WILLIAM Tanujaya terperangah ketika Jaksa menuduhnya terlibat penyelundupan. "Saya hanya sekadar membeli," ujarnya, lirih. Senin pekan lalu, tiga dari sepuluh tersangka pelaku "penyelundupan Kemayoran" disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, secara terpisah. Iwan Idris dituduh menyembunyikan barang selundupan. Lim Young Wan - yang juga dipanggil dengan nama Gunawan - dituduh mendapat upah sebagai perantara. Dan William didakwa sebagai penadah: membeli dan menjual kembali barang selundupan. William, menurut Jaksa Basrief Arif, telah membeli 68 handy talky (HT) merk ICOM dan empat pesawat pemancar high frequency (HF) merk YAISU - yang semuanya barang selundupan. Masing-masing dengan harga Rp 110.000 dan Rp 725.000. Dari barang yang dibeli itu, William berhasil menjual lima HT Rp 125.000 per buah. Sedangkan pemancar HF terjual tiga buah, dengan harga masing-masing Rp 850.000. Kepada TEMPO, William mengakui, dia mem6eli semua barang itu dari Budi Mulyawan - salah seorang tersangka. Namun, dia menyangkal terlibat penyelundupan. "Saya benar-benar tidak tahu apa-apa," katanya, dan menganggap dirinya hanya pembeli biasa. Amin Arjoso, pembelanya, juga berang. Menurut dia, kasus kliennya sangat sepele. "Tidak ada sangkut pautnya dengan penyelundupan," ujarnya. Dia heran kenapa penyelundup yang sebenarnya tidak terjangkau. Pembela ini menilai, orang-orang yang diajukan ke persidangan - termasuk Wilham - hanya sekadar pelaksana. Djerman Hamid, Direktur Utama PT Multi Episode, mengawali kisah penyelundupan dengan menyewa pesawat Fokker F-27 milik Sempati Air Transport November tahun lalu. Dengan sewa Rp 1,5 juta per jam, direktur itu terbang dari Singapura ke Jakarta. Dengan dalih mengangkut piranti komputer milik PT Nurtanio yang harus dijaga dalam suhu rendah, dia minta agar pesawat terbang malam. Sempati menyanggupi. Fokker Natalus terbang tiga malam berturut-turut, dan selalu mendarat di Kemayoran sekitar pukul 02.00 (TEMPO, 17 Desember 1983). Di tempat parkirnya, muatan diturunkan, dipindahkan ke dua truk yang telah menanti. Dengan kawalan Letnan Dua Polisi Soekarno H.S., Komandan Unit Pengamanan Khusus Pelud Kemayoran, dengan mudah truk meninggalkan kompleks Kemayoran, walau sempat berpapasan dengan petugas keamanan lain. Barang pun dibawa ke tempat penyimpanan. Ternyata, tak ada barang milik PT Nurtanio. Dan soal ini sudah diberitahukan oleh Djerman Hamid kepada Soekarno H.S. Mula-mula, begitu terungkap dalam sidang pekan lalu, Soekarno tampaknya ingin menolak permintaan Djerman untuk "mengamankan" muatan pesawat yang dicarter Djerman itu. Tapi, setelah Djerman menawarkan, Soekarno boleh menitipkan barang yang lain, komandan ini setuju. Lagi pula, Djerman sudah menjanjikan, perkara surat pabean akan dibereskan oleh pegawai Bea Cukai, kenalan Djerman. Singkat kata, Soekarno "menjual" jatah muatan barang kepada Budi Mulyawan. Yang terakhir ini, kebetulan, memang sudah lama mengalami kesulitan mengangkut pesanan Iwan Idris - seorang Pedagang di Glodok Plaza, Jakarta Barat - dari Singapura ke Jakarta. Walhasil, dengan Natalus itulah barang-barang milik Djerman dan Budi lolos dari Bea Cukai Kemayoran dengan mulus. Adapun Gunawan, sebenarnya, hanya berperanan menghubungkan Budi dan Iwan itu. Ia mengaku hanya menerima komisi Rp 220.000. Toh, Gunawan tak luput menjadi tertuduh dalam kasus penyelundupan ini. Dan Budi? Pekan lalu orang ini masih berperan sebagai saksi. Sebagaimana dikatakan salah seoran pembela, sidang pekan lalu hanyalah awal dari serentetan sidang yan lebih penting. Misalnya, belum terungkapkan benar bagaimana Djerman Hamid menerima pesanan mengangkut barang-barang milik PT Nurtanio, kemudian menyatakan rencana itu dibatalkan. Lalu, bagaimana dengan gampang barang yang lain masuk tubuh pesawat yang dicarter, mulus sampai keluar dari Pelud Kemayoran. Sementara itu, dalam sidang pekan lalu, lebih banyak berlangsung lempar tanggungjawab. Saksi Budi Mulyawan, misalnya, mengaku tak tahu-menahu prosedur impor. "Saya hanya menerima barangnya di uar Kemayoran," katanya. Saksi Soekarno pun hanya mengaku melakukan pengamanan barang. Urusan pabean sudah diselesaikan pegawai Bea Cukai. Bahkan, saksi Djerman Hamid menyatakan, selama tiga malam pesawat yang dicarternya mendarat di Kemayoran, ia sudah merasa menyerahkan surat-surat yang diperlukan. Sidang memang baru menyinggung barang-6arang titipan Soekarno, milik Budi dan Iwan, yang terhitung tidak banyak. Antara lain lima kas komputer kecil, lima set printer Epson EK-80, 14 pita printer kecil, dan 23 pita printer besar. Selain barangbarang erektronik yang sudah dibeli oleh terdakwa William Tanujaya. Barang yang lain, misalnya titipan terdakwa Ginting - salah seorang terdakwa yang belum muncul dalam sidang - belum disinggung. Agak berbeda dengan titipan Budi, menurut pengacara Ginting, kliennya sebenarnya sudah membayar bea masuk. Berapa? Ginting yang memasukkan tekstil satu ton, menurut pengacara itu pula, telah membayar US$ 55 per kg, plus bea angkutan US$ 10 per kg juga. Tapi, memang, Ginting tak membayarkan uang itu kepada pemerintah. Ia membayarkannya kepada Djerman Hamid. Ada dugaan, baru sesudah terkumpul di tangan Djerman, uang itu dibagi-bagi, tutur Wairo. Dibagikan kepada siapa saja, itu yang tak disebutkan oleh pengacara itu. Adapun barang-barang atas nama Djerman Hamid - dari kaus oblong hingga komponen komputer yang memenuhi pesawat belum disinggung sama sekali. Juga, soal bubuk putih, yang diduga narkotik, yang disebut-sebut Djerman Hamid dalam kesaksiannya, belum ditanyakan, baik oleh hakim maupun jaksa: Sidang Kemayoran masih panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini