Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Syafii Maarif
Filsuf Bertrand Russell dalam sebuah karyanya mengatakan bahwa ”all religions are harmful”, semua agama berbahaya. Tentu filsuf ini melihat bukan dari hakikat agama, melainkan dari pengalaman empirik penganut yang menggunakan imannya untuk membaha-ya-kan orang yang tidak sealiran.
Memang sepanjang sejarah hampir semua agama punya- rapor merah tentang praktek semacam ini. Dalam Islam, misalnya, setelah Perang Shiffin (657 M) antara Ali dan Mu’awiyah, telah muncul tiga firqah umat yang saling berlawanan: suni, syi’i, dan khawarij. Firqah ketiga ini kecewa berat terhadap sikap Ali yang mau berdamai dengan Mu’awiyah dalam perundingan di Dumat al-Jandal, lalu atas nama Tuhan telah menghalalkan darah pemimpin firqah yang lain. Puncaknya, Ali terbunuh, sementara- Mu’awiyah dan juru rundingnya, Amr ibn al-’Ash, selamat. Ketiga firqah itu telah bercucu dan bercicit yang jumlahnya ratusan dengan pemimpinnya yang masing-masing mengibarkan bendera kebenaran.
Memang kita tidak selalu mudah membaca peta iman seseorang. Kesulitan ini menurut hemat saya adalah karena- Al-Quran lebih banyak dijadikan azimat, bukan pedoman hidup yang terang benderang sebagai al-furqan (pembeda antara kebenaran dan kepalsuan). Maka keluh-an rasul bahwa kaumnya telah menelantarkan Al-Quran patut direnungkan kembali agar orang tidak kehilangan kompas dalam bersikap. Berkata rasul: ”Ya Tuhanku, se-sungguhnya kaumku telah menelantarkan Al-Quran ini” (Al-Quran 25:30). Mereka sering malah berpegang kepada cabang bahkan ranting suatu doktrin profetik.
Sejak tragedi Shiffin itu, dunia Islam secara politik dan teologi sudah tidak pernah aman. Masing-masing me-ngaku: kekuatan lain di luar faksinya adalah kepalsuan. Saya tidak paham lagi, di mana semua firqah ini menempatkan Al-Quran yang menegaskan bahwa ”semua orang beriman itu bersaudara” (Al-Quran 49:10).
Dengan penjelasan di atas, kita turun ke bumi Nusantara- yang akhir-akhir ini lagi heboh oleh masalah Ahmadiyah Qadian yang diminta menyatakan sebagai agama tersen-diri, di luar Islam. Sebelum itu telah berlaku tindak kekerasan terhadap mereka di Parung dan sekarang di Lombok dan Makassar. MUI berfatwa bahwa Ahmadiyah adalah sesat, sementara Menteri Agama meminta mereka agar menjadi agama tersendiri.
Kesulitan kita di sini adalah bahwa Ahmadiyah bukan hanya gejala nasional, tetapi mondial. Selama pusatnya di London tetap saja memakai label Islam, selama itu pula orang tidak mungkin memaksa Ahmadiyah Indonesia supaya tidak memakai atribut Islam. Dalam sebuah pertemuan di PP Muhammadiyah Yogyakarta beberapa tahun yang lalu, pimpinan Ahmadiyah Qadian datang untuk berkenalan. Kami menerima sebagai tamu biasa, dan terjadi sedikit dialog. Saya tanyakan mengapa mereka tidak bersedia menjadi makmum dalam salat berjamaah jika tidak diimami golongan mereka. Jawaban yang diberikan ketika itu adalah karena itu sudah menjadi pendirian mereka.
Sikap eksklusif model ini telah menambah kesulitan umat Islam yang lain untuk berdialog dengan mereka. Tetapi tindakan kekerasan dan perusakan terhadap hak milik mereka yang dilakukan sekelompok orang, ini bukan masalah agama lagi, tetapi jelas perbuatan kriminal yang harus diselesaikan di meja hijau. Di sinilah kita lihat aparat kita tidak punya kearifan dan ketegasan dalam menegakkan hukum. Pengikut Ahmadiyah adalah warga negara yang harus dilindungi secara hukum. Adapun teol-ogi mereka yang ”aneh” dengan mempercayai Ghulam Ahmad sebagai nabi tambahan memang menjadi masalah. Tetapi ada sebuah ungkapan perbandingan antara air dan uap dalam Al-Quran. Air adalah lambang kebenaran, sedangkan uap lambang kepalsuan. ”Adapun uap, kata Al-Quran, akan sirna dengan sia-sia.” (Lih. s. 13:17).
Dalam realitas empirik sekarang ini tidak selalu mudah menentukan mana yang air dan mana pula yang uap. Secara teologis, Ahmadiyah jelas bermasalah, tetapi kontribusinya ”membela” Islam secara ilmiah adalah dimensi lain yang harus dicatat juga.
Ada isyarat dari Iqbal (1877-1938) bahwa kelahiran Ahmadiyah yang pernah mengkafirkan seluruh dunia Islam berkaitan dengan penetrasi imperialisme Inggris di India yang mendapat pembenaran teologis dari ”nabi India ini”, tetapi yang mendapat perlawanan dari pengikut nabi Arabia. Karena itu, akar sejarah Ahmadiyah harus dikaji secara dalam, obyektif, dan jujur, lalu baru disimpulkan siapa dan apa Ghulam Ahmad itu. Fatwa sesat, di luar Islam, dan penghancuran tidak akan banyak menolong. Itu hanya akan melahirkan disharmoni lintas iman, padahal semua agama mengajarkan hidup harmoni sesama manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo