Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rain Dogs Pemain: Kuan Choon Wai, Liu Wai Hung DOP: Teoh Gay Hian Editor: Liao Ching Sung, Ku Hsiao Yun, Liew Seng Tat Sutradara: Ho Yuhang Produser: Ho Yuhang, Lorna Tee
Seekor anjing dengan indra penciuman yang hilang karena tersapu hujan. Tanpa penciuman, si anjing dikutuk untuk selalu sendiri. Perumpamaan inilah yang diolah oleh Ho Yuhang dalam Rain Dogs.
Tokoh utamanya, Tung (Kuan Choon Wai), adalah ”rain dog” itu. Ia beranjak dewasa dan harus menghadapi pilihan-pilihan, sementara jalan hidup tampaknya tidak memberi petunjuk apa-apa. Tung mencoba mengadu nasib di kota besar Kuala Lumpur, tapi ia langsung trauma. Ia dirampok di kamar hotel. Belum lagi kakaknya yang jadi begundal jalanan selalu berulah.
Tung memilih pulang kampung. Sebelum pulang, lagi-lagi dia kehilangan uang. Saat tiba di rumah, ibunya punya kekasih baru. Tung merasa ditinggalkan sendiri, apalagi saat kakaknya tewas. Dan ibunya selalu lebih memilih membela sang kekasih daripada anak sendiri.
Rain Dogs menjadi film dengan cara bertutur yang kuat. Ho Yuhang, sutradara kelahiran Petaling Jaya, Malaysia, pada 1971 ini mencoba memotret kehidupan masyarakat miskin Malaysia di daerah perbatasan dengan Thailand. Hal yang juga jarang tersentuh oleh film Malaysia.
Pada umumnya, potret kemiskinan di film-film selalu tentang masalah duit dan bagaimana mengatasinya. Rain Dogs tak melulu menyentuh soal uang, tapi juga orang-orang miskin yang mengalami masalah kesepian. Tung, misalnya, ingin jatuh cinta dan mencoba mendekati gadis di desanya. Lalu ibu Tung yang selalu merasa kesepian juga mencoba mencari pria dambaan.
Before We Fall In Love Again Pemain: Amy Len, Pete Teo DOP: Gay Hian Teoh & James Lee Editor: J. Ishmael Sutradara: James Lee Produser: Tan Chui Mui
Film hitam-putih ini adalah film yang sunyi. Tak banyak dialog berarti, tapi aura yang disemburkan lewat cerita dan plotnya membuat Before We Fall in Love Again punya daya tarik yang magis. Before mengajak penonton untuk bertanya pada diri sendiri, apa jadinya kalau orang terkasih–entah itu istri atau suami—menghilang tanpa jejak, tanpa pesan?
Seorang pria, Chang, atas nasihat bosnya berhenti bekerja. Sebabnya, Chang jadi pendiam sejak istrinya, Ling Yue, hilang sejak sebulan silam. Chang memutuskan untuk berlibur ke Praha, tempat yang ingin dikunjungi sang istri sebelum menghilang. Sebelum berangkat, Chang kedatangan tamu, Tong, yang mengaku sebagai selingkuhan Ling Yue.
Pertemuan dua pria inilah yang menjadi inti kisah Before. Adegan-adegan kilas balik muncul, antara kenangan Chang dan ingatan Tong tentang wanita yang sama, mencoba memahami siapa Ling Yue dan menganalisis apa yang salah. Selain adegan kilas balik, sepanjang film, dua lelaki ini diperlihatkan terus bersama, saling diam di sebuah meja, saling kikuk di sebuah kamar hotel, dan saling terpaku saat menemui lelaki lain lagi dalam hidup Ling Yue.
Before disutradarai oleh James Lee, kelahiran Ipoh, Malaysia, pada 1973. Lee adalah seorang desainer grafis yang memulai debutnya sebagai sutradara teater sebelum akhirnya tertarik dengan pembuatan film. Lee mulai membuat film sejak 2001, dengan film berjudul Snipers, lalu Ah Beng Returns. Room To Let, film yang ia buat pada 2002, membuat nama Lee mulai diperhitungkan di festival internasional.
Berdasarkan pengalaman di teater itulah Lee merekam film-filmnya dalam suasana teatrikal. Latar film dan frame kamera diatur persis seperti frame panggung. Ini membuat Before secara visual terlihat elegan dan manis. Kisah cinta segi tiga yang klasik itu pun tampil istimewa.
Gubra (Anxiety) Pemain: Sharifah Amani Yahya, Adlin Aman Ramlie DOP: Keong Low Editor: Affandi Jamaluddin Sutradara: Yasmin Ahmad Produser: Wan Shahidi Wan Abdullah
Seperti Sepet, film Yasmin Ahmad pada 2004, Gubra juga menawarkan guyonan sekaligus sentilan terhadap kehidupan sosial masyarakat di Malaysia. Ada dua kisah dalam film ini. Kisah pertama tentang Orked, tokoh utama di film Sepet yang sudah menikah dengan pria yang lebih tua. Saat itulah ayahnya mengalami stroke dan harus diangkut ke rumah sakit. Di rumah sakit ini, Orked bertemu dengan Alan, kakak dari cinta pertamanya di film Sepet. Pertemuan ini membuat Orked terkenang kembali dengan Jason, sang cinta pertama. Di saat yang sama, Orked juga dihadapkan pada masalahnya yang lain.
Lalu kedua adalah kisah keluarga seorang imam, Pak Bilal dan istrinya yang salehah. Mereka hidup berdampingan bahkan saling membantu dengan tetangga mereka yang kebetulan bekerja sebagai pelacur. Tak perlu mencari benang merah antara kedua kisah ini, karena memang keduanya tak dimaksudkan untuk bertemu di satu titik. Kedua kisah saling berdampingan sampai film berakhir.
Gubra, seperti juga Sepet, masih berusaha menampilkan gambaran ideal tentang kerukunan hidup meski berbeda ras juga beda bahasa. Berbagai bahasa mengalir tanpa canggung dari tokoh-tokohnya. Campur aduk. Yasmin berusaha betul untuk memotret multikultur di negerinya.
Secara keseluruhan, Gubra ditata dengan rapi, baik dari segi struktur cerita maupun suntingan gambar. Sayangnya, di beberapa bagian, idealisme yang ditawarkan oleh Yasmin terasa mengada-ada. Mau tidak mau, kita terpaksa membandingkannya dengan Sepet yang laris.
Sepet dengan berani mempertemukan dua budaya Cina-Melayu yang selama ini tak pernah disentuh sineas Malaysia. Yasmin menyuguhkan Sepet dengan sederhana tapi menyentuh tanpa perlu mendramatisasi. Gubra adalah karya keempat lulusan psikologi dari British University dan telah 25 tahun bergelut di film-film iklan itu.
Love Conquers All Pemain: Coral Ong Li Whei, Stephen Chuah DOP: James Lee Editor: Ho Yuhang Sutradara: Tan Chui Mui Produser: Amir Muhammad
Mereka bertemu tak sengaja di gardu telepon. Ah Peng (Coral Ong Li Whei) saat itu sedang menelepon pacarnya di kampung. John (Stephen Chuah) yang tidak ganteng ada di sana. John terus menunjukkan diri bahwa ia mencintai Ah Peng. Gadis Cina asal Penang yang sebetulnya datang ke Kuala Lumpur untuk membantu di warung makan tantenya itu akhirnya luluh juga.
Cerita klasik, memang. Dengan kamera digital 3CCD Sony, Tan Chui Mui mencoba menuntun penonton untuk mengikuti jalan hidup Ah Peng selanjutnya. Mudah ditebak. Penonton tak perlu berpikir hal-hal rumit. Chi Mui memang menghindari hal rumit. ”Ini cerita sederhana. Kalau dibuat rumit malah terlihat mengada-ada,” kata Chui Mui.
Di film, Mui juga memberi sejumlah petunjuk. Percakapan Ah Peng dengan sepupu kecilnya, Mei, misalnya. ”Bagaimana kalau dia tidak seperti yang kamu bayangkan? Bagaimana kalau dia ternyata hanya menipumu?” tanya Ah Peng kepada Mei yang baru berumur 12 tahun dan punya penggemar gelap yang sering mengiriminya surat kaleng. “Tapi kata-katanya begitu manis dan saya jatuh cinta. Nggak papalah,” kata Mei. Naif, memang.
Mui terus menuntun penonton untuk memahami dan membandingkan kenaifan Mei dengan Ah Peng. Penonton gemas. Apalagi, Mui dengan tanpa aba-aba langsung memberikan jawaban di tengah film. Penonton tak punya pilihan selain berharap. “Setiap penonton, saya yakin, akan pulang dengan berpikir betapa naifnya kita saat sedang jatuh cinta,” begitu komentar Isabelle Verhelt, seorang siswi yang menonton film ini.
Film ini nyaris tanpa musik. Musik hanya ditempatkan menjelang akhir film. Itu pun semacam anthem dari angkatan bersenjata Malaysia. “Saya bahkan tidak berencana memberi musik. Hanya saja, saat saya melihatnya di layar lebar, rasanya memang perlu ada musik yang memberi semangat,” kata Mui.
Asmayani Kusrini (Rotterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo