Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pak Pos Tergiur Bisnis Oli

Sekitar 4.000 karyawan PT Pos Indonesia tertipu iming-iming keuntungan investasi di bisnis oli. Kini mereka pusing diburu penagih utang.

27 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA pegawai Kantor Pos Pusat di Jalan Banda, Bandung, kini selalu memasang sikap waspada jika ada tamu tak dikenal tiba-tiba masuk ruang kerja mere-ka. Dalam sebulan terakhir ini tamu se-macam itu makin kerap menyambangi mereka. Tidak hanya saat istirahat, tapi juga ketika jam kerja. Tamu itu pun tidak berurusan dengan surat-menyurat, tetapi penagih utang yang datang atas nama sejumlah bank di Bandung.

Para debt collector itu datang untuk menarik cicilan utang para karyawan PT Pos yang jumlahnya mencapai miliar-an rupiah. Lantaran datang tanpa diduga, para karyawan merasa terganggu. Bahkan sebagian memilih mangkir kerja. ”Kami merasa terteror,” kata Daud Ma-fu, salah seorang karyawan.

Untuk menghadapi ”teror” pena-gih utang itu, para karyawan kini membentuk sebuah forum. Namanya F-orum Independen Karyawan Pos Indonesia (FIKPI). Menurut Daud, selain untuk mencari jalan penyelesaian dengan pihak bank, wadah ini juga akan berupaya agar duit karyawan pos yang ”lenyap” di PT Cita Hidayat Komunikaputra bisa kembali.

Inilah buntut kepincutnya para karya-wan perusahaan ”kurir negara” itu terhadap iming-iming yang dijanjikan PT Cita Hidayat Komunikaputra. Syahdan, pada 2001, Dedy Hanurawan, di-rektur perusahaan itu, menawarkan bisnis meng-giurkan ke karyawan pos lewat Ten-di Rustendi, Manajer Pemasaran PT Pos Indonesia. Yang ditawarkan Dedy bisnis investasi di bidang oli, jauh sekali dari urusan pos.

Mereka yang berminat tinggal men-cemplungkan sejumlah uang, dan setiap bulan mereka mendapat fee—demikian istilah Dedy. Besarnya 5-8 persen untuk investasi di bawah Rp 1 miliar, dan hingga 10 persen jika di atas Rp 1 miliar. Oh ya, ada bonus lagi yang diberikan Dedy bagi mereka yang menyetor di atas Rp 1 miliar, yakni sebuah mobil senilai Rp 200 juta.

Bisnis ini rupanya mendapat sambutan karyawan PT Pos. Hanya dalam tempo singkat ratusan karyawan PT Pos di Bandung mendaftarkan diri. Tendi sendiri menjadi koordinator karyawan yang berminat dalam bisnis ini. Peminat pun membengkak mencapai sekitar 4.000 karyawan PT Pos–dari level apa pun—yang tersebar hingga Sumatera, dengan total investasi Rp 390 miliar. Semuanya di bawah kendali sekitar 26 koordinator.

Lalu dari mana para karyawan bisa ”menyulap” dirinya sebagai investor? Di sinilah muncul ”dewa penyelamat” bernama Koperasi Karyawan PT Pos. Ko-perasi ini menjadi perantara para karya-wan pos untuk meminjam duit dari sejumlah bank di Bandung, seperti Bank Yudha, Bank Niaga, dan Bank Mandiri. Agar pinjaman bisa membengkak dari semestinya, koperasi bekerja sama dengan Bagian Personalia dan Sumber Daya Manusia PT Pos untuk mendongkrak angka gaji karyawan.

Daud Mafu, contohnya. Karyawan Ba-gian Jaringan yang bergaji Rp 2,5 juta per bulan ini pada Desember 2004 mendapat pinjaman dari Bank Niaga Rp 100 juta dan dari Bank Yudha Rp 75 juta. Semua proses peminjaman Daud diurus koperasi, dan ia tidak terlibat da-lam penandatanganan dokumen apa pun. ”Saya tidak tahu gaji saya diubah menjadi berapa. Saya hanya memberikan surat kuasa kepada ketua koperasi, Enceng Suwarno,” katanya.

Tapi, uang dari bank itu tak pernah dilihat Daud. Koperasi langsung menyetorkan uang tersebut ke PT Cita Hidayat. Daud hanya menerima surat utang dari bank dan bukti penyertaan invetasi dari Cita Hidayat. Sang ketua koperasi, Enceng Suwarno, menyatakan per bulan Daud akan mendapat fee 4 persen. Adapun yang 1 persen untuk pembayaran bunga bank dan fee koperasi. Semua pem-bayaran utang ke bank dilakukan koperasi.

Seperti biasanya, bisnis semacam ini awalnya lancar. Sejumlah karyawan setiap bulan menerima fee seperti yang dijanjikan. Bahkan pada awal-awal ”bisnis” ini merambah PT Pos, banyak karyawan di situ tiba-tiba memiliki mobil baru. ”Tempat parkir sudah seperti tem-pat pameran mobil baru,” kata Ku-narto, salah seorang karyawan PT Pos yang ikut menginvestasikan uangnya se-besar Rp 374 juta.

Belakangan bencana itu tiba. Pada Februari 2005 Dedy menyatakan per-usahaannya rugi lalu beralih ke bisnis pompa bensin dan tidak bisa memenuhi kewajibannya membayar fee. Para karya-wan PT Pos mulai resah dan melapor-kan Dedy ke polisi. Pada September 2005 aparat Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung menangkap lelaki ini dengan tuduhan penipuan. Dari tangannya polisi menyita empat mobil baru dan lima surat izin kepemilikan pompa bensin.

Korban penipuan ”bisnis” money ga-me ala Dedy ini ternyata tak hanya kar-ya-wan PT Pos. Menurut polisi, sekitar 6.800 orang telah menjadi korban Dedy, termasuk sejumlah dosen di Bandung. Total uang yang diraup Dedy sekitar Rp 890 miliar. Dedy sendiri kini akan segera diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan penipuan sertifikat kepemilikan pompa bensin. Adapun kasus bisnis olinya itu, polisi sampai kini masih terus melakukan penyidikan. ”Karena ini melibatkan banyak orang,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polwiltabes Bandung, Ajun Komisaris Besar Polisi Iwan Ibrahim.

Untuk sementara, polisi sudah menetapkan sekitar 29 tersangka untuk kasus investasi bisnis oli Dedy ini, termasuk Tendi Rustendi dan sejumlah karya-wan PT Pos lainnya yang berperan sebagai koordinator. Tapi, kepada Tempo, penga-cara Dedy, Adardam, menyatakan kliennya tidak melakukan penipuan. ”Yang dilakukannya murni bisnis. Buktinya, sampai awal 2005 pembayaran fee itu lancar,” katanya.

Kini yang tinggal menderita memang para karyawan pos yang terjerat utang ke bank. Sejumlah petinggi PT Pos Indonesia juga memilih menghindar jika ditemui wartawan untuk meminta konfirmasi tentang kasus ini. Mantan Direktur Sumber Daya Manusia, Widodo, yang sekarang menjadi staf ahli Direktur Utama PT Pos, misalnya, berkali-kali didatangi Tempo, selalu tak ada di ruang kerjanya. ”Beliau sedang ke luar kota,” ujar seorang stafnya.

Demikian juga Ketua Koperasi Enceng Suwarno dan Tendi Rustendi. Enceng, pensiunan karyawan Bagian Dokumentasi yang ditunjuk sebagai ketua koperasi karyawan PT Pos, bahkan tidak pernah terlihat lagi di kantornya. Ada-pun Tendi sejak 2003 telah meng-ajukan pensiun dini. Rumahnya di kawasan Puri Cipageran, Cimahi, terlihat kosong. ”Sejak tiga bulan lalu mereka pindah entah ke mana,” ujar seorang te-tangganya. Menurut sang tetangga, ke-tika tinggal di situ, setidaknya Tendi memiliki lima mobil mewah.

Kendati melibatkan sejumlah orang pen-ting di PT Pos, Kepala Humas per-usahaan ini, Tenan Priyo Widodo, menyatakan PT Pos tidak terlibat secara institusi dalam kasus ini. ”Tapi, k-alau ada manajer menyalahgunakan wewe-nangnya, mungkin saja,” ujarnya. Karena itu, kata Tenan, satuan pengawas intern PT Pos kini sedang menyelidiki ma-salah ini. ”Jika terjadi penyimpang-an, siapa pun mereka akan dikenai sanksi,” katanya.

Tapi, bagi Daud atau ribuan karyawan PT Pos lain, yang terpenting sekarang tentu saja bagaimana uang mereka bisa kembali dan membayar tagihan dari pihak bank yang terus menghantui itu.

L.R. Baskoro, Rinny Srihartini, Rana Akbari (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus