Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bambang Hero Saharjo dipolisikan oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persaudaraan Pemuda Tempatan (Perpat) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) atas perhitungan kerugian negara dalam kasus korupsi timah. Salah satu hal yang dipersoalkan oleh Perpat adalah karena guru besar IPB itu mengambil sampel dari foto satelit melalui aplikasi gratisan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Hero menegaskan, tak ada persoalan terkait itu. Baik menggunakan aplikasi gratisan ataupun berbayar, menurut dia, yang penting adalah data tersebut muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dibilang lagi itu gratisan, memang ada masalah apa? Dengan itu saja kami bisa bongkar, apalagi lebih baik dari itu. Tidak ada persoalan, yang penting data itu muncul," ujarnya kepada Tempo, pada Sabtu, 11 Januari 2025.
Jika ormas Perpat tak setuju dengan hasil perhitungannya dan punya perhitungan lain, Bambang Hero meminta untuk ditunjukkan di persidangan. Nantinya, kata dia, majelis hakim akan memutuskan data mana yang benar.
"Sekarang seperti apa perhitungan mereka itu? Kemudian, nanti pihak majelis hakim lah yang memutuskan yang mana," kata Bambang Hero.
Sebelumnya, DPD Perpat Provinsi Kepulauan Babel melaporkan Bambang Hero Saharjo ke polisi atas dugaan kejanggalan hasil perhitungan kerugian negara dari sektor lingkungan, yang jadi dasar penanganan korupsi timah. Laporan tersebut disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Babel, pada Rabu, 8 Januari 2024.
Ketua Perpat Babel, Andi Kusuma, mengatakan ada beberapa alasan dia membuat laporan polisi. Satu di antaranya adalah karena Bambang Hero mengambil sampel hanya dari foto satelit melalui aplikasi gratisan. Perpat mempertanyakan akurasi data tersebut.
"Kami minta buktikan apa dasar audit investigasi, status legal dan aliran dana keuangannya. Berapa banyak pohon dan lahan yang dirusak, di mana lokasi dan siapa pelakunya. Harus jelas disampaikan," ujar dia.
Bila benar kerugian akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp 271 triliun, kata Andi, Perpat Bangka Belitung ingin uang itu dikembalikan ke daerah agar bisa dinikmati masyarakat setempat. "Tapi untuk melihat kebenaran harus dibuktikan, dalam hal putusan saja jelas-jelas tidak mencapai Rp 271 triliun," katanya.
Servio Maranda berkontribusi dalam penulisan artikel ini.