Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYELESAIAN kasus kekerasan terhadap perempuan lewat mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif masih menyisakan masalah. Hasil penelitian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan pada September lalu menemukan metode penyelesaian perkara di luar pengadilan itu kerap mengabaikan suara korban. Komnas menemukan sejumlah fakta bahwa penerapan keadilan restoratif justru menjadi cara agar kasus kekerasan yang terjadi tak terungkap ke publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas Perempuan yang juga menjabat Ketua Subkomisi Pengembangan Tim Pemulihan, Theresia Sri Endras Iswarini, menjelaskan penelitian dilakukan berdasarkan maraknya penerapan keadilan restoratif yang diperkirakan tak tepat sasaran. Ditemani Koordinator Badan Pekerja di Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan Suraya Ramli, Theresia menjelaskan temuan lain dalam penelitian itu. Berikut ini petikan wawancaranya dengan tim Tempo lewat aplikasi Zoom pada Kamis, 12 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah penerapan keadilan restoratif kerap tak tepat sasaran?
Ada problem besar pada penerapan keadilan restoratif yang dilakukan aparat penegak hukum dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Keadilan restoratif ini intinya pemulihan korban, pemulihan komunitas, dan restorasi pelaku. Nah, dalam beberapa catatan yang kami terima, ternyata pemulihan korban jauh sekali dari yang dibayangkan.
Bukankah metode keadilan restoratif ini sudah ada aturannya?
Kalau kita lihat regulasi internal setiap lembaga atau penegak hukum, mereka tidak mengatur pemulihan korban. Interpretasinya kemudian pemulihan adalah permintaan maaf, perdamaian, dan ganti rugi. Kami menemukan lima ciri yang teridentifikasi pada pelaksanaan keadilan restoratif, yaitu tidak ada partisipasi substantif dari korban, terdapat potensi impunitas pelaku, minim pengawasan, minim pemulihan, dan adanya harmoni semu dalam seluruh proses.
Seperti apa harmoni semu yang terjadi?
Ini berkaitan dengan relasi kuasa yang muncul dalam kasus kekerasan seksual. Biasanya pihak yang berkepentingan akan mempertimbangkan agar kasus-kasus kekerasan ini tidak mengguncang komunitas dan keluarga. Harmoni semu ini misalnya ada kasus kekerasan seksual lalu “diselesaikan baik-baik” tanpa harus ada yang dirugikan. Kemudian ada proses perkawinan untuk kasus pemerkosaan. Pola seperti ini banyak sekali ditemukan dalam penelitian Komnas Perempuan.
Baca: Akar Kekerasan Seksual
Bagaimana dengan larangan penggunaan keadilan restoratif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)?
Data pada penelitian Komnas Perempuan diambil sebelum penerapan Undang-Undang TPKS. Kami mencatat ada kekerasan seksual yang ditangani dengan keadilan restoratif atau mediasi. Sementara itu, dalam Pasal 23 Undang-Undang TPKS tidak boleh ada proses di luar pengadilan untuk penanganan kekerasan seksual. Ini peringatan bagi aparat penegak hukum supaya tidak dilanggar.
(Catatan: Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang TPKS pada 11 Mei 2022.)
Berapa banyak kasus kekerasan seksual yang diselesaikan menggunakan metode keadilan restoratif?
Kami selalu katakan ini gunung es, angka yang terlihat tidak merepresentasikan keseluruhan karena bisa jadi tidak dilaporkan. Temuan paling kuat, tidak ada pengawasan selepas keadilan restoratif dilakukan. Jumlah perkara yang ditangani aparat penegak hukum di daerah kerap tak dilaporkan ke pusat. Banyak kasus yang akhirnya terlokalkan.
Bagaimana dampak metode ini terhadap korban?
Penelitian kami menemukan ada korban yang merasa puas. Kami berusaha menggali apa indikator kepuasan itu. Tapi ini sulit karena faktor keluarga dan lain-lain lantaran proses hukum dibangun tidak genuine. Akhirnya penyelesaian dikembalikan ke masyarakat atau pemangku adat. Pendapat korban tidak dipertimbangkan. Yang berbicara hanya keluarga.
Keluarga lebih banyak berperan?
Suraya Ramli: Keluarga yang memainkan peran mengambil keputusan. Korban ini kayak orang di belakang dan dia ikut saja, termasuk hasil keputusan untuk membayar sejumlah uang. Apakah uang dari pelaku sebagai ganti rugi diterima korban? Tidak. Korban tidak menerima, yang menikmati keluarga. Bahkan pemimpin adat menerima beberapa persen dari denda adat. Ini contoh ketidakpuasan korban.
Apakah lembaga adat juga kerap tak berpihak pada korban?
Di satu sisi, lembaga adat sangat dibutuhkan untuk masyarakat yang jauh dari infrastruktur. Mereka mengandalkan mekanisme adat. Contohnya di Kepulauan Tanimbar, Maluku. Mereka harus ke Saumlaki untuk pelaporan kasus ke polisi karena kepolisian sektor belum bisa menerima berita acara pemeriksaan. Ini mungkin bisa jadi refleksi untuk menguatkan kapasitas pengetahuan hak asasi manusia dan keadilan gender bagi lembaga adat.
Adakah korban, khususnya dalam kasus kekerasan seksual, yang menjadi korban dua kali saat proses keadilan restoratif dilakukan?
Suraya: Ada. Setelah korban melapor, kesepakatan damai dibuat, pelaku tidak menjalankan kesepakatan itu. Pelaku kemudian mengulangi kekerasan seperti sebelumnya, dilaporkan lagi, baru diproses.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Korban Merasa Tak Puas dengan Metode Restorative Justice"