YUDHA Patrianto, 33 tahun, bekas pegawai PDAM Jakarta, menyodorkan kuitansi asli SPMU (Surat Perintah Membayar Uang) sebesar Rp 6 juta dari PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) untuk insentif hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bila benar, berarti perusahaan negara itu telah menyuap hakim dan panitera PTUN. Yudha sedang berperkara dengan PDAM di PTUN. Perkaranya bermula dari pengaduan konsumen PDAM kepada Biro Pembinaan Karya Abadi (BPKA) dua tahun silam. Dalam laporan itu disebutkan konsumen tadi telah didatangi delapan petugas berseragam PDAM yang memaksa mengganti meteran air dan menodong pembayaran Rp 2 juta. Konsumen tadi memberikan uang muka Rp 250 ribu. Pengaduan ini, oleh BPKA, diteruskan ke PDAM. Alasannya, bukan saja lantaran biaya penggantian yang kelewat besar, tetapi karena penggantian meteran adalah wewenang BPKA sebagai subkontraktor PDAM. Bukan PDAM. Belakangan ada laporan bahwa salah seorang oknum petugas tadi mengenakan tanda pengenal dengan nama Yudha Patrianto. Pada 17 September 1991, Yudha dipecat sebagai staf teknik PDAM. Dalam SK pemecatan itu, Yudha dianggap melanggar disiplin pegawai dengan cara merusak meteran air dan melakukan pungutan liar bersama rekan-rekannya. Namun Yudha tak merasa bersalah. Karena tidak puas, karyawan yang bekerja di PDAM sejak 1978 ini mengajukan gugatan ke PTUN. Kasus Yudha mulai digelar di pengadilan awal Maret 1993. Dalam sidang itu salah satu anggota majelis hakim, Asri, menegur pihak PDAM karena belum membayar lima bulan gaji Yudha. Gaji itu, kata Asri, dihitung mulai dari Yudha mengajukan keberatan ke PTUN, yang memakan waktu lima bulan. Mengetahui ada haknya yang belum diterima, Yudha kembali menginjakkan kakinya di kantor yang sudah dua tahun ditinggalkannya itu. ''Saya perlu uang untuk Lebaran,'' kata Yudha, yang mengaku memperoleh gaji Rp 140.000 sebulan. Tetapi, ketika mengurus ke bagian personalia, ia malah dipingpong. Bolak-balik ia menghadap ke bagian keuangan. Akhirnya, 18 Maret, ia disuruh melihat sendiri di pembukuan, SPMU untuknya sudah dibayar. Pada saat itulah matanya tak sengaja melihat SPMU Rp 6 juta untuk insentif hakim dan panitera di PTUN, yang sudah dibayarkan pada 16 Maret. Diam-diam Yudha mencatat nomor kode SPMU itu. Seminggu kemudian, dengan seragam PDAM, Yudha mendatangi bagian kasir. Ia pura-pura menanyakan pembayaran SPMU untuk PTUN. Menurut kasir, SPMU sudah dibayar. Yudha kemudian minta kasir memperlihatkan kuitansi itu untuk ditunjukkan ke bagian personalia. Begitu kuitansi ada di tangannya, Yudha langsung ngeloyor pergi. Tamatan SMA itu tahu, bukti kuitansi itu bisa jadi kartu truf untuk kasusnya. Kuitansi itu lalu ditunjukkannya ke Lembaga Bantuan Hukum, yang kemudian melaporkannya ke Kejaksaan Agung, dengan tuduhan PDAM telah menyalahgunakan uang negara. Kasus itu sempat menjadi ramai. Paling tidak muncul reaksi dari DPRD dan kalangan hukum. Soalnya, baru kali ini terdengar perusahaan negara dituduh menyuap. Tapi, betulkah begitu? PDAM tak menyangkal mengeluarkan SPMU Rp 6 juta itu. Tetapi, kata Dirut PDAM yang baru, Syamsu Romli, ''Bukan untuk insentif hakim dan panitera PTUN, melainkan untuk anggaran kerja tim Biro Hukum PDAM yang menangani kasus Yudha.'' Jadi, redaksi yang tercantum dalam kuitansi itu salah tulis. Pada kenyataannya, memang belum dibuktikan, apakah penanda tangan kuitansi itu benar-benar pejabat PTUN. Tanda tangan penerima itu hanya paraf yang tidak jelas. Ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara Yudha, Ny. Soepantariah S., juga menyatakan tidak tahu-menahu soal suap itu. ''Bisa saja PDAM bikin macam-macam dengan mengatasnamakan kami,'' ujarnya gusar. Namun ia menegaskan bahwa bukti kuitansi SPMU itu tidak akan mempengaruhi majelis memutuskan perkara. ''Saya, sih, tidak peduli. SPMU itu urusan PDAM,'' katanya lagi. Laporan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini