Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kepala Dinas Pemajuan Desa Adat Bali: Tidak Boleh Ada Pungutan Liar di Bali

Pemerintah Bali sudah lama berupaya mengatur dudukan agar tak menjadi pungutan liar. Untuk pendatang yang tinggal di desa adat.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra. Antara/Ni Luh Rhismawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Desa adat di Bali membolehkan adanya dudukan atau pungutan kepada pendatang ataupun warga Bali dari luar desa adat.

  • Setiap pungutan harus didasari peraturan di tiap desa adat.

  • KPK pernah turun mengurusi pungutan liar di Bali.

PASAL 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali makin menguatkan keberadaan masyarakat adat di Pulau Dewata. Sebelumnya, pengelolaan desa adat beberapa kali diperbaiki, khususnya setelah terbitnya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peraturan itu menyebutkan desa adat merupakan struktur pemerintahan tradisional yang terpisah dari kelurahan sehingga ada beberapa ketentuan yang berbeda. Salah satunya ketentuan dudukan, yakni pungutan wajib dari warga Bali ataupun pendatang kepada desa adat. Biasanya pengutip kontribusi itu adalah pecalang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalahnya, ada dugaan penyelewengan dalam pelaksanaannya di sejumlah wilayah. Di satu sisi, pemerintah daerah ingin menguatkan 1.500 desa adat warisan leluhur di Bali. “Kami tak ingin desa adat terpeleset karena dilaporkan ada pungutan liar,” kata Kepala Dinas Pemajuan Desa Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra pada Kamis, 16 Januari 2025.

Bagaimana awal mula pelaksanaan dudukan?

Bali ini kan banyak penduduk pendatang. Mereka tinggal di wewidangan (wilayah) desa adat. Awalnya pungutan itu untuk pendataan penduduk, tapi dalam perkembangan berpengaruh pada situasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Desa adat menyikapi, di situ lahir ide dudukan.

Kapan dimulai?

Jauh sebelum ada peraturan daerah. Bahkan jauh sebelum dinas ini ada sejak dulu desa adat menerapkan dudukan. Barangkali sebutannya yang berbeda.

Bagaimana sebenarnya prosedur pungutan itu?

Pertama, desa adat mendata penduduknya. Kedua, mereka diundang dan dikumpulkan. Kemudian prajuru (pengurus) memaparkan program kerja yang memerlukan kontribusi dari krama tamiu dan tamiu supaya pemanfaatan dudukan itu jelas. Kenapa dilakukan? Karena kami di Bali ingin menjaga kesucian dan keamanan wilayah.
(Catatan: Ada tiga status krama berdasarkan Perda Desa Adat. Krama desa adat adalah warga Hindu Bali yang jadi anggota desa adat. Krama tamiu adalah warga pendatang Hindu Bali dari desa lain. Tamiu adalah pendatang dari luar.)

Untuk apa uang itu dikumpulkan?

Dudukan hanya untuk palemahan dan pawongan. Tidak untuk ke parahyangan atau untuk ketuhanan. Tidak boleh memanfaatkan anggaran itu untuk upacara keagamaan.
(Catatan: berdasarkan Perda Desa Adat, palemahan merupakan sistem hubungan yang harmonis antara krama dan lingkungan di wilayah desa adat. Pawongan merupakan sistem sosial kemasyarakatan yang harmonis antarkrama.)

Kami menerima sejumlah pihak yang mengeluhkan pungutan itu ditarik oleh orang yang mengaku pecalang. Tanggapan Anda?

Dengan Perda Desa Adat, pelan-pelan kami merapikan itu. Kami bersama Majelis Desa Adat (persatuan desa adat) sudah meminta desa adat membuat pararem (aturan pelaksanaan di desa adat). Bahkan kami sudah didampingi Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuannya, kami bisa melindungi desa adat supaya tidak dicap mengambil pungutan liar.

Kalau tak ada pararem yang mengatur dudukan, desa adat tak boleh meminta?

Tidak boleh, itu ilegal, itu pungutan liar, boleh dilaporkan. Di lapangan, memang masih banyak pararem yang belum disesuaikan dengan pedoman yang dibuat Majelis Desa Adat atas saran KPK tersebut.

Kapan KPK turun ke Bali?

Kami bertemu di Bali pada 2022. Latar belakangnya, KPK saat itu menerima laporan dari masyarakat. Jadi ada upaya melindungi masyarakat agar pungutan bisa legal, tidak ilegal. Waktu itu sudah ada dasar hukum untuk menarik pungutan dalam Peraturan Gubernur Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali.

Apa saran KPK?

Pergub itu dianggap belum sempurna. Tapi kami berterima kasih kepada KPK. Jadi kami mengubahnya menjadi Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2022. Sekarang sudah ada standar yang jelas.

Siapa sebenarnya yang boleh dikutip dudukan?

Orang per orang, krama tamiu dan tamiu. Bukan perusahaan. Ada juga yang dikecualikan, seperti pelajar dan mahasiswa, karena mereka belum punya penghasilan.
(Catatan: Krama desa adat juga punya kewajiban memberikan kontribusi khusus dengan nama lain, yaitu paturunan.)

Apakah prosesnya diawasi?

Pemerintah dan Majelis Desa Adat terus mendampingi desa adat secara berkelanjutan. Kami ingin melindungi desa adat. Saya sudah mewanti-wanti. Uangnya mungkin kecil, tapi ini yang menjadi tampilan di publik. Silakan pungut dudukan, tapi harus didasari ketentuan yang ditulis majelis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus