ANWAR Koto, 40, anggota Pengamanan Pertamina Pangkalanbrandan, Sumatera Utara, dibantai. Sejumlah tertuduh ditahan. Dan Senin pekan lalu sidang pertama pembunuhan itu dibuka. Tapi, sidang Pengadilan Negeri Binjai di Pangkalanbrandan itu belum mengungkapkan perkara sebenarnya. Tampaknya, kasus pembunuhan Anwar Koto alias Ten Syahruddin justru tambah rumit. Para terdakwa menyangkal semua tuduhan Jaksa Pontas Pasaribu. Mereka bersedia membubuhkan tanda tangan pada berita acara pemeriksaan sebelumnya karena tidak tahan disiksa. Kisah pembantaian yang disusun kembali oleh Pontas Pasaribu memang cukup mengerikan. Konon, pada 9 Februari 1982, tengah malam, terdakwa Saibun, Asrul Alwi dan Fachruddin menunggu sang korban di suatu tempat gelap. Ketika tampak nyala lampu sepeda motor dari jauh, ketiga penunggu bersiap. Fachruddin lantas memanggil korban, untuk meyakinkan bahwa itu memang Anwar Koto. Benar, orang ini yang dimaksudkan, karena sepeda motor lantas berhenti. Dengan cepat Fachruddin lantas mengayunkan sebilah pedang yang sudah disiapkan ke rahang dan leher korban. Diserang mendadak dalam gelap, Anwar, meski bekas sersan Kopassandha, dan dikenal sebagai jagoan kempo, langsung terjungkal. Dengan cepat pula dua penunggu yang lain mencincang korban. Lalu, korban yang sekujur tubuhnya dikoyak-koyak pedang itu diseret, dibuang ke parit di Jalan Semboja, masih daerah Pertamina Pangkalanbrandan. Tidak dijelaskan oleh Jaksa mengapa ketiga terdakwa tidak mencoba melenyapkan mayat korbannya. Bahkan mayat itu pun ditinggalkan masih di wilayah Pertamina. Tapi mengapa Anwar, bapak tujuh anak lima dari istri prtama, dua dari istri kedua dibunuh? Menurut tuduhan, anggota Pertamina ini banyak tahu tentang penyelewengan PT Santa, kontraktor Pertamina. Broto Suparjan, 41, direktur PT itu, konon resah karenanya. Lantas dengan imbalan Rp 10 juta ia meminta beberapa orang untuk melenyapkan Anwar. Ia menghubungi Saibun dan Mardan Amin, dua anggota Pengamanan Pertamina, Hasten Zaid, kontraktor Pertamina yang lain, dan Soemantri, karyawan Pertamina. Mereka berlima merencanakan bagaimana si "banyak tahu" harus dilenyapkan. Maka, diputuskanlah bahwa para pelaksana adalah Asrul Alwi, seorang anggota Pengamanan juga, dan Fachruddin itu, seorang buruh kontraktor. Mereka bertujuh itulah yang pekan lalu disidangkan, minus Saibun, yang pada Juli 1983 bunuh diri dengan pistol. Kasus bunuh dirinya Saibun ini kini pun sedang diusut. Di Pangkalanbrandan, 82 km dari Medan, sidang ini mendapat perhatian luar biasa. Ruang sidang yang mengambil tempat di Sanggar Kegiatan Belajar milik Kantor Departemen P & K, persis di sebelah kantor Kejaksaan Pangkalanbrandan, dipadati pengunjung. Di depan sidang, muncul enam pengacara beken dari Medan sebagai pembela. Mereka, antara lain Prof. Ani Abbas Manopo, Rusli Sagala, Alifuddin (yang dua ini dari LBH Medan), dan Saiful Jalil. Menurut para pembela, selain terdakwa Soemantri, yang lain sempat menginap di Rumah Tahanan Militer. Soal ini menyebabkan Ani Abbas Manopo yang membela Mardan Amin mengirimkan surat kepada Kowilhan I di Medan, menanyakan kebenaran soal itu. "Tapi, hingga sekarang surat saya tak berjawab," kata pengacara itu kepada TEMPO. Konon, ikhwal ditahannya para terdakwa di Rumah Tahanan Militer sudah jadi rahasia umum di Pangkalanbrandan. Mungkin inilah sidang pengadilan pertama dl Pangkalanbrandan yang sangat ramai. Bahkan, ketika terdakwa Asrul dan Fachruddin - yang dituduh melaksanakan pembunuhan - mengajukan alibinya, pengunjung bertepuk tangan. "Malam itu saya sedang nonton televisi di rumah," kata Asrul menjawab pertanyaan Hakim Ketua, R.P.S. Sitompul. Tapi, "Karena saya ditendang, dipukuli, dilempari kursi, jari kaki dihimpit kaki meja, malah saya ditelanjangi," tuturnya dalam sidang, "daripada mati, saya teken berita acara." Terdakwa yang lain, Hassen Zaid, kepada Hakim ketua menyatakan di malam pembunuhan itu ia sedang main joker dengan seorang pegawai Pertamina, Aritonang. Sidang perkara ini tampaknya masih panjang, sebelum kasus sebenarnya bisa diungkapkan. Dalam tuduhan Jaksa, disinggung sedikit hal kebakaran sumur minyak di Paluh Tabuhan Timur, September 1981. Menurut Jaksa Pontas Pasaribu, kebakaran yang baru padam dua bulan kemudian itu (TEMPO, 10 Oktober 1981, Daerah) diduga mengandung semacam sabotase yang melibatkan Broto dan "orang dalam". Si Anggota Pengamanan Pertamina Anwar Koto, konon, mencium adanya ketidakberesan ini. Kebakaran itu sendiri memang dahsyat. Desa Lubuk Kertang, desa terdekat dengan lokasi sumur minyak yang terbakar, ditinggalkan sebagian besar penduduknya karena panas api. Sebuah menara pengeboran setinggi 27 meter roboh. Sekitar 120 hektar sawah terpanggang. Tapi apa keuntungan Broto dengan terbakarnya sumur minyak itu tak diungkapkan Jaksa. Menurut sumber TEMPO, sesudah kebakaran itu Broto, kontraktor Pertamina sejak 1978, memang tak diundang dalam tender lagi. Bahkan proyek yang sedang dikerjakan PT Santa waktu itu mendadak dihentikan. Broto, menurut sumber itu pula, sempat menanyakan ikhwal penghentian proyek itu. Dan jawaban yang diperolehnya langsung menuduh, karena dia terlibat pembunuhan. Jadi? Kemungkinan besar ada kontraktor lain yang ingin mengusir Broto dari Pertamina, tutur sumber itu pula. Memang, analisa itu masih harus dibuktikan kebenarannya sebagaimana tuduhan Jaksa terhadap keenam terdakwa kini, yang masih perlu didukung bukti-bukti kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini