Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Cara Desa Adat Bali Menertibkan Pungutan Liar untuk Pendatang

Pengurus desa adat di Bali menunjuk pecalang untuk mengutip uang dari pendatang. Mencegah pungutan liar.

26 Januari 2025 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pecalang mengikuti gelar pasukan Operasi Lilin 2016 di Lapangan Renon, Denpasar, Bali, 22 Desember 2016. Dok. Tempo/Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Desa adat di Bali menarik sejumlah pungutan dari para pendatang, termasuk warga Hindu Bali yang berasal dari luar.

  • Desa adat menunjuk pecalang untuk mengutip uang tersebut.

  • KPK dan Ombudsman RI menemukan dugaan potensi penyelewengan dalam penarikan pungutan itu.

MESKI lahir dan besar di Bali, I Ngurah Suryawan rutin membayar uang kontribusi kepada desa adat tempat dia bermukim di Denpasar. Uang itu dikutip oleh pecalang, petugas pengamanan tradisional dari desa adat, setiap bulan. Saat ini total uang yang dikutip dari dia dan istrinya sebesar Rp 60 ribu. “Nominalnya naik terus,” kata antropolog dari Universitas Warmadewa, Denpasar, itu kepada Tempo, Kamis, 23 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski berstatus ibu kota provinsi, Denpasar masih memiliki desa adat. Desa adat merupakan struktur pemerintahan tradisional yang terpisah dari kelurahan, atau yang di Bali lebih dikenal dengan nama desa dinas. Adapun pungutan atau kontribusi itu disebut dudukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tempat dia bermukim saat ini, I Ngurah merupakan krama tamiu. Status ini disematkan kepada warga Bali beragama Hindu yang datang dari desa adat lain. Ia menetap di desa adat di Denpasar sejak 2012. Sejak saat itu pula ia harus membayar dudukan.

Penarikan dudukan ini sebetulnya sudah berlangsung lama di Bali. Masalahnya, kutipan itu turut menyasar kelompok yang belum memiliki penghasilan seperti mahasiswa. Doni, alumnus Universitas Udayana, Denpasar, asal Jembrana, mengaku pernah dimintai dudukan senilai Rp 15 ribu per bulan saat indekos di Denpasar Selatan pada 2019. Pecalang di desa tersebut yang mengutipnya.

Putu (kedua dari kiri) bersama rekannya sesama pecalang saat mengamankan kegiatan upacara adat di Desa Adat Sesetan, Kota Denpasar, 17 Januari 2025. Tempo/Fajar Pebrianto

Pengalaman serupa dirasakan Ranny, mahasiswa Universitas Udayana dari luar Bali. Suatu hari, ia bercerita, pecalang mengetuk pintu kamar kosnya pada pukul 7 malam hanya untuk meminta uang dudukan sebesar Rp 15 ribu. Karena tak mau urusannya panjang, Ranny membayar untuk empat bulan sekaligus. Ranny dan Doni tak pernah mendapat penjelasan mengenai manfaat pengutipan uang itu. Mereka juga tak pernah mendapat bukti tanda pembayaran.

Rupanya, pungutan itu juga ditarik dari toko dan usaha kecil lain. Praktik itu masih berlangsung saat ini. Nilainya bervariasi di setiap desa adat. Di Kota Denpasar, misalnya, ada yang membayar Rp 40 ribu per bulan. Ada juga yang mengaku membayar Rp 5.000 per hari. Tapi ada pula yang tidak pernah dikenai pungutan.

Saat ini ada 1.500 desa adat di Pulau Dewata. Mereka terdiri atas 3.600 banjar, struktur kelompok masyarakat di bawah desa adat. Jumlah terbanyak ada di Kabupaten Tabanan dengan 349 desa adat. Paling sedikit di Kota Denpasar dengan 35 desa adat. Setiap desa adat mempunyai otonomi khusus untuk menerapkan hukum adat mereka. Itu sebabnya penarikan dudukan di setiap desa adat bisa berbeda.

Dosen Universitas Udayana Gede Indra Pramana, yang juga tinggal di Kota Denpasar, menyatakan tak pernah membayar dudukan. Dia tinggal di desa adat, tapi banjar di desanya tak menerapkan dudukan. Padahal ia berstatus krama tamiu. Ia memang lahir di desa adat itu, tapi tetap dianggap pendatang. “Karena akar leluhur saya berasal dari desa adat yang lain,” ujar Gede Indra.

Di banyak tempat, penarikan dudukan sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun masih banyak warga Bali yang tak paham aturan main pungutan di desa adat. Keluhan soal pungutan itulah yang banyak mengisi situs web https://pengaduan.denpasarkota.go.id/, portal pengaduan yang dikelola Pemerintah Kota Denpasar.

Dari penelusuran Tempo, mereka yang tak paham soal dudukan itu umumnya warga dari luar Bali. Mereka datang dan bekerja di Bali, bahkan ada yang sudah memiliki kartu tanda penduduk Bali. Sebagian mengaku membayar uang itu langsung kepada pecalang setiap bulan. Namun sebagian lagi menolak membayar.

Seorang pecalang di Desa Adat Sesetan, Kota Denpasar, yang meminta dipanggil Putu, misalnya, menyatakan sudah biasa menghadapi warga desa yang menolak membayar dudukan. Jika hal itu terjadi, Putu dan rekannya sesama pecalang berupaya menjelaskan bahwa keharusan membayar dudukan sudah menjadi kebijakan desa adat.

Penyidik Kejaksaan Tinggi Bali melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana (kedua dari kiri), atas dugaan pemerasan terhadap investor di Denpasar, 2 Mei 2024.. Antara/HO-Penerangan Hukum Kejati Bali

Putu mengaku pengutipan dudukan masih berlangsung sampai hari ini. Ia menyebutkan dudukan adalah bagian dari kontribusi warga untuk menjaga keamanan lingkungan di desa adat. Di Desa Sesetan, dia menerangkan, ada 38 pecalang. Mereka bertugas layaknya warga yang menerapkan sistem keamanan lingkungan atau siskamling. “Kami berkumpul di banjar pukul 1 malam, berpatroli, lalu pulang pukul 5 pagi,” tuturnya.

Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra mengakui pemungutan dudukan masih menjadi masalah sampai hari ini. Tujuannya sebenarnya adalah menjaga kesucian dan keamanan di wilayah masing-masing. Masalahnya, penarikan dudukan harus diatur. Itu sebabnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Mereka sedang berupaya merapikan pemungutan dudukan. “Kami tak ingin desa adat dicap mengambil pungutan liar,” ujarnya.

•••

BAGI masyarakat Bali, desa adat adalah warisan leluhur yang harus dipegang teguh. Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menyebutkan desa adat adalah benteng pertama untuk menjaga adat dan budaya adiluhung masyarakat Bali. “Sekaligus benteng terakhir,” katanya.

Desa adat punya tiga unsur pokok, yaitu parahyangan (hubungan ketuhanan), pawongan (hubungan masyarakat dan lingkungan), serta palemahan (hubungan sesama masyarakat). Ketiganya adalah perwujudan Tri Hita Karana, falsafah hidup masyarakat Hindu Bali. Wujud ketiga unsur tersebut adalah semua kegiatan yang berlangsung di desa adat, yang sudah pasti membutuhkan biaya.

Setiap tahun, pemerintah provinsi menggelontorkan Rp 300 juta untuk tiap desa adat. Peruntukan utamanya adalah upacara adat, yaitu parahyangan. Adapun untuk kepentingan lain, seperti keamanan dan kebersihan lingkungan dalam lingkup pawongan dan palemahan, desa adat menarik kontribusi dari masyarakat setempat. Inilah awal mula peruntukan dudukan. “Jadi tidak boleh, misalnya, bikin upacara keagamaan pakai anggaran dudukan,” tutur Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra.

Selain diperoleh dari krama tamiu, dudukan ini dipungut dari tamiu, sebutan bagi pendatang non-Hindu Bali. Sedangkan warga asli suatu desa disebut krama desa adat. Mereka juga dikenai pungutan yang dinamakan paturunan. Ketiga krama inilah yang dikenal sebagai penghuni desa dalam sistem adat di Bali.

Meski telah menarik pungutan dan mendapat gelontoran dana dari pemerintah, desa tetap saja menghadapi masalah keuangan. Masih ada desa yang kesulitan menutup semua biaya upacara keagamaan meski sudah ada subsidi Rp 300 juta dari pemerintah daerah. Beban lebih berat dirasakan desa adat yang punya sedikit banjar dan penduduk.

Bendesa Adat Panjer 2017-2027, Anak Agung Ketut Oka Adnyana, sekaligus Patajuh II (Wakil Ketua II) Majelis Desa Adat Kota Denpasar, di kantor Majelis Desa Adat Kota Denpasar, Rabu, 15 Januari 2025. Tempo/Fajar Pebrianto 

Persoalan kekurangan biaya upacara adat itu menjadi kasak-kusuk di Bali. Bendesa Adat Sesetan di Kota Denpasar, I Made Widra, termasuk yang mendengar masalah tersebut. Ia mengakui persoalan subsidi itu menjadi bahasan berbagai kalangan. “Sehingga ada usulan agar lebih proporsional anggarannya,” ujarnya.

Kemampuan desa adat untuk mengupah pecalang juga berbeda. Bendesa Adat Panjer di Kota Denpasar, Ketut Oka Adnyana, mengatakan desa hanya sanggup membayar Rp 50 ribu per hari setiap pecalang yang bertugas menjaga keamanan desa adat. “Misalnya dalam sebulan empat kali jaga, ya Rp 200 ribu saja yang mereka dapat,” ucap Ketut.

Seorang dosen dan warga Denpasar yang harus membayar dudukan, I Ngurah Suryawan, memaklumi pelaksanaan pungutan ini sebetulnya merupakan respons Bali dan desa adat untuk bertahan di tengah perubahan zaman. Pendatang dan kegiatan ekonomi di desa dilihat sebagai salah satu potensi pemasukan oleh desa yang makin tertekan oleh investasi dari luar. “Meski saya orang Bali, saya kritis melihat pungutan ini,” tutur penulis buku Bali, Narasi dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali itu.

Apalagi potensi penyelewengan tetap ada. Ia menyitir kasus Bendesa Adat Berawa I Ketut Riana di Kuta Utara, Kecamatan Badung, Bali. Pada Oktober 2024, I Ketut Riana divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar karena terbukti memeras investor hingga Rp 10 miliar.

Pemerintah Bali sebetulnya menyadari bahwa penarikan pungutan ini harus ditertibkan. Itu sebabnya, setelah Perda Nomor 4 Tahun 2019 terbit, Gubernur I Wayan Koster mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali. “Ini yang saat itu menjadi dasar hukum dudukan,” kata I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra.

Warga mengikuti upacara ngaben di Desa Pekraman Sesetan, Denpasar, Bali, 11 Oktober 2024. Cittavagga/Shutterstock

Kabar mengenai penarikan dudukan terhadap pendatang dan pelaku usaha itu juga pernah sampai ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk membahas soal ini, sekitar Mei 2022, Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dan timnya terbang ke Bali. Hasilnya, KPK meminta dudukan diberi standar pelaksanaan yang jelas lewat aturan. “Intinya mengatur transparansi dalam pemungutan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban atas dana yang dipungut,” ujar Direktur Antikorupsi Badan Usaha KPK Aminudin.

Lima bulan kemudian, atau pada Oktober 2022, I Wayan Koster menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2022 yang sekarang menjadi dasar hukum pemungutan dudukan. Peraturan ini lahir atas saran KPK.

Majelis Desa Adat, sebuah pasikian atau persatuan desa adat di Bali, juga menyadari penarikan dudukan ini memunculkan satu-dua masalah di lapangan. Dalam dokumen keputusan Majelis Desa Adat, tertuang sederet masalah, seperti adanya keberatan terhadap besarnya nilai dudukan dan kurangnya etika petugas penarik dudukan, yaitu pecalang, yang dianggap kurang sopan.

Tak semua warga desa terlibat membahas dudukan. Ketua Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet bercerita, laporan mengenai dudukan memang hanya dibicarakan dalam rapat yang dihadiri krama desa adat. “Bisa ribuan bila melibatkan krama tamiu dan tamiu,” tutur Ida Pangelingsir.

Namun majelis tetap menyesuaikan diri. Pada Desember 2022, giliran Majelis Desa Adat yang mengeluarkan keputusan majelis tentang pedoman panyuratan pararem kasukretan krama di wewidangan desa adat. “Tujuannya, agar dudukan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,” ucap Ida.

Petugas mendata penduduk nonpermanen di Kelurahan Tanjung Benoa, Badung, Bali, 8 November 2023. Kelurahantanjungbenoa.badungkab.go.id

Kedua regulasi itu meminta desa adat segera menyesuaikan awig-awig dan pararem. Awig-awig adalah aturan hukum adat tertinggi di tiap desa adat yang sudah turun-temurun diikuti masyarakat Bali. Pararem adalah aturan turunan awig-awig. Aturan ini dibuat agar pemungutan dudukan sesuai dengan saran KPK.

Maret 2023, giliran 11 anggota tim Ombudsman Perwakilan Bali yang turun ke 21 desa adat di Denpasar, Tabanan, Badung, Klungkung, dan Gianyar. Rupanya, Ombudsman pun menjadi tempat mengadu masyarakat Bali soal dudukan. Ombudsman mendapatkan berbagai temuan setelah kurang-lebih enam bulan mengumpulkan informasi.

Ternyata keputusan Majelis Desa Adat yang diterbitkan pada Desember 2022 belum diterapkan semua desa adat. Sebagian bahkan tak tahu ada pedoman baru perihal pelaksanaan dudukan. Dari 1.500 desa adat, baru satu yang betul-betul memiliki pararem mengenai dudukan dan sudah teregistrasi di Dinas Pemajuan Masyarakat Adat.

Desa yang dimaksud adalah Desa Adat Tanjung Benoa, Kuta, Badung. Pararem yang mengatur dudukan itu pun baru lahir setelah Bendesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya, diadili pada 2019 di Pengadilan Negeri Denpasar atas kasus pungutan liar terhadap pelaku usaha di wilayahnya.

Agar pararem yang mengatur dudukan sah dilaksanakan, desa adat membutuhkan verifikasi dari Majelis Desa Adat dan registrasi dari Dinas Pemajuan Masyarakat Adat. Pararem kemudian juga harus diumumkan kepada masyarakat. Sebab, desa adat tidak boleh meminta dudukan sepanjang belum ada pararem yang mengaturnya.

Pantai Tanjung Benoa yang menjadi salah satu lokasi wisata air di Badung, Bali, 5 April 2013. Tempo/Subekti

Tim Ombudsman juga menemukan kendala lain. Keterbatasan sumber daya manusia di desa adat sampai Majelis Desa Adat acap menghambat pembentukan pararem. Walhasil, prosesnya berlarut-larut. “Untuk itu, Ombudsman mendorong dibuatnya jangka waktu agar ada kepastian dalam pelayanan,” ujar Kepala Ombudsman Perwakilan Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.

Dari penelusuran Tempo, beberapa warga yang dimintai dudukan sebetulnya sama sekali tidak keberatan membayar. Namun mereka ingin mendapat kejelasan mengenai manfaat dan peruntukan dana tersebut. Sayangnya, walaupun upaya menertibkan dasar hukum ini masih belum tuntas, pemungutan dudukan tetap berjalan sampai hari ini.

I Ngurah Suryawan juga masih rutin membayar Rp 60 ribu setiap bulan kepada desa adat. Ngurah berharap semua warga desa bisa mengakses laporan pertanggungjawaban pungutan tersebut. Dengan perkembangan teknologi saat ini, upaya itu bisa dilakukan. “Desa adat harus bisa beradaptasi dengan teknologi,” katanya.

Mohammad Khory Alfarizi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pungutan Pecalang untuk Pendatang. Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus