Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN itu berlangsung di ruang Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Pidie, Aceh, pada awal Juni lalu. Anggota Badan Musyawarah (Tuha Peut) Gampong Blang Paseh, Kecamatan Kota Sigli, Zakaria, dan seorang imam masjid, Abdul Jalil, turut hadir. Pada hari itu, polisi meminta keduanya menjadi saksi penandatanganan surat perdamaian kasus pelecehan seksual yang dialami seorang perempuan 13 tahun, Hera—bukan nama sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses restorative justice atau keadilan restoratif itu difasilitasi Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Pidie Ajun Inspektur Dua Bukhari. Kepada Zakaria dan Jalil, Bukhari menyodorkan surat perdamaian yang sudah ditandatangani pelaku dan orang tua Hera. Isinya, keluarga korban dan pelaku bersepakat tak melanjutkan kasus pelecehan itu ke proses hukum. “Kami juga diminta menandatangani akta damai,” ujar Zakaria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah pertemuan itu, Zakaria menganggap kasus Hera sudah tutup buku. Ia kaget ketika Polres Pidie memintanya datang kembali sebulan kemudian. Pertemuan yang juga dihadiri pelaku dan keluarga korban itu berlangsung panas. Mereka mempersoalkan langkah polisi yang mengungkit kembali proses perdamaian. Apalagi polisi memutuskan melanjutkan kasus Hera. “Saat itu saya tak tahu kenapa kasus itu dibuka lagi,” ucapnya.
Anggota Badan Musyawarah (Tuha Peut) Gampong Blang Paseh, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh, Zakaria/Tempo/Iil Askar Mondza)
Rupanya, proses perdamaian itu tercium Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) serta Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI. Kedua lembaga itu kompak menyurati Kepolisian Daerah Aceh dan Polres Pidie pada 31 Juli lalu. Surat tersebut merespons aduan Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh yang mempertanyakan penyelesaian kasus pelecehan seksual yang dialami Hera lewat keadilan restoratif. Sementara itu, Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang disahkan pada Mei 2022 melarang penegak hukum menyelesaikan perkara pelecehan seksual di luar pengadilan.
Saat dimintai konfirmasi tentang surat ini, anggota Kompolnas, Albertus Wahyurudhanto, mengaku belum bisa memberikan penjelasan. “Saya cek dulu,” tuturnya.
Pelecehan seksual yang dialami Hera terjadi pada Jumat siang, 19 Mei lalu. Pelakunya, MZ, adalah pegawai di salah satu sekolah menengah pertama. Ia sudah beristri. Anaknya dua. Ia diduga hendak mencabuli Hera di Jalan Tibang-Krueng Raya, Gampong Kulee, Kecamatan Batee, sekitar 16 kilometer dari pusat Kota Sigli. Pelecehan itu dipergoki J, 43 tahun, salah seorang warga kampung yang sedang melintas.
Sebelum pelecehan terjadi, Hera berjalan kaki sendirian. MZ yang tengah mengendarai sepeda motor menawarkan diri untuk mengantar. Semula Hera menolak. Ia luluh setelah MZ memberi uang Rp 51 ribu. Dalam perjalanan, MZ menghentikan kendaraan di tengah perkebunan yang penuh dengan semak belukar. Ia diduga memaksa korban menurunkan celana.
J memergoki pelecehan itu. “Saat saya mau tangkap, celana anak itu sudah terbuka segini,” ujar J sambil menunjukkan telapak tangannya di atas paha. MZ sempat berupaya melarikan diri ketika J berteriak dan menolong korban. MZ ditangkap setelah J mengajak rekannya memburu pelaku. Mereka menyerahkan MZ ke kantor polisi.
Dalam surat perdamaian yang ditandatangani Zakaria dan Jalil, MZ mengakui dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya. MZ dan keluarga bersedia memberi kompensasi kepada korban. Namun Zakaria mengaku tak ingat apa saja isi surat perdamaian itu. “Saya hanya mengurus pengesahan di perangkat desa,” ucapnya.
Kepala Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia-Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, Muhammad Qodrat, mengatakan polisi sejak awal tak boleh menghentikan penyidikan kasus Hera meski sudah ada proses perdamaian. “Kekerasan seksual, apalagi terhadap anak, bukanlah kasus yang bisa diselesaikan lewat mekanisme restorative justice,” katanya.
Seseorang yang mengetahui proses perdamaian itu mengatakan awalnya keluarga Hera menolak perjanjian perdamaian dengan pelaku. Sikap mereka diduga berubah karena keluarga pelaku bersedia memberikan uang kompensasi. Hera berasal dari keluarga miskin. Sehari-hari ia tinggal bersama bibinya. Bagi keluarganya, penyelesaian kasus ini lewat jalur hukum dianggap membebani ekonomi keluarga. Mereka, misalnya, sempat merasa bingung saat hendak membayar biaya visum Hera.
Kepala Kepolisian Resor Pidie Ajun Komisaris Besar Imam Asfali menyangkal kabar bahwa penanganan kasus pelecehan seksual Hera dihentikan. Ia mengklaim perdamaian tak menghentikan proses hukum. Buktinya, polisi sudah melimpahkan berkas kasus ini kepada kejaksaan. Upaya perdamaian hanyalah cara untuk menghilangkan dendam. “Polisi hanya memfasilitasi kesepakatan para pihak berdasarkan musyawarah mulai tingkat gampong (kampung),” ujarnya.
Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polres Pidie Ajun Inspektur Dua Bukhari mengakui polisi membuat draf perdamaian atas persetujuan kedua pihak. “Akta tersebut memuat penjelasan yang menyatakan kesediaan korban mencabut laporan dan menyelesaikan secara damai,” tuturnya.
Ihwal kompensasi ganti rugi, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Pidie Ajun Inspektur Satu Rangga mengatakan pelaku bersedia menyerahkan uang sebagai biaya pemulihan. “Kami sempat menyarankan kasus ini tetap dilanjutkan, tapi keluarga korban meminta berdamai saja,” ucapnya.
Kepala Polres Pidie Ajun Komisaris Besar Imam Asfali/Tempo/Iil Askar Mondza
Uang damai berjumlah Rp 10 juta. Namun penyerahannya ternyata bermasalah. Seseorang yang mengetahui proses perdamaian itu mengatakan pelaku hanya menyetor Rp 7 juta kepada keluarga Hera. MZ mengklaim menghabiskan Rp 3 juta untuk membiayai proses perdamaian. Aiptu Rangga dan Aipda Bukhari membantah kabar tentang adanya biaya proses perdamaian itu. “Tidak ada,” kata Bukhari.
Ihwal biaya visum korban, Rangga mengakui polisi pernah meminta keluarga korban menalangi karena ketika itu pihaknya tak membawa uang. “Uangnya sudah diganti,” ujar Rangga.
Tempo menyambangi rumah MZ untuk meminta konfirmasi mengenai kasus pelecehan itu pada Jumat, 6 Oktober lalu. Saat Tempo mengucap salam, tak ada satu pun penghuni yang keluar dari rumah. Bangunan yang berada di sebuah gang di Gampong Blang Paseh itu tampak sepi. Kios di depan rumah pelaku tertutup terpal biru.
Selembar dokumen yang dikeluarkan Pusat Kesehatan Masyarakat Simpang Tiga tertanggal 23-25 Mei 2023 menuliskan MZ tengah sakit. Kepala Puskesmas Simpang Tiga Eva Dorista tak menjawab soal kesahihan surat tersebut. Lewat pesan WhatsApp, ia mengaku sedang berada di sebuah pesta pernikahan. Eva adalah adik kandung MZ.
Keputusan polisi melanjutkan proses hukum kasus pelecehan Hera tak membuat pihak keluarga senang. Seorang aktivis LBH Banda Aceh mengatakan kantor mereka didatangi ibu korban saat kasus kembali dibuka. Ia memprotes kebijakan tersebut. Alasannya, mereka jadi repot karena nanti harus datang ke pengadilan. Ibu korban merasa malu jika kasus ini terungkap ke publik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Iil Azkar Mondza dari Aceh berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gagal Damai di Kantor Polisi"