelola SBU FTP tak mulus, beberapa mitra tak bisa membayar utang alias macet.
Utang macet tersebut antara lain dari PT Global Prima Santosa senilai Rp 62,01 miliar, PT Kemilau Bintang Timur Rp 40,77 miliar dan US$ 279.891, CV Tano Abadi Bone Rp 28,27 miliar, Pramudji Chandra Rp 17,69 miliar, CV Tiga Bintang Timur Rp 8,3 miliar, dan Tini Kartini Rp 4,05 miliar serta Renyta Purwaningrum Rp 1,59 miliar.
Secara keseluruhan utang macet tersebut terjadi pada 12 mitra individu dan perusahaan sebanyak Rp 169,7 miliar dan US$ 279.891 pada periode 2017-2019. Para mitra bisnis ini mayoritas dibawa oleh Iwan Pahlevi.
Dengan CV Tiga Bintang Timur dalam kerja sama perdagangan udang, misalnya, terjadi piutang macet senilai Rp 8,3 miliar. Perusahaan itu merugi sehingga kesulitan membayar. Perum Perindo menyita aset rumah toko CV Tiga Bintang Timur senilai Rp 1 miliar, juga mobil, serta perlengkapan panen udang senilai Rp 300 juta.
Mereka pun menyita tanah serta bangunan di Semarang, Jawa Tengah. Karena telah ada upaya untuk menyelamatkan uang negara dengan berbagai penyitaan, jaksa tak mengusut CV Tiga Bintang.
Adapun kerja sama bisnis dengan PT Kemilau Bintang Timur bermula pada Juli 2016. Direktur PT Kemilau Bintang Timur Lalam Sarlam dibawa Iwan Pahlevi menemui salah satu direktur Perum Perindo yang ingin belajar pengolahan ikan untuk ekspor. Saat itu disepakati kerja sama jual-beli bahan baku ikan yang belum diolah dengan sistem jual-beli putus hingga akhir 2016.
Di era pimpinan Risyanto Suanda, pola ini diubah lantaran menginginkan target omzet sangat tinggi. Agar cepat memperoleh omzet, PT Kemilau membeli bahan baku langsung dari nelayan di Cirebon, Jawa Tengah; dan Makassar. Namun transaksi ini seolah-olah dilakukan Perum Perindo.
Order yang disampaikan PT Kemilau kepada Perum Perindo tak mencantumkan klausul jatuh tempo pembayaran. Alih-alih menggunakan dokumen, pemesanan dilakukan hanya lewat telepon. PT Kemilau juga tidak menerbitkan jaminan apa pun.
Dalam beberapa kali ekspor ke Amerika Serikat, pasokan ikan fillet milik PT Kemilau Bintang senilai Rp 15-an miliar sempat ditolak karena busuk. Biaya pemusnahan fillet itu oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat malah menghabiskan dana sekitar Rp 4 miliar.
Ada pula biaya lain untuk penambahan tenaga kerja, peralatan operasi produksi, pameran, kunjungan, dan pembukaan jaringan total senilai Rp 25 miliar. Dengan berbagai persoalan itu, PT Kemilau Bintang mempunyai utang macet kepada Perum Perindo sekitar Rp 44 miliar.
Saat di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis, 23 Juni lalu, Lalam Sarlam dan kuasa hukumnya lebih banyak berbicara mengenai perusahaannya yang memang sudah lama berkecimpung dalam bidang ekspor ikan yang ditunjang peralatan memadai. Ihwal kasus dan utangnya, Lalam tak berkomentar. “Saya tidak ada komentar,” ujar Lalam.
Bisnis dengan PT Global Prima juga hampir serupa. Dibawa oleh Iwan Pahlevi pada pertengahan 2017, Direktur PT Global Prima Riyanto Utomo menghadap Bagian Perdagangan Perindo untuk membahas kerja sama jual-beli di bidang perikanan.
Dalam pertemuan itu disepakati Perindo sebagai penyedia ikan dengan uang muka 20 persen. “Saya datang, langsung disodori perjanjian yang sudah ada tanda tangan Risyanto Suanda,” kata Riyanto kepada penyidik.
Dari hampir 300 transaksi, PT Global Prima mulai kesulitan membayar kepada Perum Perindo pada 20 Februari-20 Maret 2018. Selama transaksi 2017-2018, PT Global Prima telah membayar Rp 293 miliar. Untuk transaksi 2018, perusahaan yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur, ini menunggak sekitar Rp 62 miliar untuk pembelian ikan dan kegiatan operasional hingga Juni 2018.
Selain karut-marut bisnis itu, dalam dakwaan jaksa disebutkan Riyanto dan koleganya menyerahkan uang kepada Risyanto di Menteng Huis Jakarta Pusat serta beberapa tempat lain sebanyak total US$ 105.000 atau setara dengan Rp 1,4 miliar dalam kurun September 2017-Januari 2018. Riyanto tidak berkomentar ihwal kasusnya ini saat dijumpai dalam persidangan pada Kamis, 23 Juni lalu. “Tidak ada,” tutur Riyanto.
Kepada penyidik, Risyanto mengaku ia yang mengusulkan perubahan peruntukan dana MTN I seri B di bidang perikanan tangkap dan bisnis lain. “Saya meyakini perubahan tersebut telah sesuai dengan prosedur.”
Pengacara Syahril Japarin, Maqdir Ismail, mengatakan penerbitan MTN I seri A memang dilakukan semasa kliennya menjabat Direktur Utama Perum Perindo. “Sampai akhir masa jabatan Pak Syahril, tidak ada piutang macet,” ujar Maqdir.
Menurut dia, proses permohonan sudah seizin Dewan Pengawas Perum Perikanan Indonesia. Dana tersebut disetujui untuk dipakai sebagai modal usaha dengan merujuk pada klausul pengembangan usaha. “Tidak harus selalu di bidang perikanan tangkap. Bisa untuk kegiatan lain,” kata Maqdir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo