MAJELIS Ulama Indoneia mengeluarkan peringatan tentang Syiah. Lewat salah satu rekomendasinya, dari keputusan Rapat Kerja Nssional MUI di Jakarta pekan lalu, para ulama itu rupanya menganggap perlu menunjukkan beberapa perbedaan pokok antara Syiah dan mazhab yang dianut muslimin Indonesia, yakni Ahlus Sunnah wal-Jama'ah alias Suni. Pertama, yang menyangkut sumber ajaran, yakni hadis. Kita, kaum Suni, yang sering dikatakan mencakup 90% jumlah muslimin dunia, bersikap terbuka dalam memilih sumber hadis. Sebaliknya kalangan Syiah. "Mereka menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait," seperti kata keputusan itu. Ahlul Bait (Penghuni Rumah) adalah keluarga Nabi, alias keturunan Beliau lewat Saidina Ali, menantu Nabi Praktis kaum Syiah hanya mau memakai hadis bila ia datang dari kalangan para imam keturunan Ali. Imam itu pun, di lingkungan mereka punya pengertian khusus. Mereka di anggap maksum alia suci, tak bisa berdosa Kaum Suni menolak status seperti itu. Kaum Suni juga menolak keharusan keikutsertaan imam menurut pengertian Syiah - dalam upaya ijmak. Ijmak adalah persepakatan di antara para ulama terpandang, dan ini oleh sebagian muslimin Suni. Juga dipandang sebagai sumber hukum di samping Alquran dan Sunah (Hadis). Khususnya ijmak di antara para ulama besar klasik, seperti para penegak mazhab fiqh, hukum Islam, atau para ulama dari tingkat di bawahnya. Kaum Syiah menolak ijmak mereka itu karena ketidaksertaan "imam" tadi. Juga, dalam masalah pemerintahan, ada perbedaan. Syiah menganggap, bab pemerintahan itu termasuk rukun (komponen) agama. Sedangkan kita, seperti ditulis dalam keputusan, memandangnya "dari segi kemaslahatan umum". Sudah tentu kemaslahatan alias kepentingan umum itu tidak bisa dilepaskan dari agama. Tetapi bukan rukun. Orang, tentunya, tak akan menjadi kafir atau dianggap membangkang agama hanya karena bab pemerintahan. Perbedaan terakhir, yang diingatkan, adalah mengenai khulafa-ur rasyidin. Ini adalah istilah bagi keempat orang khalifah pertama, pengganti Nabi sebagai pemimpin umat bukan sebagai pengajar agama. Mereka memang para tokoh sejarah, tapi tak urung mereka juga menempati kedudukan tertentu sebagai figur-figur keagamaan, karena adanya hadis Nabi seperti "Ambillah tradisiku dan tradisi para khulafa rasyidin yang terbimbing." Di kalangan Syii berbeda. Orang Syiah "pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu bakar ash-Shiddiq, Umar ibnulKhattab dan Usman bin Affan," seperti ditulis rekomendasi ini. Hanya Ali, lain tidak. Siapa yang membaca buku-buku mereka (yang di Indonesia sangat sedikit) akan tahu betapa mereka siap dengan berbagai kecaman kepada tiga yang lain itu. Dan, setelah menunjukkan lima hal yang disebut sebagai "perbedaan pokok" itu, MUI kemudian mengimbau umat di Indonesia "meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran Syiah." Tiba-tiba terdengar seram. Habis, belum pernah terdengar imbauan seperti itu dari negeri Islam yang mana pun. "Saya yakin, di Indonesia tidak ada Islam Syiah," kata A. Mu'in Umar, M.A., Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Begitu juga kata Dr. M. Chatib Quzwain, Kepala Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Yaitu kalau ukurannya adalah kelima perbedaan tadi. "Dulu, waktu pertama kali Islam masuk ke Indonesia, memang ada kaum Syiah. Tapi kemudian tergeser oleh Ahlus Sunah," kata Datuk Palimo Rayo, Ketua Majelis Ulama Sumatera Barat. Datuk lalu menyebut upacara mengarak tabut di Pariaman, Sumatera Barat, yang memang diketahui sebagai sisa ritus model Syiah, sebagai salah satu contoh. Tabut itu terutama terdiri dari patung buraq (binatang surgawi) raksasa, tiruan dari yang dulu diturunkan oleh malaikat untuk menjemput Saidina Husain bin Ali sehabis dibunuh musuh politiknya, Yazid bin Mu'awiah, dengan keji. Begitulah dipercayai. "Tapi bukan berarti yang mengaraknya sekarang ini orang Syiah. Sekarang tabut itu hanya tontonan," kata Datuk, yang juga hadir dalam sidang di Jakarta ini. Jadi, mengapa MUI merasa perlu mengingatkan orang tentang Syiah? "Karena adanya pertanyaan dari umat," jawab K.H. E.Z. Muttaqien, ketua MUI. Tapi orang juga boleh mengingat pidato pengarahan Menteri Agama, dalam sidang yang dihadiri sekitar 150 ulama itu. Di situ Menteri menyatakan, ia merasakan adanya "perkembangan perhatian" di Indonesia terhadap Syiah, yang disebutnya sebagai "satu kelompok atau suatu negara yang . . . harus kita akui berusaha mengekspor revolusi, termasuk ke Indonesia." Memang orang boleh teringat satu dua kasus yang berhubungan dengan "semangat Iran". Antara lain karena adanya kedutaan di Jakarta yang diketahui menerbitkan majalah "yang mengandung propaganda revolusi", dengan "penyebaran secara gratis terutama dilakukan oleh simpatisan orang-orang Indonesia" - seperti dikatakan oleh Menko Polkam Surono, yang juga memberikan pidato. Yang dimaksudkan tentunya Iran. Sebetapa jauh sepak terjang itu berpengaruh pada kepercayaan, hal yang jauh lebih berat untuk berubah, memang masih harus dikaji. Tapi, yah, ada baiknya juga. Bisa saja diperkirakan memang, adanya angota pengajian di sebuah masjid yang bertanya: "Apa sih Syiah itu, Kiai?" Nah, MUI mempermudah beliau-beliau itu menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini