Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Mengapa Restorative Justice Merugikan Korban Pemerkosaan

Komnas Perempuan menemukan metode restorative justice tak adil. Diduga ada penyimpangan di kepolisian dan kejaksaan.

15 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komnas Perempuan menemukan ada penyimpangan penerapan penyelesaian perkara lewat restorative justice.

  • Masih ada penyelesaian perkara kasus kekerasan seksual yang menggunakan restorative justice.

  • Ada dugaan suap di balik penerapan restorative justice.

MULANYA pengusutan kasus pelecehan seksual yang dialami Fira—bukan nama sebenarnya—di Kepolisian Resor Kota Besar Semarang, Jawa Tengah, berjalan lancar. Pelaku yang mencoba memperkosa karyawan swasta itu pun sudah berada di penjara sejak pertengahan 2022. Dua pekan berjalan, Nia Lishayanti, pendamping korban dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), mendapat kabar tak menyenangkan. “Polisi menghentikan kasus itu lewat restorative justice,” kata Nia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LRC-KJHAM ikut mendampingi atas permintaan Fira. Mendengar kasus kliennya dihentikan, Nia mengaku kaget. Ia mendengar kabar itu justru saat hendak mengkonsultasikan perkara tersebut dengan ahli hukum dan penyidik di kantor polisi. Dalam proses penyidikan kala itu Nia mengusulkan agar polisi menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan. “Korban sebenarnya ingin pelaku diadili,” ucap Nia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus Fira tak pernah terungkap ke media massa. Peristiwa itu terjadi saat Fira sedang tidur malam di kamar kosnya di Kota Semarang pertengahan tahun lalu. Pelaku masuk ke kamar dan meraba tubuh korban. Fira berteriak dan pelaku akhirnya diringkus.

Pendamping korban kekerasan seksual dari LRC-KJHAM, Nia Lishayati, di kantornya/Tempo Jamal Abdun Nashr

Akibat peristiwa itu, Fira sempat tiga kali menjalani konseling di salah satu rumah sakit jiwa di Semarang. “Ibunya sudah meninggal, bapaknya tak tahu entah di mana, dan dia benar-benar sendirian menghadapi kasus ini,” ujar Nia.

Tempo berupaya meminta konfirmasi mengenai kasus Fira kepada Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Besar Semarang Ajun Komisaris Besar Donny Sardo Lumbantoruan. Ia menyarankan agar kasus ini ditanyakan ke kepolisian sektor yang menangani perkara ini. Tapi kepala polsek yang menangani kasus tersebut tak menjawab permintaan wawancara. Kepala Polres Kota Besar Semarang Komisaris Besar Irwan Anwar juga tak merespons permohonan wawancara.

Kasus pemerkosaan Fira muncul kembali lewat penelitian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan. Mereka meneliti 449 obyek penelitian. Komnas Perempuan menyoroti penerapan mekanisme keadilan restoratif kekerasan yang dialami perempuan di sembilan provinsi yang mencakup 23 kabupaten dan kota. 

Obyek penelitian itu mencakup kasus kekerasan seksual. Salah satunya kasus yang dialami Fira. Kepada peneliti, Nia mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap polisi yang menghentikan perkara itu lewat keadilan restoratif.

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini, mengatakan penelitian lembaganya menemukan lima masalah dalam implementasi mekanisme keadilan restoratif. Salah satunya tidak ada partisipasi korban ketika aparat penegak hukum menerapkan mekanisme perdamaian atau keadilan restoratif. “Akibatnya malah memunculkan impunitas terhadap kejahatan pelaku,” tuturnya.

Temuan lain yang muncul adalah minimnya akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan dalam pelaksanaan keadilan restoratif yang dilakukan penegak hukum. Hal ini terjadi di tingkat penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan di kejaksaan, hingga pengadilan. Masalah serupa ditemukan oleh Theresia dan timnya di lembaga adat, pemberi layanan, hingga lembaga pemerintah yang diberi wewenang memberlakukan keadilan restoratif.

Keadilan restoratif, Theresia menerangkan, sebetulnya digunakan dalam pendekatan penyelesaian konflik hukum dengan menggelar mediasi antara korban dan pelaku. Tapi pemberlakuannya hanya pada tindak pidana ringan atau delik aduan. Jadi penanganannya dapat mengupayakan perdamaian dengan pemberian ganti rugi kepada korban, permintaan maaf, atau upaya tindakan pencegahan agar kejahatan tidak berulang.

Cikal bakal penerapan keadilan restoratif bermula dari penerbitan Surat Edaran Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Tapi aturan tersebut menegaskan keadilan restoratif tak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai. Apalagi bila mencakup kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan.
 
Pada 2020, Presiden Joko Widodo memasukkan program keadilan restoratif ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Misinya adalah mengedepankan pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban. Kementerian dan lembaga pemerintah lantas berbondong-bondong mengimplementasikan program ini dengan kewenangan masing-masing.

Kejaksaan Agung ikut berpartisipasi melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Mahkamah Agung kemudian menyusul dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 1691 Tahun 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif. Polisi lalu menerbitkan Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Persoalannya, penerapan keadilan restoratif kerap tak tepat sasaran. Hak korban kasus kekerasan justru terabaikan. Theresia bahkan tak menemukan klausul pemulihan korban pada regulasi yang diterbitkan lembaga penegak hukum dan pemerintah. Mereka justru menemukan keadilan restoratif digunakan sebagai upaya impunitas terhadap kejahatan yang mengorbankan perempuan. “Misalnya kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan,” katanya.

Ini dibuktikan dari temuan penelitian Komnas Perempuan yang meneliti 115 tindak pidana yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Korbannya mencapai 84 orang. Dalam penelitian Komnas Perempuan, ada 15 kasus kekerasan seksual.

Theresia meyakini jumlah korban penyalahgunaan keadilan restoratif jauh lebih besar. Dugaan ini muncul lantaran banyak ditemukan kasus kekerasan perempuan yang berakhir damai tanpa mempertimbangkan hak korban untuk mendapat keadilan.

Satu di antaranya adalah kasus pemerkosaan di Kabupaten Tanimbar, Maluku. Theresia mengatakan korban malah dinikahkan dengan pelaku sebagai upaya keadilan restoratif. Kasus yang sama ditemukan di Papua dan beberapa daerah lain.

Penelitian Komnas Perempuan mengungkap ada 25 kasus kekerasan perempuan yang terhenti lewat keadilan restoratif di kejaksaan daerah. Jumlah yang sama ditemukan saat pengadilan menangani kasus kekerasan perempuan. Jumlah ini belum ditambah kasus yang diselesaikan melalui lembaga agama, adat, hingga layanan pemerintah. 

Dari 84 korban, hanya 23 orang yang berperan mengajukan keadilan restoratif. Itu pun cenderung memaksakan diri karena para korban memilih kasus yang dialami tak berlarut-larut. Sementara itu, 48 korban mengaku tak puas dengan keadilan restoratif.

Theresia mengatakan penerapan keadilan restoratif yang keliru terjadi karena aparat penegak hukum tak memahami konsep keadilan berbasis perspektif gender dan relasi kuasa. Mereka juga dianggap tak mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melarang penggunaan metode keadilan restoratif untuk kasus kekerasan seksual. Dalam beberapa perkara, polisi bahkan menyerahkan kasus kekerasan seksual kepada lembaga adat dan agama di daerah yang tidak berwenang menangani perkara hukum.

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Albertus Wahyurudhanto, mengatakan lembaganya juga menerima banyak aduan ihwal penyalahgunaan penanganan kasus pidana dengan keadilan restoratif. Penyimpangan itu diduga terjadi akibat suap. “Kalau ada kepentingan, potensi suap-menyuap itu tinggi,” ucapnya.

Dia tak merinci jumlah aduan yang masuk ke Kompolnas. Mayoritas pengadu merupakan korban yang tidak merasakan keadilan karena perkaranya dihentikan. Pola yang sama juga terjadi pada kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan. Melihat fenomena ini, Albertus menduga “jalur damai” itu menjadi modus untuk memainkan perkara.

Lewat WhatsApp, Tempo menghubungi Kepala Biro Penerangan Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan untuk meminta konfirmasi mengenai penerapan keadilan restoratif di Polri. Ia sempat membalas dan berjanji menjawab pertanyaan. Namun hingga Sabtu, 14 Oktober lalu, ia tak kunjung menjawab pertanyaan.

Pertanyaan yang sama dikirimkan kepada Kepala Divisi Humas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Sandi Nugroho. Jawaban pertanyaan itu disampaikan lewat koordinator asisten pribadinya, Ajun Komisaris Besar Fauzan Arianto. Ia menyampaikan temuan bahwa Komnas Perempuan belum merinci penyelesaian kasus yang dianggap menyimpang. “Jadi agak susah kami jawab dan cek apakah metode restorative justice di sejumlah perkara itu disalahgunakan atau tidak,” tulisnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana memastikan kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif. Sebab, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sudah berjanji bersikap tegas jika muncul penyimpangan penerapan keadilan restoratif. “Untuk soal ini kami sudah mendapatkan penghargaan internasional dan nasional dan telah diakui dunia,” katanya.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani (kanan) berdiskusi dengan Kapolres Kabupaten Kepulauan Tanimbar AKBP Umar Wijaya saat kunjungan kerja ke Tanimbar, Maluku, dalam rangka pemantauan penerapan keadilan restoratif untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang berbasis kepulauan, 29 Mei 2023/Facebook.com/Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Livia Istania D.F. Iskandar mencontohkan bukti dugaan penyalahgunaan keadilan restoratif itu dalam penanganan kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada 6 Desember 2019. Mulanya kepolisian justru menghentikan penyidikan dan menyelesaikan kasus dengan cara perdamaian. “Korban bahkan dinikahkan dengan pelaku, itu jelas upaya restorative justice,” ucap Livia.

Menteri Koperasi Teten Masduki sudah menegaskan kasus ini akan ditangani secara serius dengan menghukum pelaku sesuai dengan aturan di lembaganya. Belakangan kasus ini berhenti setelah majelis hakim tunggal Pengadilan Negeri Kota Bogor mengabulkan gugatan praperadilan atas prosedur penetapan tersangka.

Penyimpangan keadilan restoratif juga menjadi temuan Ombudsman Republik Indonesia. Pada pertengahan Agustus lalu, anggota Ombusman RI, Johanes Widijantoro, menemui pejabat kejaksaan untuk mengevaluasi implementasi keadilan restoratif. Tujuannya adalah mencegah adanya potensi penyalahgunaan penanganan perkara. “Ini karena masalah berbagai hal menyangkut restorative justice ditafsirkan oleh penyidik atau jaksa dengan pemahaman masing-masing,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fajar Febrianto dari Jakarta dan Jamal A. Nashr dari Semarang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.  Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Salah Jalan Keadilan Restoratif"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus