Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Tohari
DUDUK di kursi putar, Milun terlihat aman sejah-te-ra. Sebagai tokoh partai politik dan kini jadi K-etua DPRD, Milun makin jaya, makin banyak orang mem-bapakannya, terlebih para kader muda. Satu hal yang paling disukai para kader itu; Milun sungguh tidak pe-lit de-ngan mobil dinas terbarunya. Para kader muda sering di-beri kesempatan bergagah-gagah dengan mobil itu untuk ke-pen-tingan partai atau keluyuran seenaknya. Soal uang pun M-ilun longgar sehingga ia makin disukai anak-anak muda.
Sore ini di rumahnya Milun dirubung anak buah dalam si-tuasi tawa-ria. Mereka sedang merayakan kemenangan babak pertama melawan sebuah LSM yang mencurigai ijazah SLTA Milun palsu. Padahal itulah ijazah tertinggi yang dimiliki Bapak Ketua DPRD tadi. Tapi palsu atau tidak, tanpa ijazah itu Milun memang tidak mungkin bisa me-raih kedudukannya sekarang. Dan sore itu, di depan para kader muda, Milun bicara blak-blakan.
”Ijazah saya memang palsu. Lho, tapi uang saya asli! Jadi, mau apa anak-anak LSM yang sok pahlawan itu?” Milun tertawa bangga sampai kursinya hampir berputar. Sarju, kader paling tepercaya, mengacungkan tangan sam-bil mengepal. Mulutnya bersuit keras. Dalban, kader yang hanya tamatan SD, bangkit dan memutar pinggul meniru Inul. Suasana jadi tambah meriah, benar jorjoran, benar-benar mirip pesta kemenangan.
Saya di sana karena saya memang bekerja di perusaha-an bangunan milik Milun. Saya bukan kader partai mana pun. Malah golput karena saya sudah lama kehilangan kepercayaan terhadap semua partai. Meski demikian, saat itu saya sangat terkesan oleh pernyataan Milun. Terang-terangan, tanpa ragu dia mengaku ijazahnya palsu. Meng-apa dia bisa seberani itu? Tak usah berpikir panjang saya bisa menemukan jawabnya karena Milun sendiri yang me-ngatakannya, ”Karena uang saya asli.”
Dalam kaitannya dengan Milun, hubungan antara ijazah palsu dan uang asli menemukan nalarnya pada upaya LSM yang bermaksud memperkarakannya ke pengadil-an. Namun, dengan uangnya yang asli, ternyata Milun bisa mengalahkan LSM pelapor. Dengan uangnya, Milun berhasil membawa para penyelidik ke wilayah perkondisian. ”Dikondisikan” adalah istilah yang umum di kalangan ter-tentu. Istilah ini menunjuk pada semacam ruang tawar-menawar dengan deal agar sebuah penyelidikan berjalan tidak semestinya. Artinya, penyelidikan itu bisa berjalan meliuk-liuk, diulur-ulur, ditunda-tunda, sampai akhirnya dilupakan orang. Dan bila situasi sudah kondusif, bisa dihentikan sama sekali.
Tapi apa hanya karena yang diberikan kepada penye-li-dik uang asli sehingga Milun berani terang-terangan meng-akui ijazahnya palsu?
Saya kira ada sebab lain. Keberanian Milun berte-rus terang juga dilatarbelakangi kenyataan yang ada di ma-sya-rakat. Maksud saya, masyarakat memang lebih meman-dang ijazah sebagai sertifikat pemegang gelar, bukan se-bagai sertifikat prestasi akademik pemiliknya. Yang pen-ting ada ijazah dan gelar. Soal palsu, atau asli-aslian, masyarakat dan pemerintah nyatanya kurang peduli.
Saya punya teman yang dulu masuk jadi pegawai pemda dengan ijazah SLTA. Lima tahun jadi orang pemda, kemudian dia masuk perguruan tinggi swasta yang jaraknya 200 kilometer lebih dari tempat ia bekerja. Hal itu mungkin karena perkuliahan hanya dilaksanakan pada Sabtu sore dan Ahad pagi. Dan belum tiga tahun dia sudah diwisuda dan mendapat gelar S-1. Ijazahnya resmi, maka pangkatnya disesuaikan, tentu saja berikut gaji dan fasilitas lainnya.
Ketika terbit peraturan seorang pegawai bisa naik menjadi kepala bagian bila sudah memiliki ijazah S-2, teman saya itu kuliah jarak jauh lagi. Kali ini dia mengikuti prog-ram studi S-2 di perguruan tinggi swasta yang menjamin semua mahasiswanya lulus asal beres bayar SPP. Lama studi juga bisa dipercepat dengan penambahan jumlah SPP. Tentu saja untuk bayar SPP, teman itu pasti menggunakan uang asli. Demikian, belum berjalan tiga semester teman saya telah lulus dan langsung menyandang gelar MSi. Dan karena dia punya uang banyak dan asli, tiga tahun kemudian ambisinya untuk menjadi kepala bagian jadi kenyataan. Gajinya naik dan mobil dinasnya ganti lebih baru dari jenis yang lebih mahal.
Saya sering melamun tentang teman ini. Dengan ijazah S-1 dan S-2 yang diperolehnya secara mudah itu, apakah kualitas intelektual dan kapabilitasnya benar-benar telah meningkat? Terus terang saya meragukannya. Bagaimana mungkin sarana dan sistem pendidikan tinggi yang serba asal-asalan, dan berorientasi lebih kepada uang, bisa menghasilkan otak sarjana yang sebenarnya. Kelas-kelas jauh yang diselenggarakan sampai ke kota-kota kecamatan tidak didukung oleh perpustakaan yang memadai. Jangankan perpustakaan yang memang harus jadi kekuat-an utama sebuah pendidikan tinggi, kehadiran dosen yang tetap pun sering jadi masalah. Jadi, sangat mun-gkin teman saya yang sesungguhnya belum beranjak dari kuali-tas SLTA menduduki posisi yang terlalu tinggi. Hal ini jelas akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan dan keputusan-keputusannya.
Tapi itulah kenyataan. Masyarakat memang lebih melihat ijazah dan gelar daripada intelektualitas dan kemampuan pemiliknya. Maka, bisa dipastikan kelak pada tahun 2007, ketika para guru SD wajib mempunyai gelar S-1, akan lahir puluhan atau ratusan ribu sarjana pendidikan karbitan. Akan banyak guru SD yang kini baru bergelar AMPd akan mengejar gelar sarjana penuh melalui pendidikan yang ”dijamin lulus asal lunas bayar SPP”. Pernyataan ini tidak untuk mengurangi rasa hormat bagi sedikit guru yang bergelar SPd dan benar-benar bermutu sarjana.
Saya kira, dalam kondisi demikian, yang paling dirugikan adalah para anak didik dan masyarakat umum. Namun sebaliknya bisa menjadi lahan mencari untung besar bagi PTS yang niatnya memang cari uang.
Tiba-tiba lamunan buyar karena saya mendengar Sarju dan Dalban berteriak lagi untuk merayakan kemenangan Milun atas LSM yang menggugat ijazahnya. ”Ijazahku palsu, tapi uangku asli.” Ah, betapa kata-kata ini penuh daya dan makna. Dan nyatanya Milun pun tetap bertengger menjadi Ketua DPRD.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo