Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Desa adat di Bali mulai berubah setelah terbit Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.
Peraturan itu mewajibkan desa adat membuat ketentuan hukum, yaitu awig-awig.
Fungsi pecalang juga berubah seiring ada awig-awig.
BEBERAPA dekade terakhir, berbagai perubahan terjadi dalam kehidupan masyarakat desa adat di Bali. Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet salah satu orang yang menyaksikan perubahan tersebut. Ia sudah menjadi pengurus di pasikian atau persatuan desa adat, yang dulu bernama Majelis Pembina Lembaga Adat atau MPLA, di era Gubernur Bali 1998-2008, Dewa Made Beratha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasikian ini kemudian berganti nama menjadi Majelis Utama Desa Pakraman yang tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Terakhir, namanya berubah menjadi Majelis Desa Adat (MDA) lewat Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Pada tahun itulah Agung terpilih menjadi Bendesa Agung MDA, pemimpin tertinggi di pasikian ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuan pembentukan berbagai majelis ini sebetulnya sama, yaitu memperkuat keberadaan desa adat. Bedanya, dulu majelis dibentuk langsung dari pucuk pimpinan lewat surat keputusan gubernur. Sekarang mereka dipilih langsung oleh desa adat. “Pemerintah tidak cawe-cawe, hanya mengakui,” kata Agung kepada Tempo pada Kamis, 23 Januari 2025.
Lewat perda yang diteken Gubernur I Wayan Koster pada Mei 2019 ini, pemerintah Bali dan Majelis Desa Adat berupaya merapikan tata kelola semua desa adat. Sekarang jumlahnya mencapai 1.500.
Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra menyadari desa adat yang telah lama eksis di Bali sudah punya tatanan yang lengkap. Hukum adat sudah berlangsung lama dan pemerintah tidak bisa mengintervensi. Perda Desa Adat justru memberi penegasan bahwa desa adat adalah subyek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali. “Sebetulnya sudah sempurna, tinggal pemerintah sekarang memperkuat,” ujarnya.
Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet. Antara/Ni Putu Putri Muliantari
Itu sebabnya salah satu yang ditekankan pemerintah adalah urusan administrasi di desa adat. Laporan pendapatan dan pengeluaran yang dulu hanya perlu disetujui dalam rapat desa adat kini harus dibuat secara rinci. Apalagi tiap desa adat di Bali saat ini menerima dana Rp 300 juta per tahun dari pemerintah provinsi.
Unsur pendukung di desa adat pun berubah. Salah satunya pecalang yang merupakan satuan tugas keamanan tradisional di Bali. Dulu pecalang hanya bertugas menjaga keamanan untuk urusan kegiatan adat. Kini mereka menjadi bagian dari sistem pengamanan lingkungan terpadu berbasis desa adat atau Sipandu Beradat. “Karena sekarang Bali menghadapi tantangan keamanan yang kompleks,” ucap Kartika Jaya Seputra.
Berbagai perubahan ini tak ayal langsung dirasakan desa-desa adat di Bali. Pengurus Desa Adat Panjer, Kota Denpasar, misalnya, hari ini tengah merevisi awig-awig agar sesuai dengan Perda Desa Adat. Awig-awig adalah aturan tertinggi di desa adat.
Bagi Bendesa Adat Panjer, Anak Agung Ketut Oka Adnyana, eksistensi desa adat makin kuat lewat Perda Desa Adat. Bendesa adalah sebutan untuk kepala desa adat. “Ada rujukan ada kegiatan, sehingga desa tidak semena-mena,” tutur dosen Institut Seni Indonesia Denpasar yang menjabat bendesa sejak 2017 ini.
Setali tiga uang, Bendesa Adat Sesetan di Kota Denpasar, I Made Widra, menyebutkan perda ini juga membuat ketentuan hukum di desa, dari awig-awig sampai ketentuan pelaksananya yang disebut pararem, yang disusun berdasarkan pedoman dari Majelis Desa Adat. Kemudian aturan itu diregistrasi di Dinas Pemajuan Desa Adat. “Jadi sekarang layaknya undang-undang yang tertulis lengkap,” kata Widra, yang memimpin Desa Adat Panjer sejak 2020.
Bagi 1.500 desa adat yang punya beragam karakteristik, perubahan ini tidaklah mudah. Ketut Oka Adnyana dan I Made Widra membenarkan kabar bahwa sebagian desa adat merasa terlalu diintervensi akibat ketentuan baru ini. “Itu dirasakan beberapa teman, dulu bebas, sekarang diatur-atur,” ucap Widra.
Karena itu, dalam pertemuan tahunan Majelis Desa Adat, persoalan ini acap dibahas. Agung Putra Sukahet memastikan, sebagai bendesa agung, ia punya posisi setara dengan para bendesa adat. “Saya tidak menjadi atasan, tapi mendukung dan membantu,” tuturnya. ●
Fajar Pebrianto dari Bali berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Awig-awig Petugas Adat. Artikel ini bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support