Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

'Stroke' Ringan untuk Produsen Obat Flu

Lima puluh lima obat flu ditarik dari pasar karena kandungan phenylpropanolamine (PPA) melebihi batas 15 mg. Produsen obat rugi miliaran rupiah.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


PARA ahli kesehatan menilai phenylpropanolamine (PPA) sebagai salah satu penyebab stroke. Karena itu, konsumen tidak boleh sembarangan memakai obat-obatan flu ber-PPA. Kini, giliran pabrik obat flu terserang "stroke ringan" setelah diamankan dari PPA. Gara-garanya tak lain adalah keputusan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Desember tahun lalu, BPOM menetapkan produsen obat flu harus menurunkan kadar PPA sampai maksimum 15 mg per takaran atau 60 mg per hari. Mereka yang belum memenuhi persyaratan itu diminta menarik produknya dalam empat bulan, sampai awal April. Senin dua pekan silam, BPOM secara resmi melarang penjualan obat yang mengandung PPA di atas 15 mg. Tak pelak lagi, aturan baru ini menyebabkan sejumlah produsen obat flu kelabakan dan merugi miliaran rupiah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, BPOM menemukan bahwa dari 242 merek obat batuk dan flu yang beredar di masyarakat, 65 merek ternyata masih mengandung PPA di atas 15 persen. Dari jumlah itu, 55 merek masih mengandung PPA rata-rata 25 mg. Di antara obat tersebut, terdapat merek-merek yang sudah akrab di masyarakat seperti Procold, Stopcold, Mixagrip, Neozep, Inza, Contrex, Sanaflu, dan Ultraflu. "Produk yang telah menurunkan kadar PPA menjadi kurang dari 15 mg atau menggantinya dengan pseudoephedrin dapat diedarkan kembali," kata Kepala BPOM, Sampurno, kepada Rian Suryalibrata dari TEMPO.

Pelarangan ini muncul setelah heboh PPA di Amerika Serikat, awal November tahun lalu. Di sana, PPA banyak digunakan sebagai obat pelangsing tubuh. Ternyata terjadi dampak buruk, terutama pada penderita penyakit tekanan darah tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Yale, AS, ada korelasi antara PPA dan stroke. Hasil inilah yang kemudian memicu badan pengawas obat dan makanan di negeri digdaya itu, Food and Drug Administration (FDA), mengeluarkan rekomendasi bahwa PPA tidak aman dijual bebas.

Menurut Sampurno, jika takarannya tepat, sebetulnya penggunaan PPA aman-aman saja. "Obat-obat itu kan ada yang sudah beredar sejak 20 tahun lalu, dan buktinya aman," katanya. Karena itulah pemerintah hanya meminta produsen obat flu mengurangi kandungan PPA-nya maksimum 15 mg agar penggunaannya benar-benar aman. Sejumlah produsen obat yang dihubungi TEMPO, seperti Kalbe Farma, Medi Farma, Dankos Laboratories, dan Darya-Varia, menyatakan sudah mengeluarkan obat baru dengan kandungan PPA 15 mg sejak Januari lalu.

Sepintas lalu, urusan pengurangan kadar PPA ini tidak rumit: cuma menurunkannya menjadi 15 mg. Tapi pada kenyataannya prosesnya cukup rumit. Mereka mesti menarik jutaan butir atau botol obat flu dari pasar. "Dan itu tidak bisa direekspor," kata Uung Sendana, Manajer Penjualan Dankos Laboratories. Selain itu, mereka juga harus melakukan riset untuk mengganti komposisi obatnya, membuang kemasan lama dan menggantinya dengan kemasan baru, serta mengeluarkan biaya promosi dan iklan tambahan mengenai obat yang baru.

Medi Farma, misalnya. Produsen Neozep ini kabarnya merugi sampai Rp 10 miliar gara-gara perubahan aturan ini. Manajer Perencanaan Produk Medi Farma, Nurul Hidayah, mengungkapkan bahwa perusahaannya menarik Neozep sampai 12 juta butir. Jika dihitung biaya produksi per empat butir Rp 1.000, kerugian Medi Farma dari obat saja mencapai Rp 3 miliar. Perusahaan lain yang dihubungi TEMPO enggan mengungkapkan detail kerugian mereka. Kalbe Farma, yang memproduksi Procold, hanya bersedia mengungkapkan kerugian akibat penarikan obat lama Rp 500 juta-Rp 1 miliar, sedangkan Dankos Laboratories (Mixagrip) merugi sekitar Rp 1 miliar.

Tak cuma itu. Biaya promosi dan iklan otomatis juga bertambah. Sementara selama ini produsen obat itu hanya perlu memelihara pangsa pasar yang dikuasainya dan sekali-sekali menyerobot di tikungan, kini mereka harus menambah anggaran untuk memperkenalkan formula baru. Medi Farma kabarnya menyiapkan sekitar Rp 3 miliar, sementara Kalbe menyediakan Rp 1 miliar-Rp 2 miliar untuk menginformasikan perubahan komposisi serta memperkuat posisinya.

Penderitaan pabrik obat tak cuma berhenti di situ. Masyarakat ternyata tak begitu saja menerima obat dengan komposisi baru. Penjualan Neozep, misalnya, kabarnya sempat turun sampai 20 persen, meskipun kini sudah kembali normal. Meski tidak diakui oleh yang lain, fenomena ini tampaknya juga terjadi pada pabrik obat yang lain. Apalagi, banyak produk yang sudah jauh-jauh hari punya kadar PPA rendah dan menjadi pesaing kuat dalam merebut konsumen mereka. Karena itu, lima besar seperti Mixagrip, Procold, Stopcold, Neozep, dan Inza memilih mengubah komposisinya ketimbang membuat merek baru. Biayanya pasti lebih murah.

Berapa pun mahalnya, apa boleh buat, produsen memang harus melakukannya. Bagaimanapun, konsumen berhak mendapatkan obat yang aman.

M. Taufiqurohman, Tomi Lebang, Dewi Rina Cahyani, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus