Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hakim di Daerah Tak Terawasi Imbas Pemangkasan Anggaran Komisi Yudisial

Pemangkasan anggaran Komisi Yudisial berimbas hingga ke daerah. Pengawasan hakim mandek.

9 Februari 2025 | 09.00 WIB

Gedung Komisi Yudisial di Jakarta. komisiyudisial.go.id
Perbesar
Gedung Komisi Yudisial di Jakarta. komisiyudisial.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pemerintah memangkas lebih dari setengah anggaran Komisi Yudisial.

  • Pemangkasan anggaran itu membuat Komisi Yudisial tak bisa mengawasi kinerja hakim dalam persidangan di daerah.

  • Korupsi di dunia peradilan bisa merajalela kembali.

KEBIJAKAN Presiden Presiden Prabowo Subianto melakukan pemangkasan anggaran belanja membuat Komisi Yudisial kelabakan. Dengan anggaran tersisa hanya Rp 84,23 miliar untuk tahun ini, Komisi tak bisa melakukan pengawasan hakim dalam persidangan di berbagai daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Juru bicara Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata pagu anggaran lembaganya tahun ini seharusnya mencapai Rp 184,52 miliar. "Anggaran yang dipangkas sekitar 54,35 persen," kata Mukti Fajar tanpa menjelaskan berapa sisa anggaran lembaganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Akibat pemangkasan anggaran itu, seleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc Mahkamah Agung juga batal digelar tahun ini. Mukti juga bingung bagaimana mengawasi persidangan di banyak daerah. "Kan enggak bisa kerja," tutur anggota Komisioner KY ini.

Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial Siti Nurdjanah, sebagai 45 persen anggaran Komisi Yudisial digunakan untuk membayar gaji pegawai serta operasional kantor, seperti listrik, air, dan perawatan gedung. "Semoga ada kebijakan pemerintah mencabut efisiensi anggaran," kata Siti.

Imbas pemangkasan pada pengawasan hakim di daerah dikonfirmasi Koordinator Kantor Penghubung Komisi Yudisial Nusa Tenggara Timur (NTT) Hendrikus Ara. Ia mengatakan minimnya anggaran membuat mereka tak bisa menindaklanjuti aduan dari masyarakat. Anggota Komisi Yudisial tak bisa memantau seluruh persidangan di luar ibu kota NTT, Kupang.

NTT adalah provinsi kepulauan. Hanya ada satu pengadilan di Kota Kupang, sedangkan 16 pengadilan negeri dan 14 pengadilan agama tersebar di pulau-pulau lain. "Saya pusing dan malu karena tidak bisa melayani masyarakat dengan baik," kata Hendrikus Ara lewat sambungan telepon pada Sabtu, 8 Februari 2025.

Hendrikus menceritakan, Komisi Yudisial pusat telah mendisposisi lima perkara yang harus mereka pantau, tapi semuanya tak bisa terlaksana. Selain itu, Hendrikus menyatakan Kantor Penghubung KY NTT juga menerapkan kerja dari mana saja atau work from anywhere.

Kendati sudah berhemat, anggaran untuk pengawasan dan pemantauan tetap tidak cukup. "Kami tak bisa bergerak karena anggaran tidak ada," tuturnya.

Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Sumatera Utara Muhrizal juga menceritakan dampak pemangkasan anggaran itu. Dia menyatakan Komisi Yudisial Sumatera Utara terancam tak bisa mengoperasikan kantornya secara penuh setelah hanya mendapat anggaran Rp 3 juta per bulan.

Untuk biaya listrik saja Rp 2-2,5 juta per bulan. Dengan biaya operasional sekecil itu, kantor Komisi Yudisial Sumatera Utara hanya buka selama tiga hari dalam sepekan.

Menurut Muhrizal, pemotongan anggaran ini bukanlah efisiensi seperti yang digembar-gemborkan pemerintah. Sebab, menurut dia, pemangkasan anggaran bisa memberangus access to justice atau akses mendapatkan keadilan bagi masyarakat.

Muhrizal menyatakan pihaknya sepakat jika pemerintah meminta mereka melakukan efisiensi, tapi hal itu sebaiknya hanya untuk kebutuhan tersier. “Misalnya dinas ke luar negeri dan mobil dinas. Sehingga tak berdampak langsung pada pelayanan publik,” ucapnya.

Aktivitas audiensi Komisi Yudisial di Jakarta, 12 Desember 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Papua Methodius Kossay juga mengeluhkan hal yang sama. Padahal, menurut dia, saat ini ada sejumlah perkara penting yang harus mereka pantau. Misalnya kasus korupsi dana Pekan Olahraga Nasional Papua, tindak pidana pemilu, dan sengketa tanah.

Senada dengan Hendrikus, Methodius mengatakan Komisi Yudisial Papua hanya bisa memantau persidangan di ibu kota provinsi, yakni Jayapura. Sedangkan pemantauan di wilayah lain yang dijangkau dengan kapal atau pesawat belum bisa dilakukan. "Misalnya ke Wamena, Timika, Biak, itu enggak diperbolehkan karena dari segi anggaran tidak mencukupi," ujarnya.

Penghubung Komisi Yudisial Papua mengawasi pengadilan di empat provinsi: Papua, Papua Selatan, Papua Pergunungan, dan Papua Tengah. Kendati demikian, dia mengatakan tetap mendukung program pemerintah. Mau tidak mau, Komisi Yudisial harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Maluku Amirudin Latuconsina juga mengatakan hal senada. Dia menuturkan Komisi Yudisial bertugas mengawasi hakim sebagai upaya menciptakan peradilan bersih. Namun banyak kegiatan akan dihilangkan, misalnya pemantauan persidangan dan pengawasan hakim.

Amirudin menyebutkan Maluku merupakan daerah kepulauan. Pemangkasan anggaran tentu menghambat pihaknya mengawasi pengadilan di luar ibu kota provinsi. Sehingga, menurut dia, mereka akan berfokus mengawasi pengadilan di wilayah Ambon.

Hanya ada satu pengadilan negeri di Ambon. Sedangkan belasan pengadilan lain tersebar di pulau-pulau lain. "Jadi, efisiensi anggaran ini sangat berpengaruh terhadap kinerja Komisi Yudisial, termasuk KY di daerah," kata Amirudin lewat pesan pendek pada Sabtu, 8 Februari 2025.

Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menyayangkan pemangkasan anggaran Komisi Yudisial ini. Pasalnya, menurut dia, hal itu akan berdampak pada pengawasan dan pemantauan hakim di daerah-daerah. Apalagi, menurut dia, Komisi Yudisial sejauh ini sudah berjalan secara terbatas. "Anggaran KY sebelum pemangkasan saja sudah sangat terbatas," ucapnya lewat aplikasi perpesanan pada Sabtu, 8 Februari 2025.

Dengan pemangkasan dan sisa anggaran minim, Herlambang menilai sejumlah hal bisa terjadi. Pertama, pengawasan hakim pasti melemah. Kedua, celah hakim bermasalah akan kian bertambah. Ketiga, Penghubung Komisi Yudisial yang selama ini menjadi ujung tombak pengawasan akan lumpuh.

Terlebih lagi bila Komisi Yudisial tidak punya strategi alternatif menguatkan penghubungnya. Ini membuat distrust internal akan mengeras. "Ini bukan hanya soal KY, tapi semua lembaga negara terkena dampak akibat kepemimpinan negara yang bekerja tanpa dasar pemikiran yang matang, ugal-ugalan, dan justru berpotensi menyuburkan korupsi," tutur Herlambang.

Laporan tahunan Komisi Yudisial 2023 di Jakarta, 2 April 2024. ANTARA/Hafidz Mubarak A.

Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat dengan Herlambang. Seharusnya, menurut dia, pemerintah tak memotong anggaran untuk institusi-institusi yang pagunya sudah kecil, termasuk Komisi Yudisial. "Tugas dan fungsinya sangat penting untuk memastikan proses keadilan bisa berjalan dengan baik dan peradilan tidak mengalami kerusakan karena hilangnya pengawasan," ujar Feri lewat pesan suara.

Alih-alih memotong anggaran KY, Feri menilai pemerintah seharusnya memotong anggaran kementerian atau lembaga lain yang lebih besar, seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Sebab, tugas mereka sudah tidak banyak lagi.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani berpendapat sebaliknya. "Kalau kita bicara soal efisiensi anggaran, maka kita bicara tentang efektivitas kinerjanya dulu," ujarnya lewat aplikasi perpesanan pada Sabtu, 8 Februari 2025.

Julius menjelaskan, setiap tahun PBHI mencatat pelanggaran oleh hakim dan pimpinan Mahkamah Agung kian meningkat. Namun Komisi Yudisial mencatat sebaliknya. Dalam lima tahun belakangan ini, KY juga tampak pasif dan hanya merespons isu yang sudah ramai hingar-bingar di mata masyarakat.

Menurut dia, KY juga tak mampu menjalankan fungsi utama untuk memeriksa hakim dari dalam secara inisiatif. "Tentunya lembaga yang minim prestasi, anggarannya harus dikurangi," tutur Julius.

Dia menilai pemotongan anggaran KY tidak boleh dianggap sebagai efisiensi. Bisa jadi ini adalah efektivitas anggaran. "Saya pikir, ini tidak berdampak pada pengawasan atau pemantauan hakim di daerah karena nyaris tak pernah dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan."

Julius mencontohkan, PBHI beberapa kali bersurat ke Komisi Yudisial maupun Badan Pengawasan Mahkamah Agung, tapi tidak pernah direspons. Terakhir pada tahun lalu, pihaknya mendampingi aktivis lingkungan Daniel Tangkilisan yang dipenjara. Namun surat itu baru direspons dua pekan lalu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Amelia Rahima Sari

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus