Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HATI Duta Besar Inggris, Richard Humfrey, sedang gundah. Baru saja bertugas di Indonesia, ia sudah ketiban setumpuk pekerjaan rumah. Mula-mula soal Prudential, perusahaan asuransi asal negaranya yang dipailitkan oleh pengadilan niaga. Kini muncul lagi masalah serupa: PT Pangkatan Indonesia, sebuah anak perusahaan Rowe Evans asal Inggris, dibatalkan kontraknya oleh Pengadilan Negeri Medan.
Menghadap situasi seperti itu, Humfrey buru-buru melempar sinyal serius. "Beberapa pengusaha Inggris enggan berinvestasi di Indonesia karena kurang yakin akan sistem peradilan di sini," ujarnya, Rabu pekan silam.
Putusan terhadap perkara PT Pangkatan Indonesia dijatuhkan pada awal Mei lalu. Majelis hakim membatalkan kontrak perusahaan ini dalam pembelian perkebunan PT Sembada Sennah Majum, yang dimiliki Rahmat Shah, seorang pengusaha lokal. Alasannya? Kontrak tersebut dinilai cacat hukum.
Bagi PT Pangkatan, vonis tersebut merupakan pukulan berat. Soalnya, pada akhir November 2002, perusahaan ini telah mengucurkan duit US$ 2,3 juta (sekitar Rp 20,7 miliar) untuk membeli 80 persen saham Rahmat Shah di perkebunan Sennah. Pembelian ini dituangkan dalam sebuah kontrak yang diteken oleh Mathew Adams (Presiden Direktur PT Pangkatan) dan Rahmat Shah. Dalam perjanjian juga dicantumkan kewajiban bagi pemilik lama untuk mengurus perizinan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Ini diperlukan karena Pangkatan merupakan perusahaan asing.
Rahmat Shah sendiri diangkat menjadi anggota dewan komisaris. Ia mendapat gaji US$ 2.500 (sekitar Rp 22 juta) per bulannya. Pangkatan kemudian membabat lahan karet seluas 33.500 hektare milik Sennah dan menggantinya dengan kelapa sawit. "Perumahan untuk karyawan juga diperbaiki dan ditata lebih baik," ujar pengacara Pangkatan, Arsul Sani.
Baru 18 bulan beroperasi, Rahmat Shah, yang pernah mendapat gelar Lord of Ruge dari Inggris, mengajukan gugatan perdata. Dia meminta pengadilan membatalkan kontrak pembelian saham tersebut. Alasannya, saat meneken perjanjian, Mathew Adams tidak memiliki izin kerja yang sah. Jadi, "Dia tak berwenang dan menyalahi aturan," ujar Edy Yunara, pengacara Rahmat.
Soal gaji Rahmat sebagai komisaris yang belakangan distop juga dipermasalahkan. Soalnya, menurut Edy, pembatalan gaji komisaris dilakukan secara sepihak oleh PT Pangkatan.
Berbagai alasan yang diajukan pihak Rahmat segera ditepis oleh PT Pangkatan. Menurut Arsul Sani, kliennya telah memiliki izin kerja. "Hanya, saat itu izin diberikan dalam kapasitasnya sebagai Direktur PT Tolan Tiga Indonesia, yang juga anak perusahaan Rowe Evans," ujarnya. Lagi pula, dalam dokumen perjanjian tidak cuma tertera tanda tangan Mathew, tapi juga Direktur Pangkatan Robert Sihite, yang orang Indonesia.
Masalah gaji komisaris? Kata Arsul, sebenarnya Rahmat sudah mengetahui hal itu.
Dalam sidang yang digelar sejak Oktober tahun lalu, PT Pangkatan juga mengungkapkan bahwa justru Rahmat yang cedera janji. Sebab, ia tidak segera meminta izin dari BKPM sehingga akhirnya pihak manajemen sendiri yang mengurusnya.
Toh, majelis hakim yang dipimpin oleh Sultoni Muhdaly mempunyai pandangan lain. Mereka menyatakan bahwa Mathew dianggap terbukti tidak memiliki izin bekerja saat meneken kontrak. Itu sebabnya perjanjian mesti dibatalkan.
Arsul langsung mengajukan banding atas putusan ini. Pihak Rahmat juga sudah menyiapkan kontra-memori banding. "Kami sudah menemukan data baru," kata Edy Yunara.
Philip A. Fletcherm, Chief Executive Officer Rowe Evans, menyesalkan putusan tersebut. Padahal, "Kami membeli properti tersebut dengan niat baik," ujarnya.
Kalau benar investor asing jadi enggan masuk seperti diisyaratkan oleh Duta Besar Inggris, putusan pengadilan Medan bagai setitik nila bagi perekonomian kita.
Juli Hantoro, Agung Rulianto, Heri Susanto (Koran Tempo), Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo