Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pemerasan Berkedok Adat di Pulau Dewata

Pungutan ilegal terhadap pendatang mencoreng wajah Bali. Penunggang gelap aturan adat harus ditertibkan.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemerasan Berkedok Adat di Pulau Dewata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pungutan liar terhadap pendatang di desa adat Bali makin marak.

  • Pecalang dikeluhkan pendatang karena beralih fungsi menjadi pemungut retribusi.

  • Kesenjangan ekonomi yang terjadi memperuncing hubungan antara warga lokal dan pendatang.

ANEKA pungutan uang ilegal terhadap pendatang di Bali menjadi ancaman serius bagi citra Pulau Dewata sebagai destinasi wisata kelas dunia. Selama ini Bali memikat wisatawan dengan keindahan alam, kekhasan tradisi, serta keramahan masyarakatnya yang terkenal terbuka dan bersahabat kepada pendatang. Namun praktik pungutan ilegal ini berpotensi merusak reputasi tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa tahun terakhir, pungutan ilegal terhadap pendatang di desa adat Bali makin marak. Desa adat, yang seharusnya menjadi penjaga tradisi dan agama berdasarkan awig-awig atau peraturan adat, justru menjadi tempat suburnya praktik ini. Jumlah pungutan bervariasi, bergantung pada status pendatang, dan dilakukan oleh sejumlah pihak, termasuk pecalang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pecalang, yang merupakan petugas keamanan adat, belakangan kerap dikeluhkan pendatang karena beralih fungsi menjadi pemungut retribusi atau bahkan melakukan pemerasan. Mereka juga kerap menjadi penjaga keamanan dengan tujuan komersial. Pergeseran ini mencederai fungsi utama pecalang dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pendatang.

Memang, di balik daya pikat Bali sebagai tujuan wisata, gejala keresahan warga lokal terhadap dominasi pendatang dalam sektor ekonomi kian menguat. Banyak aset penting, seperti tanah, pusat wisata, dan hotel berbintang, kini dikuasai pendatang. Kesenjangan ekonomi yang terjadi memperuncing hubungan antara warga lokal dan pendatang. Namun semua itu tidak bisa menjadi pembenaran atas pemerasan berkedok kepentingan warga adat.

Pemerintah daerah harus segera mengambil langkah mitigasi untuk mencegah gesekan sosial yang lebih besar. Salah satu solusi adalah mewajibkan pengusaha menggandeng mitra lokal atau membatasi kepemilikan tanah bagi pendatang di wilayah adat yang sakral. Kebijakan semacam ini akan membantu menjaga keseimbangan ekonomi tanpa mengorbankan keharmonisan sosial.

Pungutan terhadap pendatang sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Daerah Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali serta peraturan Gubernur Bali tentang pengelolaan keuangan desa adat. Peraturan ini mengatur kontribusi wajib dari krama tamiu (warga Hindu dari luar desa adat) dan tamiu (warga non-Hindu dari luar Bali). Namun realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan.

Desa adat diwajibkan membuat pararem atau standar pungutan yang memenuhi prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepatutan. Sayangnya, data dari kantor Ombudsman Bali pada 2023 menunjukkan, dari total 1.500 desa adat, hanya satu yang memiliki pararem. Desa tanpa pararem tetap menarik pungutan berdasarkan awig-awig yang tidak memiliki standar baku dengan nilai pungutan berkisar Rp 20-60 ribu per orang per bulan.

Ketimpangan ini menuntut evaluasi mendalam oleh pemerintah daerah dan bendesa adat. Jika alokasi anggaran Rp 300 juta dari pemerintah provinsi tidak mencukupi, opsi lain seperti subsidi silang dari dana desa dinas dapat dipertimbangkan. Selain itu, pemerintah harus memastikan regulasi yang diterapkan bersifat inklusif dan tidak diskriminatif, tanpa membedakan pendatang dan warga lokal berdasarkan suku, ras, agama, atau golongan.

Jangan biarkan keindahan alam dan keramahtamahan warga Pulau Dewata tercoreng oleh praktik pungutan liar yang merugikan banyak pihak.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus